LSM Desak Pemerintah agar Tak Libatkan TNI dalam Cegah Radikalisme

  • Budi Nahaba

Koordinator KONTRAS, Haris Azhar

Kalangan organisasi pro-demokrasi di Indonesia pekan ini menyorot serius rencana pemerintah untuk melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme dan membantu mencegah radikalisasi di tanah air.

Para aktivis juga mendesak presiden dan parlemen agar berkomitmen mendorong Tentara Nasional Indonesia (TNI) lebih fokus dan profesional, terutama sebagai institusi negara paling berperan dalam bidang pertahanan.

Salah satu organisasi prodemokrasi, Kontras (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) menilai rencana pelibatan TNI dalam mencegah radikalisasi berpotensi kembali menggiring TNI masuk dalam ranah sosial dan penegakan hukum seperti yang terjadi di masa orde baru pernah berkuasa.

Koordinator Kontras Haris Azhar mengatakan (28/7) di Jakarta, pihaknya menilai kurang tepat TNI dilibatkan dalam upaya nasional mencegah maraknya radikalisasi di Indonesia.

Haris Azhar mengatakan, “Pertama itu, tidak tepat. Deradikalisasi itu merupakan wilayah penegakan hukum dan ranah sosial. Dua wilayah ini bukan wilayah pertahanan atau perang.”

Haris mengatakan jika TNI dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan membantu mencegah radikalisasi maka institusi yang mulai cukup reformis itu berpotensi melemahkan kemampuannya sendiri, terutama sebagai institusi negara paling berperan dalam bidang pertahanan.

Lebih lanjut Haris mengatakan, “Seperti yang terjadi di jaman orde baru, ini pintu masuk buat TNI untuk mengembalikan wajahnya di masa lampau. Kita tidak boleh membiarkan ini. Seharusnya kita mendorong TNI agar semakin profesional dalam bidang pertahanan

Reaksi kritis kalangan organisasi pro-demokrasi pekan ini terkait erat dengan digelarnya rakor (Rapat Koordinasi) Penaggulangan Terorisme Senin lalu (25/7). Rakor yang dihadiri Menkopolhukam (Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan) dan Panglima TNI itu menghasilkan salah satunya, usulan untuk melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme dan membantu mencegah radikalisme.

Direktur Eksekutif Imparsial (The Imparsial Indonesian Human Rights Monitor) Poengky Indarti menyatakan (27/7) di Jakarta, pelibatan unsur TNI dalam penanggulangan terorisme merupakan tindakan ilegal, ditandai belum adanya payung hukum yang resmi yang mengatur pelibatan TNI.

Poengky mengatakan, strategi penanggulangan terorisme harus diletakkan dalam tatanan demokrasi, terutama dengan pembagian tugas yang jelas dan fungsi yang tegas antar aktor keamanan. “Imparsial mendesak presiden dan parlemen untuk segera menghentikan langkah-langkah diluar konstitusi dan hukum untuk melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme," ujar Poengky.

Selasa lalu (26/7) Kepala Desk Antiteror Kemenpolhukam (Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan), Asyaad Mbai mengatakan kepada wartawan di Jakarta bahwa konsep deradikalisasi di Indonesia belum cukup berhasil, ditandai dengan masih banyaknya pelaku tindak pidana terorisme mengulangi perbuatannya kembali usai menjalani hukuman.

Menurut Asyaad salah satu penyebab gagalnya deradikalisasi karena masih lemahnya fungsi intelejen.

Namun kalangan pakar tetap memuji Indonesia dengan komitmennya yang kuat bermitra dengan banyak negara, terutama dalam penanggulangan kejahatan terorisme dan radikalisme.