Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan jumlah kasus harian COVID-19 di tanah air berpotensi tiga kali lipat lebih tinggi dari puncak kasus pada Juli 2021.
Estimasi tersebut berdasarkan kenaikan kasus yang terjadi di sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Israel, Afrika Selatan dan Inggris.
“Dari data tersebut kami mencoba menganalisa bahwa jumlah rawat inap di rumah sakit di Indonesia dapat lebih tinggi dari delta, apabila kasus harian meningkat lebih dari tiga kali seperti tahun lalu kita lihat hampir 56 ribu, bisa saja nanti tiga kali dari itu bila kita tidak berhati-hati. Namun hingga saat ini kami masih memperkirakan angka tersebut kecil kemungkinan terjadi, karena berbagai simulasi dan model yang kami susun dengan para pakar angka ini masih jauh dan kita tidak perlu khawatir berlebihan tetapi tetap super waspada,” ungkap Luhut dalam telekonferensi pers, di Jakarta, Senin (31/1).
BACA JUGA: Jokowi Terapkan Strategi Berbeda Hadapi Varian OmicronLuhut menjelaskan kasus konfirmasi COVID-19 per 30 Januari masih berada di level seperlima dari puncak delta pada Juli 2021 lalu. Selain itu jumlah pasien corona yang dirawat di rumah sakit juga masih dalam batas aman yakni sepersepuluh dari puncak varian delta. Meskipun dibayangi dengan ledakan kasus, Luhut mengklaim bahwa pemerintah telah mempersiapkan fasilitas kesehatan yang lebih baik dari sebelumnya.
Ia juga menuturkan, khusus di Jawa dan Bali, kasus corona terus mengalami kenaikan dan mayoritasnya berasal dari DKI Jakarta. Keadaan ini, katanya, menyebabkan positivity rate berada di atas standar WHO, yakni lima persen.
“Untuk itu pemerintah terus mengimbau kepada masyarakat agar tidak perlu takut untuk segera melakukan pemeriksaan tes antigen maupun PCR apabila merasakan gejala flu dan batuk. Hal ini dilakukan untuk semata-mata segera mengetahui kondisi pasien, dan melakukan perawatan sehingga memutus mata rantai penyebaran COVID-19,” kata Luhut.
Karantina PPLN
Luhut juga mengumumkan bahwa durasi karantina pelaku perjalanan luar negeri (PPLN) baik bagi WNI maupun WNA yang sudah divaksinasi penuh menjadi lima hari dari sebelumnya tujuh hari.
Pengurangan masa karantina tersebut, ujar Luhut, dilakukan mengingat masa inkubasi dari varian omicron yang relatif cukup singkat dibandingkan dengan delta, yakni kurang lebih tiga hari. Namun, bagi WNI yang belum mendapatkan vaksinasi COVID-19 lengkap diharuskan menjalani karantina selama tujuh hari.
BACA JUGA: Bali Akan Kembali Buka untuk Semua Negara Pekan Ini“Langkah menurunkan hari karantina ini juga mempertimbangkan realokasi sumber daya yang kita miliki. Wisma yang tadinya digunakan untuk karantina PPLN, akan disiapkan untuk isolasi terpusat, seiring dengan kebutuhan isoter yang diprediksi meningkat untuk kasus konfirmasi positif OTG dan gejala ringan,” jelasnya.
Pembukaan Bali
Dalam kesempatan ini, Luhut juga mengumumkan bahwa pemerintah akan kembali membuka pintu masuk internasional di Bali pada 4 Februari mendatang, sehingga PPLN bisa melakukan karantina langsung di Pulau Dewata tersebut.
Langkah ini diambil sebagai cara untuk memulihkan perekonomian Bali yang terkoreksi cukup dalam akibat pandemi yang sudah berlangsung selama dua tahun ini.
“Saat ini Bali juga menyediakan dua opsi tambahan untuk karantina PPLN, yaitu karantina bubble dimulai di lima hotel terlebih dahulu dengan total 447 kamar, dan enam kapal live on board yang sudah tersertifikasi CHSE oleh Kemenparekfraf,” jelasnya.
Omicron Rentan Serang Anak dan Lansia
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjelaskan sejauh ini sudah ada lima pasien positif omicron yang meninggal dunia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 60 persen belum divaksinasi lengkap, dan mayoritas adalah lansia. Budi juga sempat menyinggung bahwa varian omicron juga rentan menyerang kalangan anak-anak.
Namun, dalam kesempatan ini Budi tidak menjelaskan lebih jauh berapa kenaikan kasus COVID-19 yang menyerang anak-anak dan tingkat keparahannya.
“Kebanyakan lansia, dan kita identifikasi cukup mengejutkan jumlahnya yang anak-anak. Jadi berdasarkan fakta itu, percepat vaksinasi terutama untuk lansia dan anak-anak, lindungi mereka. Karena 60 persen yang meninggal itu belum vaksin lengkap, dan 63 persen yang masuk bergejala sedang, berat dan membutuhkan oksigen itu belum divaksinasi lengkap, Tolong prioritas berikan vaksinasi kepada yang belum menerima vaksinasi terutama lansia dan anak-anak,” ungkap Budi.
Budi juga menjelaskan bahwa sebanyak 85 persen pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit telah sembuh. Namun dari jumlah pasien COVID-19 yang dirawat di RS tersebut hanya sekitar 8-10 persen yang masuk kategori sedang hingga berat sehingga membutuhkan oksigen. Dengan kata lain, dari 90 persen pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit, sebanyak 35-40 persen tanpa gejala, dan 50 persen bergejala ringan.
Budi kembali mengimbau kepada masyarakat agar mereka yang tertular tapi tanpa gejala, atau dengan gejala ringan, untuk melakukan isolasi mandiri di rumah masing-masing, sehingga fasilitas pelayanan kesehatan bisa fokus untuk merawat pasien dengan kategori sedang hingga berat.
Banyak Kasus Tidak Terdeteksi
Tidak jauh berbeda dengan gelombang sebelumnya, Ahli Epidemiologi Universitas Griffith Australia Dicky Budiman memprediksi akan ada banyak kasus positif yang tidak terdeteksi oleh pemerintah.
Selain karena strategi penanganan pandemi berupa deteksi dini 3T pemerintah yang tidak memadai, menurut Dicky, situasu ini diperparah dengan karakter masyarakat Indonesia yang cenderung mengobati diri sendiri ketimbang datang ke fasilitas layanan kesehatan. Apalagi, katanya, juga 80 persen kasus omicron tidak bergejala sama sekali.
“Kalau saya sih (memprediksi) 10 kali lipat (lebih banyak) dari yang dilaporkan oleh pemerintah sudah terjadi pada hari ini, artinya sudah 100 ribuan. Tapi itu karena mayoritas tidak bergejala dan keterbatasan tes kita,” ungkap Dicky kepada VOA.
WHO sebelumnya sudah menetapkan Indonesia masuk kategori level community transmission, yang artinya ada ketimpangan yang cukup besar dalam kemampuan pemerintah mendeteksi kasus dengan kasus sebenarnya yang ada di masyarakat. Hal tersebut menimbulkan berbagai dampak yang mengkhawatirkan.
Your browser doesn’t support HTML5
Dampak jangka pendek, katanya, adalah meningkatnya jumlah anggota kelompok rentan tertular dan membutuhkan perawatan di rumah sakit dan meningkatnya jumlah kematian. Dampak jangka menengah adalah potensi lahirnya varian baru yang lebih mematikan karena virus ini terus bersirkulasi. Sementara dampak angka panjangnya adalah long covid, dimana 30 persen penyintas COVID-19 akan mengalaminya.
“Jadi kita berkewajiban mencegah penyebaran atau sirkulasi dari virus yang tidak terkendali ini dengan cara deteksi dini kuat 3T, 5M, vaksinasi ,termasuk pembatasan. Termasuk di sini adalah di pintu masuk negara. Jadi ini yang harus konsisten kita jaga, karena bagaimana pun yang kita hadapi sekarang bukan hanya masalah omicron,atau delta, tapi potensi varian baru lain yang omicron bersirkulasi dengan leluasa ini diberbagai negara,”pungkasnya. [gi/ab]