MA Didesak Segera Putuskan Uji Materi Peraturan KPU

  • Fathiyah Wardah

Gedung Mahkamah Agung Indonesia di Jakarta (foto: Wikipedia).

Masyarakat sipil mendesak Mahkamah Agung (MA) untuk segera mengeluarkan putusan uji materi terkait dua peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang mengundang kotroversi, yakni perlindungan hak politik perempuan pada pencalonan Pemilu dan pencalonan mantan terpidana.

Hingga saat ini, MA belum memutus dua gugatan uji materi PKPU yang diajukan masyarakat sipil, yang mencakup Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Indonesia Corruption Watch (ICW), serta dua mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang dan Abraham Samad.

Pengajar Hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini mengatakan Mahkamah Agung seharusnya telah mengeluarkan putusan yang telah diajukan pada tanggal 13 Juni 2023 itu. Pasalnya berdasarkan Pasal 76 ayat 4 Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu, MA seharusnya memutus penyelesaian pengujian PKPU paling lama 30 hari kerja sejak permohonan diterima oleh lembaga tersebut.

Pengajar Hukum Pemilu FHUI, Titi Anggraini (foto: dok).

"Berdasarkan perhitungan maksimal yang kami lakukan sebagai salah satu pemohon, saya mengkalkulasi bahwa putusan sudah harus dibacakan pada 1 Agustus tahun 2023 atau paling lama minggu pertama Agustus 2023. Nah sampai hari ini belum ada putusan dari Mahkamah Agung,” kata Titi kepada VOA.

Anggota Dewan Pembina Perludem itu juga mengatakan keterlambatan dalam memutus selain tidak sejalan dengan ketentuan undang-undang, juga berdampak pada kepastian hukum dan perlindungan hak pencalonan calon legislatif terutama perempuan.

Peluang caleg perempuan yang mestinya bisa mengisi daftar bakal calon bisa kandas kalau MA berlarut-larut dalam memutuskannya, katanya. Putusan yang terlambat, menurut Titi, bisa digunakan oleh partai dan KPU sebagai peluang menghindari pelaksanaan.

“Dan tentu ini akan merugikan bagi perempuan-perempuan caleg yang mestinya ribuan orang mendapatkan peluang untuk dinominasikan dengan pengaturan afirmasi sebagaimana yang pernah konsisten diterapkan pada 2014-2019 tapi itu tidak bisa diwujudkan karena putusan atas pengujian terlambat dan itu menjadi argument yang digunakan untuk membantah,“ ujar Titi.

Menurut Titi, pengujian pasal 8 ayat 2 huruf a PKPU 10/2023 bukan hanya penting bagi integritas pemilu 2024, tapi juga merupakan tonggak penting bagi pengawasan gerakan perempuan politik di Indonesia.

MA lanjut Titi Anggraini harus pula menimbang kemajuan dan masa depan kehadiran perempuan politik yang telah diperjuangkan sebagai salah satu inspirasi reformasi dan bagian dari mendobrak diskriminasi politik yang dihadapi perempuan. Dia berharap MA berpihak pada pemilu inklusif melalui pencalonan yang ramah keterwakilan perempuan sebagaimana diamanatkan pasal 28H ayat 2 UUD 1945.

BACA JUGA: Peraturan KPU 10/2023 Dinilai Mendegradasi Keterwakilan Perempuan di Parlemen

Peneliti dari Transparency International Indonesia (TII) yang juga merupakan salah satu kuasa hukum yang mengajukan gugatan tersebut, Sahel Alhabsyi, menilai pengingkaran kewajiban hukum MA ini jelas sangat berbahaya. Kelambanan MA tidak hanya membuat bekas koruptor bisa melenggang lebih cepat dalam kontestasi pemilu tetapi juga mencemarkan nama MA sendiri.

“Sepanjang pencabutan hak politik terlewati masa berlakunya maka eks napi koruptor bisa mencalonkan diri kembali. Tentu ini bertentangan dengan putusan MK,” kata Sahel.

Dampak berbahaya lain, tambahnya, menyangkut legitimasi pemilu 2024. Fakta lambatnya MA dalam memutus akan menimbulkan anggapan bahwa pemilu 2024 telah dibajak.

Sejumlah organisasi yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (MPKP) mendesak KPU agar merevisi aturan tentang keterwakilan perempuan (VOA/Fathiyah).

Dalam gugatannya, masyarakat sipil meminta MA membatalkan ketentuan pasal 8 ayat 2 PKPU No.10/2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten Kota, yang mengatur pembulatan ke bawah jika hasil perhitungan 30 persen dari jumlah alokasi kursi menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima. Aturan ini dinilai akan menyebabkan 7971 perempuan bakal caleg kehilangan untuk didaftarkan.

Masyarakat sipil juga menguji pasal 11 Ayat 6 PKPU No.10/2023 yang menganulir ketentuan masa jeda lima tahun bagi mantan terpidana untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Norma yang sama ada dalam pasal 18 ayat 2 PKPU No.11/2023 tentang pencalonan DPD. Norma tersebut dinilai bertentangan dengan UU pemilu dan dua putusah Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga dinilai mengakibatkan ketidakpastian hukum.

Angota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Idham Holik menegaskan lembaganya akan melaksanakan apapun putusan MA atas uji materi itu karena putusannya bersifat final dan mengikat. [fw/ab]