Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung (MA) Abdullah mengatakan majelis hakim kasasi menilai putusan kasus karhutla di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Palangkaraya, Kalimantan Tengah, sudah tepat.
Salah satu yang menjadi pertimbangan hakim, yaitu penanggulangan bencana atau karhutla di sebuah wilayah adalah kewajiban negara. Kata Abdullah, majelis hakim dalam putusannya berharap negara melakukan upaya dan tindakan dalam penghentian karhutla.
BACA JUGA: WALHI: Pemerintah Berpihak pada Kepentingan Pelaku Bisnis Industri Kelapa Sawit"Putusan MA/Kasasi nomor 3555 K/Pdt/2019 pada pokoknya menolak kasasi dari negara republik indonesia, menguatkan putusan judex facti,” kata Abdullah melalui keterangan tertulis pada Jumat (19/7).
“Inti pokok yang seharusnya disimpulkan adalah kewajiban negara dalam melindungi warga negaranya, sehingga wajib segera menanggulangi dan menghentikan bencana alam atau kebakaran hutan yang mengancam jiwa raga dan harta benda warganya, di mana gugatan a quo demi kepentingan umum, diharapkan negara segera melakukan upaya dan atau tindakan yang diperlukan," papar Abdullah.
Kasus ini bermula saat sekelompok orang menggugat negara sebagai buntut dari kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan yang berlangsung sejak 1997. Para penggugat adalah Arie Rompas, Kartika Sari, Fatkhurrohman, Afandi, Herlina, Nordin, dan Mariaty.
Sedangkan pihak tergugat adalah Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur Kalimantan Tengah dan DPRD Kalimantan Tengah.
Pengadilan Negeri Palangkaraya memenangkan gugatan Arie Rompas dan kawan-kawan pada 22 Maret 2017. Putusan tersebut kemudian diperkuat Pengadilan Tinggi Palangkaraya pada 19 September dengan menolak banding Presiden Jokowi dan kawan-kawan. Kemudian, putusan itu diperkuat majelis hakim kasasi yang diketuai Nurul Elmiyah dengan anggota Pri Pambudi Teguh dan I Gusti Agung Sumanatha pada 16 Juli 2019.
Menanggapi putusan ini, tenaga ahli Kantor Staf Presiden (KSP) Abetnego Tarigan mengatakan, pemerintah belum memutuskan akan menempuh peninjauan kembali (PK) atau tidak terkait putusan tersebut. Menurutnya, PK tersebut bergantung kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta kuasa hukum negara.
Namun, Abetnego menyebut sejumlah tuntutan yang dminta oleh Arie Kompas dan kawan-kawan telah dijalankan pemerintah sejak kasus itu bergulir. Salah satunya, yaitu dengan menerbitkan Perpres Badan Restorasi Gambut pada 2016, kata Abetnego saat dihubungi VOA, Sabtu (20/7).
“…yang kita tahu bahwa Karhutla itu diperparah dengan kebakaran gambut dan yang menyebabkan asap gangguan pernapasan," jelas Abetnego.
Di samping itu, kata Abetnego, komitmen pemerintah terhadap penanganan karhutla juga terlihat dari turunnya karhutla setelah 2015 dan upaya penegakan hukum yang dilakukan pemerintah.
Sementara itu perwakilan kelompok masyarakat, Arie Rompas berharap pemerintah segera melakukan sejumlah upaya dan tindakan dalam penanggulangan karhutla daripada menempuh PK setelah kalah 3 kali dalam proses pengadilan.
BACA JUGA: Jokowi Klaim Atasi Karhutla dalam 3 Tahun Terakhir"Alangkah lebih baik dan bijak untuk segera menjalankan putusan-putusan itu. Karena memang tidak ada tuntutan material. Semuanya tuntutan perbaikan kebijakan. Dan itu adalah mandat UU, jadi sebenarnya apa yang dirugikan pemerintah?" jelas Arie Rompas kepada VOA, Sabtu (20/7).
Hukuman yang dijatuhkan kepada Jokowi dan pihak tergugat lainnya, yaitu kewajiban menerbitkan sejumlah peraturan. Antara lain, peraturan pelaksana dari UU tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, peraturan pemerintah soal tim gabungan yang bertugas meninjau izin pengelolaan hutan. Selain itu, pemerintah juga diwajibkan mendirikan rumah sakit khusus paru dan penyakit lain akibat polusi udara di Kalimantan Tengah. [sm/ft]