Florence Sihombing, mahasiswi semester ketiga Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada disangka telah melakukan penghinaan, pencemaran nama baik, dan penyebaran akses internet yang menghina masyarakat dan menimbulkan kebencian atau permusuhan individu. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda DIY AKBP Anny Pudjiastuti mengatakan, ancaman hukumnya enam tahun penjara. Barang bukti yang disita polisi berupa printout dan capture dari status yang bersangkutan.
“Kita minta keterangan dan yang bersangkutan diperiksa satu-kali 24 jam dan penyidik menyimpulkan bahwa ini sudah cukup bukti; 2 saksi dan 2 alat bukti menyatakan cukup untuk menahan yang bersangkutan. Pasal yang kita kenakan adalah pasal 27 ayat 3 pasal 28 ayat 2 Undang Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) nomor 11 Tahun 2008,” ujarnya.
Your browser doesn’t support HTML5
WIbowo Malik, pengacara Florence mengatakan upaya yang akan ditempuh adalah mengajukan permohonan kepada Polda DIY untuk penangguhan penahanan kliennya. Menurut Malik, menahanan itu berlebihan mengingat kliennya sudah membuat pernyataan untuk bersikap kooperatif.
“Penahanan itu tidak professional mengingat klien kami masih kuliah, dan Senin tanggal 1 September selain ada sidang etik (di Fakultas Hukum UGM) klien kami juga sudah mulai dengan perkuliahan. Kami juga berencana pada hari Senin sebelum sidang etik kami mengajukan permohonan apabila klien kami tidak bisa menghadiri sidang etik tersebut kami mohon sidang tersebut ditunda sampai dengan permohonan penangguhan penahanan kami dikabulkan,” ujar Wibowo.
Persoalan berawal pada hari Rabu siang (27/8), Florence mengantri bahan bakar minyak (BBM) untuk sepeda motornya di Stasiun Pengisi Bahan Bakar (SPBU) Lempuyangan. Bukannya ikut dalam antrean sepeda motor yang sangat panjang tetapi ia bermaksud membeli BBM non-subsidi yang masuk dalam antrean mobil, lalu ditolak petugas dan ia disarankan ikut antrean sepeda motor. Pelanggan SPBU yang sudah mengantre pun menyorakinya.
Kesal atas apa yang dialami, Florence menulis di akun sosial media (Path) yang bernada memaki Yogyakarta dan warganya yang menyebar cepat diantara pengguna media sosial. Menurut pengacaranya ia juga diteror via telepon dan sms. Sejumlah komunitas dan LSM juga mengadukan Florence ke polisi.
Warga Yogya, seniman Butet Karta Rejasa mengimbau polisi untuk melepas Florence dan sebaiknya polisi mengurus kasus lain yang lebih besar yang ditunggu penyelesaiannya oleh masyarakat.
“Maafkanlah si Flo, toh ia sudah minta maaf dan secara sosial ia sudah dihukum oleh masyarakat. Ia di-bully di media sosial sehingga hukuman secara sosial sudah sangat berat. Kalau kasus itu bisa diredam tidak usah sampai jadi kasus hukum, maka kita, para polisi dan pemimpin di Yogya akan memperlihatkan kearifannya sebagai sebuah masyarakat,” ujarnya.
Sementara menurut Lukas Inpandriarno, koordinator LSM Masyarakat Peduli Media (MPM), kasus Florence terjadi karena banyak orang khususnya anak muda tidak memahami karakter media sosial yang begitu terbuka dan memungkinkan orang menyembunyikan identitas. Sehingga pengguna cenderung tidak bertanggung-jawab termasuk praktek yang terjadi pada kampanye pemilihan presiden yang lalu.
“(Media sosial) sifatnya bebas dan digunakan orang tanpa sensor, sensor ya hanya oleh orang yang menggunakan, atau oleh khalayak yang melakukan senso itu yang kemungkinan tingkat penyensorannya berlebihan. Karena begitu bebas lalu dalam konteks yang lain anonymity itu sering dijadikan kerudung artinya orang bisa melakukan apa saja sehingga tidak ada tanggung jawab,” kata Lukas.
Sumber dari Fakultas Hukum UGM mengatakan, Florence diundang untuk melakukan klarifikasi dan didorong untuk meminta maaf pada hari Senin (1/9).