Sekitar 200 orang mahasiswa Papua di Surabaya, Sabtu (1/12) menggelar aksi demonstrasi untuk memperingati deklarasi kemerdekaan Papua Barat pada 1 Desember 1961. Aksi yang ingin menyuarakan hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua Barat ini sempat berhadapan dengan aksi tandingan sekelompok organisasi masyarkaat yang menolak gerakan memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Aksi mahasiswa Papua yang berada di Surabaya ini digelar di Jalan Pemuda setelah aparat Kepolisian menghadang gerakan mereka di depan Gedung Negara Grahadi, dimana pada saat bersamaan sedang berlangsung upacara peringatan Hari Korpri yang dipimpin oleh Gubernur Jawa Timur.
Dalam orasinya, mahasiswa Papua menyuarakan tuntutan diberikannya hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua oleh pemerintah Indonesia, yang dinilai telah melakukan penindasan kepada rakyat Papua Barat.
Pengacara Aliansi Mahasiswa Papua, Veronica Koman, menuturkan selain memperingati 1 Desember sebagai hari kemerdekaan Papua Barat, mahasiswa Papua di Surabaya dan sejumlah daerah lain melakukan aksi sebagai bentuk penolakan terhadap aksi represif dan penindasan yang dialami mahasiswa Papua di sejumlah daerah di Indonesia.
“Tahun ini di Surabaya alasan mereka adalah karena mahasiswa Papua yang tinggal di Jawa itus sedang direpresi baik oleh Ormas maupun aparat, terutama di Malang, Surabaya, dan Yogyakarta. Makanya tahun ini memilih Surabaya, dengan alasannya yaitu mereka tidak tunduk pada penindasan dan diskriminasi, mereka ini melawan, seperti ingin menunjukkan eksistensinya,” kata Veronica Koman, Pengacara Aliansi Mahasiswa Papua.
Veronica menambahkan, selama ini rakyat Papua diperlakukan tidak adil dan dilanggar hak-hak asasinya sebagai manusia. Kekerasan dan tindakan represif yang dilakukan militer selama ini, menjadi alasan bagi mahasiswa asal Papua ini menyerukan pemberian hak menentukan nasib sendiri kepada pemerintah pusat. Menurut Veronica, pembangunan berbagai infrastruktur yang dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo selama ini tidak menyentuh akar masalah yang ada di Papua.
“Saya pikir ini ada kesalahan pendekatan. Kalau misalnya pemerintah pusat pendekatannya dengan pembangunan infrastruktur, padahal akar konflik di Papua yang mana ini juga hasil riset LIPI, yaitu akar konflik di Papua itu adalah soal sejarah masa lalu yang proses integrasi ke Indonesia. Nah, jadi untuk menyelesaikan konflik kan harus ke akar konflik. Nah ini karena pendekatannya salah, jadi konfliknya berkepanjangan. Saya ingin bertanya apakah pendekatannya sudah tepat, mengajak, ingin meng-NKRI-kan orang Papua dengan cara menindas mereka, mendiskriminasi, mengepung, menggebuk, itu kan malah membuat orang Papua semakin menjauh,” imbuhnya.
Juru Bicara Aliansi Mahasiswa Papua, Dorlince Iyowau, mengungkapkan rakyat Papua Barat sampai saat ini masih merasakan trauma atas berbagai operasi militer Indonesia di Papua Barat. Ditambah lagi diskriminasi dan represi yang di alami mahasiswa asal Papua, yang sedang sekolah atau kuliah di berbagai daerah di Jawa.
“Masih di bawah trauma militerisme, ada pembunuhan di sana, ada pembantaian di sana, ada pembungkaman di ruang-ruang demokrasi di sana, dan aktor utama yang melakukan itu semua adalah militerisme Indonesia. Kalau represif bagi mahasiswa Papua, kemudian represif itu juga digabungkan dengan rasisme, masif sekali di kalangan mahasiswa Papua,” kata Dorlince Iyowau, Jubir Aliansi Mahasiswa Papua.
Namun sejumlah aktivis organisasi massa yang menolak aksi sebagian mahasiswa Papua itu menilai demonstrasi itu hanya bertujuan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Kedua kelompok ini sempat saling berhadapan dan nyaris bentrok ketika mulai saling dorong dengan aparat, yang diwarnai pelemparan kayu dan batu.
“Ini tanah Soroboyo, tanah Pahlawan. Dia mau revolusi di sini, tidak benar itu, tolong teman-teman. Ini aparat melakukan pembiaran,” kata Kiki Juanda.
Polisi menjaga ketat kedua demonstrasi itu hingga membubarkan diri Sabtu siang. [pr/em]