Mahasiswa UGM Adakan Gerakan Rumah Bebas Asap Rokok

  • Nurhadi Sucahyo

A man carries an injured woman away from the site of a car bomb explosion in a southern suburb of Beirut, Jan. 2, 2014.

Data menunjukkan lebih dari 88 persen laki-laki merokok di dalam rumah dan berdampak buruk bagi kesehatan anggota keluarga yang lain.
Hasil survei Pusat Kajian Bioetika Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta terhadap 2.000 responden di 15 kampung di Yogyakarta menunjukkan, lebih dari 53 persen rumah tangga mempunyai anggota keluarga yang merokok. Mayoritas perokok adalah laki-laki yang per hari minimal menghabiskan 10 batang rokok.

Lebih dari 88 persen laki-laki merokok di dalam rumah, di mana terdapat perempuan dan anak-anak. Padahal, asap rokok yang dibuang di dalam rumah akan tersebar selama 4-6 jam dalam ruangan dan berdampak buruk bagi kesehatan anggota keluarga.

Berdasarkan data-data ini, mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM mendeklarasikan gerakan rumah bebas asap rokok di Bantul, Yogyakarta, awal pekan ini. Menurut ketua pelaksana program ini, Habil Alam Rahman, target pertama program ini bukan memaksa perokok untuk berhenti, tetapi lebih kepada melindungi perempuan dan anak, terutama ibu hamil dari dampak buruk rokok para suami.

"Sebelum melaksanakan program ini, kami melakukan survei tentang kesehatan, ternyata masalah yang paling besar itu masalah rokok. Makanya kami angkat program ini. Untuk selanjutnya kami harap program ini menjadi sebuah budaya tidak hanya perilaku sementara,” ujar Habil.

Setidaknya 185 rumah telah menyatakan bersedia menjadi perintis program tersebut, dan 14 warga setempat menjadi relawan untuk mengawasi pelaksanaannya. Salah satu relawan program ini, Jumali, kepada VOA mengatakan, program ini cukup strategis karena tidak langsung melarang warga untuk merokok. Kampanye larangan merokok selalu sulit diterima warga, karena aktivitas tersebut telah menjadi bagian dari gaya hidup.

Di awal sosialisasi program, warga sempat melakukan penolakan karena mengira mereka akan dilarang untuk merokok. Barulah setelah memahami, bahwa pelarangan merokok terbatas di lingkungan rumah saja, warga kini justru mendukung demi kesehatan ibu-ibu dan anak-anak.

"Pertama-tama, masyarakat sendiri salah persepsi tentang program rumah bebas asap rokok ini. Dikiranya masyarakat disuruh berhenti total merokok. Waktu pertama kali banyak permasalahan, tetapi lama kelamaan warga mengerti dan sampai saat ini sudah menyadari tentang bahaya merokok, dan banyak masyarakat yang merokok sudah di luar rumah,” ujar Jumali.

Ia mengatakan seluruh ibu-ibu di kampung tersebut mendukung adanya larangan merokok di dalam rumah. Dalam satu minggu pertama sejak program itu diluncurkan, paling tidak 70 persen warga menaatinya.

Sisanya,kata Jumali, dia yakini pelan-pelan akan mematuhi kesepakatan warga itu dengan sosialisasi lebih lanjut.

Hasil lain dari survei yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa 42 persen anak-anak dan 54 persen perempuan atau istri terkena asap rokok yang dihisap suaminya. Padahal, dari survei tersebut diketahui bahwa 74 persen istri tidak suka suaminya merokok. Dengan 32 persen perempuan atau istri-istri itu mengatakan tidak dapat berbuat apa-apa untuk melarang suaminya merokok.