Dibuat untuk memudahkan kaum difabel, kursi roda ini bergerak sesuai dengan ekspresi wajah pemakainya, dengan pola yang bisa diatur sendiri.
YOGYAKARTA —
Lima mahasiswa program studi elektronika dan instrumentasi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, membuat prototipe kursi roda yang digerakkan melalui ekpresi wajah seperti senyuman atau lirikan mata.
Kursi roda ini bergerak sesuai dengan ekspresi wajah pemakainya, dengan pola yang bisa diatur sendiri. Misalnya, cukup tersenyum untuk menggerakkan kursi roda ke depan, melirikkan mata ke kiri atau kanan untuk berbelok, dan menaikkan alis untuk berhenti.
Prototipe ini dikembangkan oleh Rangga Kurniawan, Praja Sapta Ardiantara, Hafizh Adi Nugroho, Muhammad Maftuhul Haq dan Ahmad Muzakky.
Menurut Rangga, tujuan pengembangan teknologi ini adalah untuk membantu kaum difabel yang memiliki keterbatasan motorik. Prototipe kursi roda ini diujicobakan Jumat (20/9) di Yogyakarta, dan bekerja dengan cukup baik. Menurut Rangga, butuh dana sekitar Rp 10 juta untuk membuat satu unit, namun jika dikembangkan dalam skala besar harganya bisa ditekan sampai sekitar 30 persen.
“Kalau kursi rodanya sendiri harganya Rp 1 juta, kita itu mahal di penyesuaian mekaniknya, elektroniknya, pengembangan dan penelitiannya. Kita ini sensornya impor dari luar negeri, jadi mahal juga karena pajaknya,” ujarnya.
“Di Indonesia sebenarnya teknologi ini kan sudah dipakai di dunia medis, di rumah sakit. Kita sebenarnya menggunakan teknologi yang sudah ada, kita melakukan inovasi dalam sistem kendali digabungkan dengan kursi roda.”
Sistem kendali ekspresi wajah menggunakan teknologi EEG atau Electroencephalography, yang diterapkan dengan memasangkan rangkaian elektroda di kepala bagian atas, yang dipakai seperti ketika kita mengenakan topi.
Teknologi EEG akan mendeteksi pergerakan di kulit kepala, dan menerjemahkannya ke dalam sebuah gerakan sesuai dengan pedoman yang dibuat dalam prosesor komputer. Sebuah rangkaian komputer kecil dan mesin penggerak diletakkan di bagian belakang bawah kursi roda, dan dihidupkan dengan tenaga listrik dari baterai.
Menurut Muhammad Maftuhul Haq yang berperan sebagai difabel pengguna kursi roda, proses perintah menggunakan ekspresi wajah tidak terlalu sulit dilakukan. Tentu dibutuhkan latihan, tetapi dia yakin para difabel akan dengan mudah menguasainya.
“Sebenarnya tidak sudah, tinggal kita atur saja sensivitasnya saja. Kalau misalnya angkat alis, kan refleknya sebentar. Mimik mukanya seperti ekpresi kita sehari-hari, tinggal menyetel panduannya. Kita masih memakai parameternya ekspresi muka, kita bisa angkat alis, senyum, lirik kanan, lirik kiri, kedip kanan, kedip kiri, terus nahan gigi, semacam itulah,” ujarnya.
Tim pembuat prototipe kursi roda dengan kendali ekspresi wajah ini akan mendaftarkan hak paten atas pengembangan teknologi ini. Mereka pun berharap, ada produksi dalam skala industri untuk menekan harga setiap unitnya. Komponen paling mahal dalam penerapan teknologi ini adalah rangkaian elektroda yang harus dibeli dari Amerika Serikat dengan harga sekitar Rp 4 juta setiap unitnya.
Kursi roda ini bergerak sesuai dengan ekspresi wajah pemakainya, dengan pola yang bisa diatur sendiri. Misalnya, cukup tersenyum untuk menggerakkan kursi roda ke depan, melirikkan mata ke kiri atau kanan untuk berbelok, dan menaikkan alis untuk berhenti.
Prototipe ini dikembangkan oleh Rangga Kurniawan, Praja Sapta Ardiantara, Hafizh Adi Nugroho, Muhammad Maftuhul Haq dan Ahmad Muzakky.
Menurut Rangga, tujuan pengembangan teknologi ini adalah untuk membantu kaum difabel yang memiliki keterbatasan motorik. Prototipe kursi roda ini diujicobakan Jumat (20/9) di Yogyakarta, dan bekerja dengan cukup baik. Menurut Rangga, butuh dana sekitar Rp 10 juta untuk membuat satu unit, namun jika dikembangkan dalam skala besar harganya bisa ditekan sampai sekitar 30 persen.
“Kalau kursi rodanya sendiri harganya Rp 1 juta, kita itu mahal di penyesuaian mekaniknya, elektroniknya, pengembangan dan penelitiannya. Kita ini sensornya impor dari luar negeri, jadi mahal juga karena pajaknya,” ujarnya.
“Di Indonesia sebenarnya teknologi ini kan sudah dipakai di dunia medis, di rumah sakit. Kita sebenarnya menggunakan teknologi yang sudah ada, kita melakukan inovasi dalam sistem kendali digabungkan dengan kursi roda.”
Sistem kendali ekspresi wajah menggunakan teknologi EEG atau Electroencephalography, yang diterapkan dengan memasangkan rangkaian elektroda di kepala bagian atas, yang dipakai seperti ketika kita mengenakan topi.
Teknologi EEG akan mendeteksi pergerakan di kulit kepala, dan menerjemahkannya ke dalam sebuah gerakan sesuai dengan pedoman yang dibuat dalam prosesor komputer. Sebuah rangkaian komputer kecil dan mesin penggerak diletakkan di bagian belakang bawah kursi roda, dan dihidupkan dengan tenaga listrik dari baterai.
Menurut Muhammad Maftuhul Haq yang berperan sebagai difabel pengguna kursi roda, proses perintah menggunakan ekspresi wajah tidak terlalu sulit dilakukan. Tentu dibutuhkan latihan, tetapi dia yakin para difabel akan dengan mudah menguasainya.
“Sebenarnya tidak sudah, tinggal kita atur saja sensivitasnya saja. Kalau misalnya angkat alis, kan refleknya sebentar. Mimik mukanya seperti ekpresi kita sehari-hari, tinggal menyetel panduannya. Kita masih memakai parameternya ekspresi muka, kita bisa angkat alis, senyum, lirik kanan, lirik kiri, kedip kanan, kedip kiri, terus nahan gigi, semacam itulah,” ujarnya.
Tim pembuat prototipe kursi roda dengan kendali ekspresi wajah ini akan mendaftarkan hak paten atas pengembangan teknologi ini. Mereka pun berharap, ada produksi dalam skala industri untuk menekan harga setiap unitnya. Komponen paling mahal dalam penerapan teknologi ini adalah rangkaian elektroda yang harus dibeli dari Amerika Serikat dengan harga sekitar Rp 4 juta setiap unitnya.