Pernyataan tersebut disampaikan oleh Menko Politik, Hukum dan HAM Mahfud MD usai menggelar Rapat Terbatas yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo, bersama dengan 19 pejabat tinggi, termasuk Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung dan kepala lembaga terkait lainnya.
Rapat tersebut, ujar Mahfud membahas tindak lanjut rekomendasi Komnas HAM terkait penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat di masa lalu.
"Tidak ada permintaan maaf dari pemerintah kepada masyarakat karena peristiwa itu, tetapi pemerintah menyatakan mengakui bahwa peristiwa itu memang terjadi dan pemerintah menyesali terjadinya peristiwa itu,” ungkap Mahfud.
Lanjutnya, juga tidak ada perubahan status hukum terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu seperti Tap MPRS nomor 25 tahun 1966. Ke depan, tambahnya, pemerintah akan fokus kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu sesuai temuan dari Komnas HAM, yaitu yang mencakup 12 peristiwa. Ia menekankan jumlah peristiwa ini tidak dapat ditambah oleh pemerintah, karena berdasarkan UU, hanya Komnas HAM yang berhak menentukan sebuah peristiwa termasuk ke dalam kategori pelanggaran HAM berat atau bukan.
“Ditekankan bahwa rekomendasi ini, adalah menitikberatkan perhatiannya kepada korban bukan pada pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu, karena kalau menyangkut pelaku itu menyangkut penyelesaian yudisial yang nanti harus diputuskan oleh Komnas HAM bersama DPR untuk selanjutnya diserahkan kepada pemerintah. Jadi ini titik beratnya kepada korban, bukan kepada pelaku. Kita tidak akan mencari pelakunya dalam penyelesaian non yudisial ini, karena itu urusan Komnas HAM dan DPR,” tegasnya.
Pemerintah, kata Mahfud selanjutnya akan meluncurkan upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial. Upaya pertama akan dilakukan di Aceh pada bulan Juni mendatang, yang dipusatkan di Simpang Tiga, Rumoh Geudong, Pos Sattis, serta Jambu Kepuk.
Sebagai bagian penyelesaian itu, negara juga akan memulihkan nama baik para eksil yang saat ini telah bermukim di luar negeri, yang menjadi korban pelanggaran HAM berat di masa lalu, salah satunya pada peristiwa G30S PKI tahun 1965.
“Banyak sekali orang yang tidak terlibat dalam gerakan misalnya apa yang disebut G30S PKI, dulu menjadi korban tidak boleh pulang di luar negeri karena waktu itu mereka disekolahkan oleh Presiden Soekarno ke berbagai negara di Eropa Timur dan lain-lain. Begitu mereka selesai ternyata terjadi peristiwa G30S PKI, sehingga tidak diizinkan pulang pada waktu itu, nah mereka ini masih ada beberapa di luar negeri, nanti akan kita undang,” jelasnya.
Ia mencontohkan, salah satu eksil pada kala itu adalah Presiden BJ Habibie yang ketika itu sedang melanjutkan pendidikan master dan doktor di Jerman, dan tidak bisa pulang pada tahun 1965. Habibie kala itu, bertemu dengan Presiden Soeharto di Jerman dan kemudian di ajak pulang kembali ke tanah air.
“Nah, korban yang seperti - orang yang sekolah bukan terlibat G30S PKI, hanya disekolahkan saja, sekarang masih ada beberapa di luar negeri. Menurut Menkumham masih ada 39 orang. Nanti akan kita cek satu per satu. Meskipun mereka tidak mau pulang, tetapi mereka akan kita nyatakan sebagai warga negara yang tidak pernah mengkhianati negara karena untuk pengkhianatan terhadap negara sudah selesai di pengadilan, sudah selesai di era reformasi di mana skrinning dan sebagainya dihapus, kemudian semua warga negara diberi hak yang sama di depan hukum dan pemerintahan,” tuturnya.
Keluarga Korban : “Yang Terpenting Bukan Permintaan Maaf”
Menanggapi pernyataan Mahfud MD itu, salah seorang orang tua korban Peristiwa Semanggi I yang bernama Bernardinus Realino Norma Irmawan atau yang biasa disapa Wawan, Maria Catarina Sumarsih, kepada VOA mengatakan sebenarnya yang terpenting bukanlah permintaan maaf.
“Minta maaf tidak perlu diucapkan dengan kata-kata atau dituangkan dalam sebuah keputusan peraturan perundang-undangan. Yang penting ada perubahan tingkah laku penguasa dengan berani mempertanggungjawabkan penembakan para mahasiswa pejuang reformasi dan demokrasi dalam tragedi Semanggi I - 13 November '98 dan Semanggi II - September '99 di meja Pengadilan HAM ad hoc,” ungkap Sumarsih kepada VOA.
Ini dikarenakan ada ketentuan bahwa untuk pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU Pengadilan HAM disahkan, harus dipertanggungjawabkan di Pengadilan HAM ad hoc, tambahnya.
Sumarsih sejak awal telah menolak Keputusan Presiden (Keppres) nomor 17 tahun 2022 tentang pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM). Ia menegaskan bahwa selama ini yang ia tuntut dari pemerintah adalah agar kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu dipertanggung jawabkan atau diselesaikan secara yudisial.
"Terutama untuk kasus Semanggi I - 13 November 1998 yang salah satu korbannya adalah anak saya, Wawan, mahasiswa Atma Jaya, Jakarta. Saya tidak menolak rekonsiliasi, tetapi harus melalui proses hukum sebagaimana diatur di dalam UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM,” jelasnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Sumarsih mengatakan ia sebenarnya belum membaca dengan seksama rekomendasi dari Komnas HAM terkait penyelesaian non yudisial pelannggaran HAM berat di masa lalu ini. Namun, ia menggarisbawahi Komnas HAM harus menghormati dan menghargai kerja keras dari anggota Komnas HAM sebelumnya yang melakukan penyelidikan terhadap kasus pelanggaran HAM berat secara proyustisia dengan mendorong Jaksa Agung untuk mematuhi Pasal 21 UU Pengadilan HAM tentang Penyidikan, di mana dalam Ayat (3) menyatakan "Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat."
“Oleh karena itu saya berharap agar komisioner Komnas HAM periode sekarang ini tidak menjadikan Komnas HAM sebagai lembaga impunitas. Jaminan tidak keberulangan terjadinya pelanggaran HAM berat di masa depan sebagaimana tertulis di dalam Keppres No. 17/2022 hanya bisa dilakukan dengan cara mengadili pelanggar HAM berat di meja pengadilan untuk membuat jera bagi para pelanggar HAM berat,” pungkasnya. [gi/em]