Salah satu yang mempertanyakan pilihan penyelesaian non-yudisial untuk kasus pelanggaran HAM berat Papua adalah Yuliana Langowuyo. Aktivis perempuan ini merupakan Direktur Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan, Papua.
“Penyelesaian melalui proses hukum atau penyelesaian yudisial, itu harus tetap menjadi yang utama, karena kita kan negara hukum. Jadi, pendekatan apalagi kalau bicara kasus pelanggaran HAM berat,” ujarnya..
Berbicara dalam diskusi yang diselenggarakan Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), Jumat (14/4) sore, Yuliana menegaskan bahwa penyelesaian yudisial tidak hanya memberikan rasa keadilan bagi korban. Proses hukum, juga akan memberi dampak kepada pelakunya.
“Karena yang kita harap, bukan cuma pelaku dihukum, tapi juga ada efek untuk yang lainnya. Dan karena kita bicara pelanggaran HAM, jadi institusi negara, institusi militer, ada tujuan besar yang dikejar dari proses yudisial ini, adalah perubahan institusinya. Perubahan di tubuh institusi militer,” tambah dia memberi alasan.
Jika ada perubahan, katanya, kemungkinan terulangnya kasus serupa di masa depan akan bisa ditekan.
Yuliana mengatakan, pendekatan non-yudisial, baik untuk korban pelanggaran HAM di masa lalu. Tapi, tegasnya, tidak berdampak positif bagi korban tindakan serupa di masa depan, ketika kekerasan serupa terjadi lagi.
Namun lebih dari itu, Yuliana mengatakan proses hukum juga akan memberikan manfaat bagi korban, sebagaimana proses non-yudisial. Menurut undang-undang yang ada, jika pengadilan HAM berjalan, pelaku menerima hukuman, maka pengadilan juga akan memberikan hak-hak korban. Misalnya, hak untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, rehabilitasi nama baik dan hak-hak lain.
“Itu adalah hak korban, yang akan secara otomatis dia terima, setelah proses hukum itu jalan,” ujar Yuliana.
Langkah non-yudisial juga dikhawatirkan akan dimanfaatkan pelaku pelanggaran HAM berat. Hanya di Papua, kata Yuliana, aparat militer meletakkan uang di atas peti mati korban, sebagai bentuk kompensasi dan penghindaran dari hukum. Lebih buruk lagi, uang yang biasanya dipakai untuk pembayaran denda atas terbunuhnya korban itu, adalah uang pemerintah daerah. Anggaran yang semestinya bisa dipakai untuk sektor pendidikan atau kesehatan, justru digunakan untuk membayar denda akibat pelanggaran HAM.
Terbitkan Inpres dan Keppres
Presiden Joko Widodo sendiri sudah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2/2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat. Instruksi itu diberikan kepada 16 menteri yang ada di kabinet, jaksa agung, Panglima TNI dan Kapolri.
Diantara instruksi yang diberikan adalah mengambil langkah-langkah yang diperlukan secara terkoordinasi dan terintegrasi sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing untuk melaksanakan rekomendasi Tim PPHAM. Rekomendasi itu sendiri berupa memulihkan hak korban dan mencegah agar pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak akan terjadi lagi.
Selain itu, Jokowi juga menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 4/2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. Tim ini bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Dalam penjabarannya, tugas Tim Pemantau PPHAM adalah memantau, mengevaluasi, dan mengendalikan pelaksanaan rekomendasi Tim Penyelesaian NonYudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. Sedang tugas kedua, melaporkan kepada Presiden paling sedikit enam bulan sekali dalam setahun atau sewaktu-waktu bila diperlukan.
Dinilai Sebagai Alternatif
Tokoh agama Pastor John Djonga melihat upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat Papua secara non-yudisial menjadi kesempatan terakhir bagi presiden Jokowi. John Djonga pertengahan Maret 2023 lalu, dipilih presiden sebagai salah satu anggota tim pemantau pelaksanaan penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat Papua.
Jokowi sendiri, menjadikan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat Papua, sebagai janji politiknya di 2014.
Bagi John Djonga, setidaknya upaya non-yudisial memberi manfaat bagi korban karena proses hukum tidak jelas kapan dilakukan.
“Saya mengikuti ini sebagai sesuatu yang membahagiakan bagi korban. Bagi keadilan korban. Ini memang penting, karena tidak bisa mereka bertahun-tahun menunggu proses hukum, sampai mereka mati tidak ada ujung pangkalnya,” kata John Djonga.
Dua pendekatan penyelesaian kasus HAM berat, kata Djonga, sama-sama tidak jalan di Papua. Tidak ada penyelesaian secara yudisial, tetapi penyelesaian non-yudisial juga tidak dilakukan. Karena itu, setidaknya jika penyelesaian non-yudisial diambil, ada kelegaan di lingkungan korban dan keluarganya.
“Saya merasa, mereka pergi ke alam baka itu dengan memikul beban. Mungkin dendam, mungkin marah, dan lain sebagainya. Maka mengikuti proses non-yusidial itu satu peluang besar, baik bagi rakyat Indonesia maupun bagi korban,” tambahnya,
Djonga juga menambahkan, “Saya pikir, kita tidak bisa lagi menunggu penyelesaian secara hukum. Di mana itu juga proses hukumnya penuh dengan risiko.”
Seperti diketahui, penyelesaian kasus pelanggaran HAM Paniai tahun lalu, berujung kekecewaan keluarga korban. Sidang dilakukan di Makassar, yang jauh dari Papua dan ujungnya jatuh vonis bebas untuk terdakwa.
Amanat UU Otsus Papua
Pengacara HAM Papua, Helmi – dikenal dengan hanya satu nama -- mengkritisi langkah ini karena selama lebih duapuluh tahun, amanat UU Otsus Papua tidak terlaksana. Pada pasal 45 dan 46 UU Otsus Papua, sebenarnya telah disebutkan kewajiban pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat Papua, melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
“Sampai sekarang, di Papua itu tidak ada lembaga pengadilan HAM maupun lembaga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Hal itu tentu menimbulkan pertanyaan,” ungkap Helmi.
Pemerintah pernah menyusun UU KKR pada 2004, tetapi kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
“Tetapi dalam konteks Papua, sebetulnya konsep KKR itu sudah ada di dalam Undang-Undang Otsus itu sendiri, yang diatur dalam pasal 45 ayat 2,” tambahnya.
Karena itu, dasar hukum penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat Papua sebenarnya sudah ada sejak 20 tahun yang lalu. Tugas pemerintah juga sangat jelas, yaitu melakukan klarifikasi sejarah Papua dan merumuskan serta menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi.
Di dalam lembaga KKR, sesuai aturan hukum yang ada, terdapat sejumlah sub komisi yang menjelaskan tugas mereka.
“Ada sub komisi pemulihan korban, ada juga yang berkaitan soal pengungkapan kebenaran, dan juga kemudian ada yang namanya pembayaran restitusi dan lain-lain,” rincinya.
Namun, dalam konteks Papua, Helmi melihat belum ada keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. [ns/ab]
Forum