Dengan suara delapan lawan satu, Mahkamah Agung Amerika membenarkan hak Gereja Baptis Westboro di Topeka, Kansas, untuk melakukan protes anti-homoseksual pada upacara pemakaman anggota militer Amerika yang tewas dalam perang di Afghanistan dan Irak.
Mahkamah Agung membenarkan apa yang dikenal sebagai hak Pasal Pertama bagi para pemrotes, yang percaya bahwa tewasnya para tentara di medan perang itu adalah hukuman Tuhan atas sikap toleransi terhadap homoseksual di Amerika.
Pasal Pertama Konstitusi Amerika melindungi kebebasan berbicara, kebebasan beragama, dan kebebasan berkumpul secara damai.
Pendapat mayoritas Mahkamah Agung itu ditulis oleh Hakim Agung John Roberts yang mengatakan pidato punya kekuatan yang dapat mendorong orang untuk bertindak dan juga mengakibatkan rasa sakit hati mendalam. Roberts mengatakan Amerika telah lama memutuskan untuk melindungi pidato yang bahkan menyakitkan mengenai isu-isu umum sehingga perdebatan publik tidak dibungkam.
Keputusan itu dikeluarkan setelah perdebatan di Mahkamah Agung Oktober lalu, ketika anggota gereja Margie Phelps memperdebatkan kasus itu di muka sembilan hakim agung dan kemudian berbicara kepada wartawan. Ia mengatakan, "Aturan hukumnya adalah apabila kita merasa dihina atau sakit hati karena kata-kata yang diucapkan, kita tidak dapat mencegah kata-kata itu.”
Margie Phelps adalah puteri Pendeta Fred Phelps, pemimpin Gereja Baptis Westboro fundamentalis yang mengorganisir protes yang kerap memajang spanduk-spanduk bertuliskan “Terima kasih Tuhan atas tewasnya tentara-tentara itu.”
Hanya satu hakim agung, Samuel Alito, yang berbeda pendapat dalam kasus itu. Alito mengatakan komitmen nasional terhadap perdebatan bebas dan terbuka bukan surat izin untuk melakukan serangan melalui kata-kata yang pedas.
Mahkamah Agung diminta untuk memutuskan kasus itu setelah pengadilan rendah berpihak kepada keluarga Kopral Marinir Matthew Snyder, yang tewas di Irak tahun 2008.
Jemaah gereja melakukan protes pada upacara pemakaman Snyder di Maryland, dan keluarganya menuntut kelompok gereja itu atas kepedihan mendalam yang diakibatkannya. Pengadilan rendah berpihak kepada keluarga Snyder, tetapi pengadilan banding menolak keputusan itu, membawa kasus itu ke Mahkamah Agung.
Ayah Matthew Snyder, Albert, berbicara kepada wartawan setelah perdebatan akhir Oktober lalu di Mahkamah Agung. Ia mengatakan, "Yang ingin kami lakukan adalah memakamkan Matthew secara terhormat. Ada cara yang beradab untuk menyatakan pendapat di Amerika tanpa menyebabkan kesedihan pada pihak lain dan sengaja melukai perasaan warga biasa pada upacara pemakaman yang sifatnya pribadi.”
Para analis hukum mengatakan keputusan itu adalah salah satu kasus kebebasan berbicara yang terpenting yang ditangani Mahkamah Agung dalam beberapa tahun terakhir.