Tiga hari setelah penyerangan gereja St.Lidwina di desa Trihanggo Sleman Yogyakarta, Majelis Dzikir Gusdurian Rabu sore (14/2) melakukan doa bersama umat Katolik di gereja tersebut.
Kyai Umaruddin Masdar, Pembina Gusdurian menegaskan tindak kekerasan tidak ada dalam agama manapun.
“Kami datang sebagai pecinta Gus Dur kaum muda Dahdlatul Ulama kita semua adalah saudara, saudara sebangsa saudara sesama manusia, ada ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariah. Semua manusia adalah saudara. Jadi melukai mereka adalah melukai kami juga. Kami menunjukkan bahwa tindakan (penyerangan) itu tidak mewakili agama manapun. Itu tidak menginspirasikan tindakan agama manapun. Ajaran kami, iman kami tidak membenarkan kekerasan dalam bentuk apapun. Apalagi mengancam jiwa dan mengancam fisik seseorang,” paparnya.
Baca juga: Presiden Jokowi Tegaskan Tidak Ada Tempat Bagi Kelompok Intoleran
Dalam acara doa bersama tersebut para santri Gusdurian yang mengenakan kemeja warna putih, sarung hitam dan kopiah; secara simbolis menyerahkan setangkai bunga sebagai tanda kasih kepada Romo Yohanes Dwi Harsanto dari Paroki Kemetiran yang membawahi gereja St. Lidwina.
Romo Yohanes mengatakan gembira atas kunjungan para Gusdurian dan berharap silaturahmi itu diteruskan. Ia menambahkan, pihak gereja masih berupaya menyembuhkan trauma jemaat yang menjadi korban, maupun yang menyaksikan serangan hari Minggu itu.
“Ini silaturahmi yang semoga bisa makin mempercepat penyembuhan akibat serangan hari Minggu itu. Kebiasaan berkunjung seperti ini menjadi kebiasaan kita hendaknya dilanjutkan jadi pola berbangsa dan bermasyarakat kita. Ada atau tidak ada teroris kita tetap satu bangsa satu hati, saling menguatkan satu sama lain bagi warga masyarakat dalam kemanusiaan,” ujar Yulius.
Gusdurian juga menyampaikan tujuh poin pernyataan, di antaranya mendesak pemerintah pusat dan daerah mencegah kampus-kampus dan masjid –masjid menjadi tempat tumbuhnya paham radikal. Mereka juga mendesak kepolisian DIY dan pihak terkait meningkatkan kamtibmas serta mendeteksi kelompok radikal dan gerakan intoleransi sedini mungkin.
Menurut catatan Gusdurian, Yogyakarta dalam beberapa tahun terakhir cenderung semakin tidak toleran dan semakin banyak aksi kekerasan dengan latar belakang SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Potensi praktik-praktik pelanggaran kebebasan beragama masih menjadi ancaman serius di Yogyakarta.
Your browser doesn’t support HTML5
Dalam kesempatan terpisah pada acara Deklarasi Damai di Kantor Kepatihan Rabu pagi, gubernur DIY Sultan Hamengkubuwono X merespon indikasi Yogyakarta sebagai kota intoleran.
“Kriminalisasi dan diskriminasi atas dasar agama. Kiranya catatan ini perlu menjadi perhatian para bupati dan walikota untuk penanganannya agar sejak dini sehingga kalau ada potensi intoleransi masyarakat sendiri siap menangkalnya,” kata Sultan.
Sementara itu, Direktur Kriminal Umum Polda DIY Komisaris Besar Hadi Utomo menyebutkan, Suliono, pelaku terror yang diketahui berasal dari Banyuwangi Jawa Timur, Selasa malam pukul 20.30 diserahkan ke Mabes Polri.
“Tersangka sudah kita geser ke Mabes Polri karena tindak pidana tersebut adalah tindak pidana teroris. Ini menjadi ranah menyidikan bagi teman-teman Densus 88. Suliono melakukan tindak pidana teror itu masih pada proses penyidikan, sementara pemain tunggal,” jelas Hadi. [ms/em]