Pekan lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah ketentuan terkait batas usia minimum capres-cawapres, dari ketentuan paling rendah 40 tahun, menjadi paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.
Putusan itu dilaporkan oleh sembilan pihak ke Mahkamah Kehormatan MK, yang kemudian menggelar sidang perdana secara terbuka dan dipimpin oleh Jimly Asshiddiqie. Sidang pada Kamis (26/10) ini beragendakan klarifikasi kepada pihak-pihak pelapor.
BACA JUGA: Prabowo-Gibran Resmi Daftar ke KPUUsai mendengar penjelasan dari masing-masing pelapor, Jimly mengatakan proses sidang akan membutuhkan waktu 30 hari. Oleh karena itu, dia meminta MKMK bergerak cepat dalam memeriksa laporan-laporan tersebut.
“Ini perlu diketahui. Ini perkara belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia seluruh dunia, semua hakim dilaporkan melanggar kode etik, baru kali ini,” tegas Jimly.
Mahkamah Kehormatan harus bergerak cepat, antara lain karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) dijadwalkan menetapkan capres-cawapres yang berlaga pada pemilihan presiden (pilpres) 2024, pada 13 November 2023.
Sejumlah perwakilan dari sembilan pihak pelapor menghadiri sidang perdana itu, baik secara daring maupun luring. Mereka antara lain Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Perekat Nusantara dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Ciptakayara Keadilan, Furqon Jundi, Denny Indrayana, Johan Imanuel, Nur Rahman dan beberapa yang lain.
Sementara LBH Barisan Relawan Jalan Perubahan, Perkumpulan Aktivis Pemantau Hasil Reformasi 98, dan Lembaga Pemantau dan Pengawas Pejabat Negara diketahui tidak hadir.
Jimly mengatakan, putusan MK terkait batas usia capres-cawapres ini menimbulkan sejarah baru karena membuat seluruh hakim konstitusi dilaporkan serta menuai polemik di tengah masyarakat.
Pakar Khawatirkan Kinerja MKMK
Ketua MK Anwar Usman telah melantik tiga anggota MKMK pada Selasa (24/10) lalu untuk menangani laporan terkait perkara yang mengubah persyaratan capres-cawapres ini.
Ketiga orang itu adalah Hakim Konstitusi paling senior Wahiduddin Adams, mantan ketua MK Jimly Asshiddiqie yang mewakili unsur tokoh masyarakat, dan Bintan R. Saragih, pakar hukum Universitas Pelita Harapan, yang mewakili akademisi.
Pemilihan ketiganya didasarkan pada Pasal 27A Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK yang menyebut keanggotaan MKMK terdiri dari unsur tokoh masyarakat, akademisi, dan hakim aktif. Ketiganya akan mengusut dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim tersebut.
Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari pesimis melihat catatan anggota MKMK tersebut. Secara terperinci dia menjelaskan, keraguan terhadap Jimly didasari oleh pernyataannya yang telah mendukung Prabowo Subianto mengikuti kontestasi calon presiden. Selain itu anak dari Jimly, yaitu Robby Asshiddiqie, juga merupakan kader Partai Gerindra yang memunculkan kekhawatiran adanya konflik kepentingan.
Sementara itu, menurut Feri, anggota MKMK Bintan R. Saragih, akademisi yang pernah menjabat di Dewan Etik MK, lebih sering mengambil keputusan yang cenderung membela hakim. Sedangkan Wahiduddin Adams, yang merupakan kolega Ketua MK Anwar Usman, dikhawatirkan tidak memberikan penilaian yang objektif.
BACA JUGA: MK Tolak Syarat Usia Maksimal dan Tidak Pernah Langgar HAMMeski demikian, Feri tetap berharap anggota MKMK dapat bekerja secara independen. Dia mengatakan temuan MKMK nantinya tidak akan berpengaruh langsung pada putusan MK, mengenai batas usia capres-cawapres yang sudah dibacakan pekan lalu. Namun, publik masih bisa mengajukan perkara batas usia capres-cawapres di MK.
“Putusan MK bagaimanapun final and binding (final dan mengikat). Satu-satunya cara kalau kemudian MKMK menemukan pelanggaran etik dan itu masalah serius, maka putusan MKMK itu dapat dijadikan alasan yang baru untuk kemudian mengajukan kembali pengujian pasal 169 huruf q, soal syarat batas usia itu,” kata Feri.
Sebelumnya, Anwar Usman dan sejumlah hakim konstitusi lainnya dilaporkan atas dugaan pelanggaran kode etik karena dianggap memuluskan jalan bagi Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju sebagai cawapres di Pilpres 2024.
Gibran adalah putra Presiden Joko Widodo yang sekaligus keponakan dari Ketua MK Anwar Usman.
Your browser doesn’t support HTML5
Ketua MK Anwar Usman telah membantah terlibat konflik kepentingan dalam memutus uji materi Undang-Undang Pemilu terkait batas usia minimum capres-cawapres paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Putusan itu yang akhirnya memuluskan jalan Gibran sebagai cawapres Prabowo Subianto.
Anwar menjelaskan selama 38 tahun kariernya sebagai hakim, ia selalu memegang teguh amanah dalam konstitusi, undang-undang dasar, amanah dalam Al-Quran. [fw/ns]