Makanan yang dikonsumsi di dunia semakin seragam, memarjinalkan tanaman pangan tertentu dan menimbulkan kekhawatiran soal ketahanan pangan dan kesehatan.
Semakin seragamnya makanan di seluruh dunia merupakan ancaman untuk kesehatan dan ketahanan pangan karena banyak orang meninggalkan pangan tradisional seperti singkong, sorgum atau jawawut (sejenis gandum), menurut sebuah studi internasional baru.
Laporan studi tersebut, yang diumumkan Senin (3/3) dan merinci untuk pertama kalinya konvergensi pangan universal di lebih dari 150 negara sejak 1960an, menunjukkan peningkatan atas makanan yang mengandung gandum, beras, kacang kedelai dan bunga matahari.
Penduduk di kepulauan Pasifik, misalnya, semakin sedikit menggunakan kelapa sebagai sumber lemak dan banyak orang di Asia Tenggara mendapatkan kalori yang lebih sedikit dari nasi.
"Semakin banyak orang mengkonsumsi kalori, protein dan lemak, dan mereka semakin bergantung lebih sedikit tumbuhan pangan utama...serta produk-produk daging dan susu," ujar Colin Khoury, pemimpin penelitian itu dari Pusat Internasional Pertanian Tropis di Kolombia, dalam pernyataan tertulis.
Gandum Meningkat, Ubi Berkurang
Hasil riset yang dimuat dalam Proceedings of the National Academy of Sciences tersebut menganalisa data pasokan makanan per kapita nasional yang dikumpulkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) sejak 1961.
Studi itu menemukan bahwa jumlah tanaman yang terkandung secara signifikan dalam makanan yang dikonsumsi orang-orang telah meningkat di sebagian besar negara dalam setengah abad terakhir.
Di China, misalnya, beras masih merupakan tanaman pangan teratas, sepertiga dari kalori rata-rata yang dikonsumsi dari tanaman per hari. Namun penduduk China sekarang memakan gandum hampir sebanyak nasi.
Sebaliknya, apa yang menjadi tanaman minor semakin tidak signifikan.
Konsumsi ubi di China jatuh dari 20 persen dari seluruh asupan kalori harian pada 1961 menjadi 2,9 persen pada 2009, menurut data terakhir yang tersedia.
Di Kenya, lebih dari sepertiga kalori harian berasal dari jagung, namun hal itu turun hampir setengahnya dari 1961. Sementara itu, gandum naik dari kurang dari 3 persen menjadi lebih dari 10 persen.
"Semakin pentingnya tanaman pangan utama di semakin banyak negara untuk semakin banyak orang, tanaman-tanaman lokal dan regional yang penting semakin termarjinalkan," menurut peneliti utama Colin Khoury.
Khoury mengatakan karena sedikit tanaman pangan yang menjadi basis makanan kita, "tanaman-tanaman itu perlu lebih tahan dan produktif dari tahun ke tahun."
Hal itu berarti melestarikan keberagaman genetik untuk menjaga dari ancaman-ancaman baru terhadap produktivitas dari perubahan iklim atau faktor-faktor lainnya. Dan, menurut Khoury, hal ini berarti meningkatkan kandungan nutrisi dari tanaman yang semakin menjadi bagian besar makanan kita.
Tanaman yang Termarjinalkan
Perubahan iklim dan risiko-risiko lingkungan dari praktik-praktik pertanian baru-baru ini membuat beberapa tanaman yang termarjinalkan lebih menarik, menurut para peneliti.
"Tanaman-tanaman ini memiliki banyak potensial," ujar Danielle Nierenberg, kepala lembaga riset di Washington, Food Tank, yang tidak terlibat dalam penelitian di atas.
“Mereka sangat bergizi, dapat tumbuh dalam kondisi-kondisi yang sulit. Sebagian besar sangat tahan terhadap hama dan penyakit dan kekeringan atau banjir, dan mereka mudah tumbuh."
Namun tanaman-tanaman ini terpinggirkan dalam riset dan pengembangan, ujarnya, karena sebagian besar dana mengalir ke tanaman-tanaman pangan utama yang menghasilkan tepung-tepungan.
Studi tersebut juga mencatat bahwa gula dan tanaman minyak seperti kacang kedelai, kelapa sawit dan bunga matahari, mengalami pertumbuhan tinggi dalam 50 tahun terakhir. Namun peningkatan konsumsi makanan berkalori tinggi yang dibuat dari tanaman-tanaman ini berhubungan dengan diabetes, penyakit jantung dan kanker.
Para peneliti menemukan tanda-tanda pergeseran respon atas kekhawatiran-kekhawatiran terkait kesehatan, lingkungan hidup dan perubahan iklim, mulai di Eropa utara. Dan mereka menyimpulkan bahwa keragaman pasokan makanan dapat mendorong tren itu. (VOA/Reuters)
Laporan studi tersebut, yang diumumkan Senin (3/3) dan merinci untuk pertama kalinya konvergensi pangan universal di lebih dari 150 negara sejak 1960an, menunjukkan peningkatan atas makanan yang mengandung gandum, beras, kacang kedelai dan bunga matahari.
Penduduk di kepulauan Pasifik, misalnya, semakin sedikit menggunakan kelapa sebagai sumber lemak dan banyak orang di Asia Tenggara mendapatkan kalori yang lebih sedikit dari nasi.
"Semakin banyak orang mengkonsumsi kalori, protein dan lemak, dan mereka semakin bergantung lebih sedikit tumbuhan pangan utama...serta produk-produk daging dan susu," ujar Colin Khoury, pemimpin penelitian itu dari Pusat Internasional Pertanian Tropis di Kolombia, dalam pernyataan tertulis.
Gandum Meningkat, Ubi Berkurang
Hasil riset yang dimuat dalam Proceedings of the National Academy of Sciences tersebut menganalisa data pasokan makanan per kapita nasional yang dikumpulkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) sejak 1961.
Studi itu menemukan bahwa jumlah tanaman yang terkandung secara signifikan dalam makanan yang dikonsumsi orang-orang telah meningkat di sebagian besar negara dalam setengah abad terakhir.
Di China, misalnya, beras masih merupakan tanaman pangan teratas, sepertiga dari kalori rata-rata yang dikonsumsi dari tanaman per hari. Namun penduduk China sekarang memakan gandum hampir sebanyak nasi.
Sebaliknya, apa yang menjadi tanaman minor semakin tidak signifikan.
Konsumsi ubi di China jatuh dari 20 persen dari seluruh asupan kalori harian pada 1961 menjadi 2,9 persen pada 2009, menurut data terakhir yang tersedia.
Di Kenya, lebih dari sepertiga kalori harian berasal dari jagung, namun hal itu turun hampir setengahnya dari 1961. Sementara itu, gandum naik dari kurang dari 3 persen menjadi lebih dari 10 persen.
"Semakin pentingnya tanaman pangan utama di semakin banyak negara untuk semakin banyak orang, tanaman-tanaman lokal dan regional yang penting semakin termarjinalkan," menurut peneliti utama Colin Khoury.
Khoury mengatakan karena sedikit tanaman pangan yang menjadi basis makanan kita, "tanaman-tanaman itu perlu lebih tahan dan produktif dari tahun ke tahun."
Hal itu berarti melestarikan keberagaman genetik untuk menjaga dari ancaman-ancaman baru terhadap produktivitas dari perubahan iklim atau faktor-faktor lainnya. Dan, menurut Khoury, hal ini berarti meningkatkan kandungan nutrisi dari tanaman yang semakin menjadi bagian besar makanan kita.
Tanaman yang Termarjinalkan
Perubahan iklim dan risiko-risiko lingkungan dari praktik-praktik pertanian baru-baru ini membuat beberapa tanaman yang termarjinalkan lebih menarik, menurut para peneliti.
"Tanaman-tanaman ini memiliki banyak potensial," ujar Danielle Nierenberg, kepala lembaga riset di Washington, Food Tank, yang tidak terlibat dalam penelitian di atas.
“Mereka sangat bergizi, dapat tumbuh dalam kondisi-kondisi yang sulit. Sebagian besar sangat tahan terhadap hama dan penyakit dan kekeringan atau banjir, dan mereka mudah tumbuh."
Namun tanaman-tanaman ini terpinggirkan dalam riset dan pengembangan, ujarnya, karena sebagian besar dana mengalir ke tanaman-tanaman pangan utama yang menghasilkan tepung-tepungan.
Studi tersebut juga mencatat bahwa gula dan tanaman minyak seperti kacang kedelai, kelapa sawit dan bunga matahari, mengalami pertumbuhan tinggi dalam 50 tahun terakhir. Namun peningkatan konsumsi makanan berkalori tinggi yang dibuat dari tanaman-tanaman ini berhubungan dengan diabetes, penyakit jantung dan kanker.
Para peneliti menemukan tanda-tanda pergeseran respon atas kekhawatiran-kekhawatiran terkait kesehatan, lingkungan hidup dan perubahan iklim, mulai di Eropa utara. Dan mereka menyimpulkan bahwa keragaman pasokan makanan dapat mendorong tren itu. (VOA/Reuters)