Mantan petinggi Microsoft mendirikan lembaga Room to Read yang membuka 1.650 sekolah dan 15.000 perpustakaan untuk masyarakat miskin.
SAN FRANCISCO, CALIFORNIA —
Hampir 800 juta penduduk dunia masih buta huruf, terutama di negara-negara berkembang, dan duapertiganya adalah perempuan.
Seorang mantan petinggi Microsoft, yang ingin menurunkan angka tersebut, telah membuka 1.650 sekolah dan 15.000 perpustakaan di beberapa dari komunitas termiskin di dunia.
"Hal yang saya pelajari dari Microsoft adalah bahwa tujuan kuat menarik orang kuat," ujar John Wood, pendiri program Room to Read. "Dari awal, saya mengatakan bahwa tujuan Room to Read adalah menjangkau 10 juta anak-anak di seluruh dunia di negara-negara termiskin."
Pada 1998, dalam liburan tiga minggu ke Nepal, Wood, yang saat itu masih bekerja di Microsoft, bertemu seorang kepala sekolah lokal yang mengundang Wood ke sekolahnya di desa terpencil di pegunungan. Pengalaman itu mengubah hidup Wood.
"Kepala sekolah ini mengatakan ada 450 anak di sekolah, tapi ia tidak memiliki buku apa pun," ujar Wood. "Ia memiliki perpustakaan yang benar-benar kosong."
Wood kemudian berjanji mengisi rak-rak perpustakaan dan kembali ke desa tersebut setahun membawa 3.000 buku yang dibawa oleh sapi-sapi yak. Dan itu baru permulaan.
Wood pensiun dari Microsoft dan menggunakan kekayaan pribadinya untuk memulai Room to Read. Organisasi nirlaba ini didasarkan pada keyakinan bahwa perubahan di dunia dimulai dari anak yang terdidik. Saat ini, lembaga tersebut beroperasi di 10 negara seputar Asia dan Afrika.
"Apa yang telah kita capai sangat luar biasa. Kami membangun organisasi kelas dunia yang melakukan terobosan dalam solusi pendidikan di negara berkembang," ujar Erin Ganju, salah seorang pendiri dan CEO Room to Read.
Meski melek huruf global merupakan tujuan utama, persamaan gender juga dianggap penting. Untuk membantu memberdayakan anak-anak perempuan, Room to Read mendanai program pendidikan jangka panjang bagi anak-anak dan remaja putri.
"Program ini sangat fokus pada tidak hanya untuk membuat anak-anak perempuan tetap bersekolah sampai akhir sekolah menengah, tapi juga membantu mendukung mereka secara holistik," ujar Ganju.
"Kami membawa mentor-mentor perempuan ke dalam komunitas ini yang berperan sebagai panutan bagi anak-anak perempuan ini dan menyediakan mereka lokakarya keterampilan seusai sekolah, tempat mereka dapat belajar keahlian penting seperti kepemimpinan, penyelesaian masalah dan mereka menjadi benar-benar berbeda."
Wood yakin kunci keberhasilan program ini adalah keterlibatan masyarakat lokal. Meski Room to Read menyumbangkan uang dan menyediakan buku, warga menyumbang tanah, orangtua memberikan tenaga untuk membangun sekolah, dan kementerian pendidikan sepakat membayar gaji para guru dan pegawai perpustakaan.
Room to Read juga mendirikan percetakan lokal yang memproduksi buku anak-anak dengan budaya yang sesuai dalam warna yang terang dan menarik. Buku-buku tersebut ditulis dalam bahasa lokal oleh penulis setempat dan ilustrasi oleh seniman lokal.
Pada akhir 2013, Room to Read telah akan menerbitkan 1.000 judul original dalam lebih dari 20 bahasa, menurut Wood.
"Saya sering bergurau bahwa Room to Read barangkali merupakan penerbit buku anak-anak terbesar yang tidak pernah didengar orang karena anak-anak muntkin tidak membacanya dalam bahasa yang kami terbitkan," ujarnya.
"Namun anak-anak di Vietnam, Sri Lanka, India, Nepal dan Afrika Selatan, mereka pantas mendapatkan buku dalam bahasa ibu seperti juga anak-anak di Amerika.”
Agnes, seorang guru Room to Read di Zambia yang juga mengelola perpustakaan, bangga mengatakan bahwa tingkat literasi di sekolahnya telah meningkat.
"Saya merasa bahagia dan itulah mengapa saya tidak dapat melepaskannya," ujar Agnes. "Saya harus bekerja keras dan menjamin semua murid dapat mengambil manfaat dari perpustakaan ini."
Tantangan terbesar Room to Read adalah tuntutan yang besar. Ratusan komunitas telah meminta program literasi ini, menurut Wood, yang menganggap permintaan-permintaan ini kesempatan yang hilang.
"Apa yang mendorong saya adalah ide bahwa tim-tim lokal kami yang kuat di Room to Read seharusnya tidak bisa mengatakan 'tidak' atau 'belum.' Mereka seharusnya dapat mengatakan 'ya'," ujar Wood, yang baru-baru ini meluncurkan buku keduanya mengenai program tersebut, Creating Room to Read: A Story of Hope in the Battle for Global Literacy (Menciptakan Room to Read: Kisah Harapan dalam Pertarungan untuk Literasi Global).
"Mengatakan ya terhadap komunitas untuk membuat program literasi. Ya untuk anak-anak yang diberdayakan lewat pendidikan. Ya untuk setiap anak yang mendapat tempat di sekolah yang dikelola dengan baik dan memiliki guru-guru yang benar-benar bagus dan saya tidak akan menyerah untuk tujuan itu."
Salah satu ukuran keberhasilan Room to Read adalah pencapaian tujuan Wood dalam menjangkau 10 juta anak pada 2015, atau lima tahun lebih awal dari rencana.
Seorang mantan petinggi Microsoft, yang ingin menurunkan angka tersebut, telah membuka 1.650 sekolah dan 15.000 perpustakaan di beberapa dari komunitas termiskin di dunia.
"Hal yang saya pelajari dari Microsoft adalah bahwa tujuan kuat menarik orang kuat," ujar John Wood, pendiri program Room to Read. "Dari awal, saya mengatakan bahwa tujuan Room to Read adalah menjangkau 10 juta anak-anak di seluruh dunia di negara-negara termiskin."
Pada 1998, dalam liburan tiga minggu ke Nepal, Wood, yang saat itu masih bekerja di Microsoft, bertemu seorang kepala sekolah lokal yang mengundang Wood ke sekolahnya di desa terpencil di pegunungan. Pengalaman itu mengubah hidup Wood.
"Kepala sekolah ini mengatakan ada 450 anak di sekolah, tapi ia tidak memiliki buku apa pun," ujar Wood. "Ia memiliki perpustakaan yang benar-benar kosong."
Wood pensiun dari Microsoft dan menggunakan kekayaan pribadinya untuk memulai Room to Read. Organisasi nirlaba ini didasarkan pada keyakinan bahwa perubahan di dunia dimulai dari anak yang terdidik. Saat ini, lembaga tersebut beroperasi di 10 negara seputar Asia dan Afrika.
"Apa yang telah kita capai sangat luar biasa. Kami membangun organisasi kelas dunia yang melakukan terobosan dalam solusi pendidikan di negara berkembang," ujar Erin Ganju, salah seorang pendiri dan CEO Room to Read.
Meski melek huruf global merupakan tujuan utama, persamaan gender juga dianggap penting. Untuk membantu memberdayakan anak-anak perempuan, Room to Read mendanai program pendidikan jangka panjang bagi anak-anak dan remaja putri.
"Program ini sangat fokus pada tidak hanya untuk membuat anak-anak perempuan tetap bersekolah sampai akhir sekolah menengah, tapi juga membantu mendukung mereka secara holistik," ujar Ganju.
"Kami membawa mentor-mentor perempuan ke dalam komunitas ini yang berperan sebagai panutan bagi anak-anak perempuan ini dan menyediakan mereka lokakarya keterampilan seusai sekolah, tempat mereka dapat belajar keahlian penting seperti kepemimpinan, penyelesaian masalah dan mereka menjadi benar-benar berbeda."
Wood yakin kunci keberhasilan program ini adalah keterlibatan masyarakat lokal. Meski Room to Read menyumbangkan uang dan menyediakan buku, warga menyumbang tanah, orangtua memberikan tenaga untuk membangun sekolah, dan kementerian pendidikan sepakat membayar gaji para guru dan pegawai perpustakaan.
Room to Read juga mendirikan percetakan lokal yang memproduksi buku anak-anak dengan budaya yang sesuai dalam warna yang terang dan menarik. Buku-buku tersebut ditulis dalam bahasa lokal oleh penulis setempat dan ilustrasi oleh seniman lokal.
Pada akhir 2013, Room to Read telah akan menerbitkan 1.000 judul original dalam lebih dari 20 bahasa, menurut Wood.
"Saya sering bergurau bahwa Room to Read barangkali merupakan penerbit buku anak-anak terbesar yang tidak pernah didengar orang karena anak-anak muntkin tidak membacanya dalam bahasa yang kami terbitkan," ujarnya.
"Namun anak-anak di Vietnam, Sri Lanka, India, Nepal dan Afrika Selatan, mereka pantas mendapatkan buku dalam bahasa ibu seperti juga anak-anak di Amerika.”
Agnes, seorang guru Room to Read di Zambia yang juga mengelola perpustakaan, bangga mengatakan bahwa tingkat literasi di sekolahnya telah meningkat.
"Saya merasa bahagia dan itulah mengapa saya tidak dapat melepaskannya," ujar Agnes. "Saya harus bekerja keras dan menjamin semua murid dapat mengambil manfaat dari perpustakaan ini."
Tantangan terbesar Room to Read adalah tuntutan yang besar. Ratusan komunitas telah meminta program literasi ini, menurut Wood, yang menganggap permintaan-permintaan ini kesempatan yang hilang.
"Apa yang mendorong saya adalah ide bahwa tim-tim lokal kami yang kuat di Room to Read seharusnya tidak bisa mengatakan 'tidak' atau 'belum.' Mereka seharusnya dapat mengatakan 'ya'," ujar Wood, yang baru-baru ini meluncurkan buku keduanya mengenai program tersebut, Creating Room to Read: A Story of Hope in the Battle for Global Literacy (Menciptakan Room to Read: Kisah Harapan dalam Pertarungan untuk Literasi Global).
"Mengatakan ya terhadap komunitas untuk membuat program literasi. Ya untuk anak-anak yang diberdayakan lewat pendidikan. Ya untuk setiap anak yang mendapat tempat di sekolah yang dikelola dengan baik dan memiliki guru-guru yang benar-benar bagus dan saya tidak akan menyerah untuk tujuan itu."
Salah satu ukuran keberhasilan Room to Read adalah pencapaian tujuan Wood dalam menjangkau 10 juta anak pada 2015, atau lima tahun lebih awal dari rencana.