Mantan Presiden Dibunuh, Kekhawatiran Soal Kemanusiaan dan Politik Semakin Dalam di Yaman

Orang-orang berdiri di samping mobil-mobil yang hancur pasca bentrokan pejuang Houthi dengan pasukan yang setia kepada mantan presiden Yaman Ali Abdullah Saleh baru-baru ini di Sanaa, Yaman, 5 Desember 2017.

Utusan PBB untuk Yaman dijadwalkan memberi penjelasan ringkas kepada para anggota Dewan Keamanan PBB hari Selasa ini (5/12), sehari setelah pemberontak membunuh mantan presiden Yaman yang juga mantan sekutu mereka, Ali Abdullah Saleh, menyusul kekerasan yang meningkat di ibukota dengan dibubarkannya aliansi mereka.

Juru bicara PBB Stephane Dujarric memberitahu wartawan bahwa utusan PBB untuk Yaman, Ismail Ould Cheikh Ahmed diharapkan akan membahas dampak politik tewasnya mantan presiden Ali Abdullah Saleh.

“Ini jelas menambahkan tingkat kerumitan yang ekstrem terhadap situasi politik Yaman yang sekarang ini sangat sulit,” kata Dujarric. Ia menegaskan bahwa badan dunia itu tetap siap memperantarai perundingan untuk menghentikan konflik yang telah menewaskan 10 ribu orang dan menyebabkan jutaan lainnya dalam kondisi sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan di Yaman sejak 2014.

Koordinator bantuan kemanusiaan PBB untuk Yaman, Jaime McGoldrick, menyerukan gencatan senjata kemanusiaan pada hari Selasa guna memberi waktu kepada warga sipil untuk mencari bantuan.

Dalam suatu pernyataan, McGoldrick mengemukakan, jalan-jalan di ibukota, Sana’a telah menjadi medan pertempuran dan warga terperangkap di rumah mereka, tidak dapat keluar rumah untuk mencari keselamatan dan layanan kesehatan serta untuk mendapatkan pasokan dasar seperti makanan, bahan bakar dan air bersih.

Sementara itu milisi dan para pendukung Houthi Senin membakar rumah mantan sekutu mereka itu dan merayakan kematian Saleh di jalan-jalan.

Para saksi mata menyatakan pertempuran mereda di ibukota, beberapa jam setelah kematian Saleh diumumkan.

Mohammed Saad, seorang pendukung Houthi mengatakan, “Suasana di jalan-jalan lebih rileks hari ini. Warga rileks dan kematian pemimpin milisi yang berusaha menimbulkan kericuhan dan membuat kami kacau, dan menjual kami ke para agresor Saudi merupakan kabar baik, dan tentu saja Ali Abdullah Saleh adalah kartu terakhir yang dimainkan koalisi pimpinan Saudi.”

Saleh telah memimpin Yaman selama tiga dekade lebih sebelum ia disingkirkan atas tekanan rakyat dan politik pada tahun 2012. Akan tetapi ia terus berpengaruh besar di balik layar. Ia membentuk aliansi dengan kelompok pemberontak Houthi yang didukung Iran sewaktu mereka merebut Sana’a pada tahun 2014 dan memaksa Presiden Abed Rabbo Mansour Hadi mengasingkan diri.

Kematian Saleh pada hari Senin merupakan puncak dari peristiwa dramatis selama berhari-hari setelah ia mengecam pemberontak Houthi dan menganjurkan pemulihan hubungan dengan Arab Saudi, yang selama dua tahun ini memimpin suatu koalisi militer yang mendukung Hadi.

“Ia menjadi syuhada untuk membela negara,” kata Faiqa al-Sayyid, pemimpin Kongres Rakyat Umum. Al-Sayyid menyalahkan pemberontak Houthi atas pembunuhan Saleh di Sana’a Selatan.

Kelompok pemberontak itu menyatakan Saleh sedang dalam perjalanan menuju Arab Saudi sewaktu ia dibunuh. Mereka menyatakan kematian Saleh menggagalkan apa yang mereka sebut upaya kudeta Saleh terhadap “aliansi yang tidak pernah ia percayai.”

Dalam pidatonya yang ditayangkan di televisi, pemimpin Houthi Abdul-Malek al-Houthi menyebut tewasnya Saleh sebagai “hari yang kelam bagi pasukan koalisi.”

Hadi sendiri, dalam pidatonya di Arab Saudi, meminta rakyat Yaman di daerah-daerah yang dikuasai Houthi agar bangkit melawan pemberontak.

Bentrokan antara pasukan yang setia kepada Saleh dan pemberontak Houthi pada awalnya berkobar pekan lalu, sewaktu Saleh menuduh Houthi menyerbu masjidnya di Sana’a dan menyerang keponakannya, komandan pasukan khusus yang sangat berpengaruh, Tarek Saleh. [uh/ab]