Mantan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon mengatakan, pada Rabu (31/5), bahwa ia sedang berkomunikasi dengan pihak berwenang di Myanmar, yang kini dikendalikan militer, serta sejumlah anggota pasukan perlawanan bersenjata, menyusul kunjungan dadakan ke negara itu pada bulan lalu. Ia menyerukan lebih banyak tekanan diplomatik terhadap para jenderal militer Myanmar agar menghentikan kekerasan di negara tersebut.
Ban tidak merinci komunikasi yang ia jalin dan menolak mengungkap rincian perbincangannya dengan para pemimpin militer selama pertemuan mereka pada April lalu. Ia menyampaikan hal itu pada sebuah konferensi pers di Seoul bersama anggota The Elders lainnya – kelompok yang berisi sejumlah negarawan senior yang memperjuangkan perdamaian dan menjalankan inisiatif hak asasi manusia di seluruh dunia.
“Saya berhubungan dekat dengan semua orang itu untuk melakukan semua yang bisa kami lakukan untuk membantu mereka mendemokratisasi Myanmar,” ungkap Ban.
Ia mengatakan, ia masih berkomunikasi dengan pihak berwenang Myanmar, presiden Republik Indonesia – yang sedang memegang kepemimpinan ASEAN – dan Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar, yang memimpin pemerintahan sipil bawah tanah, menyusul kudeta militer tahun 2021, yang menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi.
Dalam pertemuannya dengan para pemimpin militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, dan pejabat-pejabat tinggi lainnya, Ban mendesak mereka untuk mengambil inisiatif untuk mengatasi krisis politik yang sarat kekerasan di negara itu dan membebaskan tahanan politik. Ia juga menyerukan para pemimpin militer itu untuk menerapkan rencana perdamaian yang diusulkan ASEAN, di mana Myanmar menjadi anggota, serta resolusi PBB untuk menghentikan kekerasan di antara pihak militer dan pasukan perlawanan pro-demokrasi.
Kunjungan Ban dilakukan atas undangan pemerintah militer Myanmar. Ia tetap bungkam terkait apa yang dikatakan para pemimpin militer kepadanya dalam pertemuan. Pemerintah militer Myanmar telah secara konsisten menolak seruan asing untuk melakukan negosiasi sebagai campur tangan terhadap kedaulatan Myanmar dan melabeli pihak oposisi pro-demokrasi sebagai teroris.
Pada konferensi pers tersebut, Ban mengatakan, ia memberi tahu para pemimpin militer pada April lalu bahwa ia “tidak akan pernah bisa menerima” upaya mereka untuk “menghindari perdebatan” tanpa menjelaskan lebih jauh isi percakapan itu.
Beberapa pakar skeptis terhadap inisiatif Ban, dengan menyebut kurangnya kemajuan dalam upaya-upaya perdamaian sebelumnya.
Nay Phone Latt, juru bicara Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG), mengatakan kepada Associated Press setelah kunjungan Ban bahwa para pemimpin dunia harus tahu bahwa tangan mereka akan ternodai dengan darah setelah berjabat tangan dengan pemimpin “pasukan teroris” – merujuk pada pertemuan Ban dengan Min Aung Hlaing.
Ban mencatat bahwa para pemimpin militer membebaskan sekitar 2.000 tahanan politik setelah pertemuan mereka, meski mereka tidak membebaskan Suu Kyi, yang sudah ditahan sejak 2021.
Ketika ditanya apakah ia akan melakukan kunjungan lanjutan ke Myanmar untuk mewakili The Elders, termasuk kemungkinan pertemuan atau menjalin komunikasi dengan NUG, Ban menjawab: “Apa pun yang perlu dilakukan.”
Ketika masih menjabat sekjen PBB pada 2008, Ban mengunjungi Myanmar untuk menekan para jenderal militer yang kala itu berkuasa untuk mengizinkan bantuan asing dan pakar menemui para penyintas Topan Nargis yang menewaskan 134.000 orang. Ia mendesak militer untuk menerapkan demokrasi. Ia juga menghadiri konferensi perdamaian di Naypyitaw, ibu kota Myanmar, pada 2016 yang berusaha mengakhiri konflik bersenjata selama puluhan tahun dengan kelompok-kelompok etnis minoritas. [rd/rs]