Mantan Wakil Dubes AS di Libya Beri Kesaksian di Hadapan Komisi DPR

Gregory Hicks, mantan wakil Dubes AS di Libya memberikan kesaksian terkait serangan di Kedubes AS di Benghazi (8/5).

Gregory Hicks, Mantan Wakil Dubes AS di Libya tampil di hadapan Komisi DPR untuk Pengawasan dan Reformasi Pemerintah untuk memberikan kesaksian terkait Serangan Kedubes AS di Benghazi, Rabu (8/5).
Mantan Wakil Dutabesar Amerika di Libya mengatakan ia berusaha meminta bantuan militer dalam serangan maut tahun lalu terhadap misi diplomatik Amerika di Benghazi – tetapi diberitahu bahwa pangkalan udara Amerika yang terdekat adalah di Italia, terlalu jauh untuk menolong.

Gregory Hicks memberitahu komisi Kongres hari Rabu bahwa ia berkali-kali menghubungi pejabat Amerika di Washington DC, termasuk Menteri Luar Negeri waktu itu Hillary Clinton, dan para pejabat Libya – saat terjadinya serangan 11 September terhadap konsulat Amerika di Benghazi yang kurang pengamanan.

Hicks mengatakan saat itu ia diberitahu bahwa pesawat Amerika yang berpangkalan di Italia akan memerlukan waktu dua hingga tiga jam untuk sampai ke Libya dan tidak ada pesawat tanker tersedia untuk mengisi bahan bakar pesawat penyerang. Para pejabat Pentagon telah memberitahu penyelidik bahwa ini akan memakan waktu lebih lama lagi.

Hicks dan dua pejabat lain dari Departemen Luar Negeri Amerika tampil di hadapan Komisi DPR untuk Pengawasan dan Reformasi Pemerintah, sidang Kongres yang terbaru mengenai serangan yang menewaskan dutabesar Amerika Christopher Stevens dan tiga diplomat Amerika lainnya.

Beberapa hari setelah serangan itu, Hicks mengatakan ia “kaget” dan “malu” mendengar Susan Rice, dutabesar Amerika di PBB, menyatakan dalam acara berita televisi bahwa serangan itu berpangkal pada protes menentang video anti-Islam, seperti yang terjadi sebelumnya pada hari itu juga di Kairo. Hicks mengatakan sudah jelas pada awal serangan Benghazi bahwa peristiwa tersebut merupakan serangan teroris yang tidak ada hubungannya dengan demonstrasi menentang video.

Ucapan Rice itu membuat fraksi Republik dalam Kongres menuduh pemerintahan Obama dengan sengaja menyesatkan rakyat tentang serangan tersebut, yang terjadi hanya beberapa minggu sebelum pemilihan presiden bulan November.

Fraksi Demokrat mengatakan penyelidikan itu usaha bermotif politik untuk memperburuk reputasi Hillary Clinton, seorang tokoh politik Amerika yang populer yang mungkin akan menjadi calon presiden dari partai Demokrat tahun 2016.