Pemilu masih dua tahun lagi. Namun, sejumlah menteri di Kabinet Presiden Joko Widodo mulai menunjukkan tanda-tanda akan mencalonkan diri sebagai presiden, baik secara terbuka ataupun tidak.
Kondisi semacam itu terjadi pada setiap periode. Sistem politik Indonesia yang memodifikasi sistem presidensial standar menjadi penyebabnya. Pakar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Dr. Sri Hastuti Puspitasari, menyebut fenomena itu hanya satu dari sekian dampak dari penerapan sistem yang saat ini ada. Padahal sebenarnya manuver menteri di tengah masa jabatan memiliki potensi sebagai sumber masalah.
“Memang tidak bisa kita pungkiri, menteri-menteri di dalam kabinet koalisi multipartai di dalam sistem presidensial ini pasti akan melakukan manuver politik, yang barangkali manuver politik itu sebenarnya secara tidak langsung bisa menyerang presiden. Secara tidak langsung, secara sembunyi-sembunyi,” kata Sri Hastuti.
Ia menyampaikan pandangan itu dalam diskusi Manuver Menteri Jelang Pemilu dan Kabinet Presidensial yang Efektif. Diskusi diselenggarakan Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK), Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Kamis (23/6) sore.
Jabatan Menteri untuk Kampanye
Dalam kasus yang berbeda, menteri yang ingin mencalonkan diri seperti Menteri BUMN Erick Tohir, cenderung tidak mendukung program yang dijalankan tokoh lain, yang berpotensi menjadi pesaingnya di 2024. Sri Hastuti menyebut kasus balapan mobil Formula E di Jakarta bulan lalu bisa menjadi contoh. BUMN total mendukung gelaran balap Moto GP di Mandalika, tetapi tidak menampakkan dukungan dalam ajang sejenis di Jakarta, karena posisi Anies Baswedan yang mungkin berpotensi bersaing dalam Pilpres ke depan.
Di masa lalu, manuver politik juga kerap dilakukan menteri yang menjabat untuk melawan presiden yang ketika itu masih berkuasa. Di era Megawati Soekarnoputri misalnya, Susilo Bambang Yudhoyono berbelok di tengah jalan untuk maju dalam Pemilihan Presiden 2004. Kemarahan Megawati bahkan disebut-sebut tidak hilang bertahun-tahun lamanya akibat manuver itu. Padahal, kata Sri Hastuti, dalam sistem yang ada langkah itu adalah realitas politik yang harus bisa diterima.
Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati tidak menampik bahwa jabatan menteri adalah sekaligus fasilitas berkampanye.
“Kampanye itu kan bukan sekedar kampanye formal, yang kalau sekarang disepakati 75 hari (dalam jadwal Pemilu 2024-red). Dari sekarang, kan orang sudah bisa mencitrakan dirinya, karena salah satu cara kampanye adalah citra diri. Menteri sudah bisa mencitrakan dirinya dari sekarang, jadi memang itu sesuatu yang tidak bisa terhindarkan,” ujarnya dalam diskusi yang sama.
Dari sisi yang berbeda, menjadi seorang menteri adalah juga sebuah investasi. Modal politik yang ditaruh di jabatan itu, dituai melalui publikasi sehingga figurnya mudah dikenal masyarakat sebagai pemilih. Kemudian, melalui program-program yang diselenggarakan kementerian, menteri juga bisa menaikkan popularitasnya. Bahkan, lanjut Khoirunnisa, menteri kadang menggunakan big data, untuk menyusun program-programnya agar sesuai dengan apa yang menjadi kesukaan masyarakat pada saat itu.
“Nah sekarang, adalah bagaimana presiden sebagai bosnya menteri-menteri ini bisa menegur atau memberikan penilaian. Ini menteri-menterinya sekedar memanfaatkan jabatan atau bekerja dengan benar. Karena yang enggak bisa dihindari juga, kan ketika dia jadi menteri, dia keliling-keliling ke daerah ketemu banyak orang,” tambah perempuan yang akrab dipanggil Ninis ini.
Kondisi ini akan mejadi masalah, ketika menteri sibuk bermanuver dan pekerjaan yang terkait tugas-tugasnya sebagai menteri, justru tidak dilakukan.
BACA JUGA: Pengamat: Biaya Politik Tinggi Picu Kemunduran Kualitas Demokrasi di IndonesiaBalas Jasa Politik
Meminta Presiden bersikap tegas kepada menteri yang bermanuver untuk 2024, seperti kata Khoirunnisa, juga bukan persoalan mudah.
Kabinet multipartai dalam sistem presidensial seperti ini, membuat pemilihan menteri lebih dimaksudkan sebagai balas jasa politik. Dr. Sri Hastuti Puspitasari menyebut sistem di Indonesia membuat menteri memiliki ambivalensi dualisme loyalitas.
“Menteri yang berasal dari partai akan loyal kepada presiden atau ketua Parpol. Dulu ada istilah Presiden Jokowi menjabat itu sebagai petugas partai, presiden itu petugas partai. Menteri pun petugas partai. Menteri itu, dia akan loyal kepada presiden atau ketua Parpol,” tambahnya.
Loyalitas menteri kepada partai terbentuk, karena pengangkatan menteri kerap dilakukan karena tawar menawar politik. Posisi menteri adalah ajang balas jasa, sehingga kata Sri Hastuti, pertimbangan presiden mengangkat menteri kerap tidak melihat kapasitasnya.
“Dua minggu lalu, ketika Pak Jokowi melakukan reshuffle kabinet, mana yang kira-kira merit system? Ada seorang wakil menteri yang terus terang mengatakan bahwa dia tidak punya latar belakang dan pengalaman di bidangnya, tetapi dia mengambil jabatan itu. Itu kan benar spoil system, dia sudah terang-terangan mengatakan seperti itu,” tegasnya.
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Abdul Gaffar Karim, juga menyebut reshuffle kabinet terakhir menjadi penanda bahwa presiden di Indonesia tidak pernah memegang hal tunggal dalam penyusunan kabinet. Tidak mungkin presiden memiliki nyali membangaun kabinetnya tanpa persetujuan legislatif, kata Gaffar.
“Karena itu, reshuffle kabinet di Indonesia selalu fifty-fifty antara persoalan kapasitas dengan persoalan rekomposisi kekuatan politik. Kapasitas artinya ini menterinya becus atau tidak becus bekerja, kemudian di-reshuffle. Tetapi kali lain, reshuffel-nya karena perubahan kekuatan politik, pergeseran angin politik di legislatif dan kepartaian, dan kemudian presiden harus menyesuaikan diri,” papar Gaffar.
BACA JUGA: Jokowi Kembali Melakukan Reshuffle KabinetMelihat reshuffle yang dilakukan dua pekan lalu, Gaffar semakin meyakini bahwa seorang menteri di Indonesia yang diberhentikan, sangat jarang terjadi karena inkompetensi. Jauh lebih mungkin, dia diganti karena perubahan-perubahan angin politik.
Pembuktian tentang posisi presiden di depan partai, bisa dilihat dari beredarnya video ketika Presiden Joko Widodo harus duduk di kursi kecil, menghadap Megawati Soekarnoputri, yang juga menjabat Ketua Umum PDIP. Pemosisian presiden semacam itu, dinilai Gaffar tidak layak.
“Posisi Presiden Republik Indonesia, simbol sistem pemerintahan kita yang presidensial itu, duduk di hadapan seorang rakyat dengan cara seperti itu, itu tidak cukup bagus bagi publik sebenarnya. Tapi itulah realitanya, bahwa presiden memang oleh PDIP cuma dianggap sebagai petugas partai. Basis kekuatannya ada di situ,” tegas Gaffar.
Karena Indonesia memodifikasi sistem presidensial yang umum ada di dunia, maka Gaffar menyatakan sulit untuk menakar efektivitas kabinet, sesuai acuan teori yang ada. [ns/ah]