Maroko Ajukan UU Baru terkait Hak-hak Perempuan

Parlomon Maroko dalam sesi sidang di ibu kota Rabat (foto: ilustrasi). Undang-undang baru Maroko terkait hak-hak perempuan masih memerlukan persetujuan dari parlemen dan kerajaan.

Maroko mengusulkan reformasi hukum keluarganya pada Selasa (24/12), yang membahas berbagai isu seperti pembatasan pernikahan di bawah umur dan hak waris perempuan, yang menurut para aktivis tidak dijamin berdasarkan undang-undang saat ini.

Berdasarkan undang-undang bersejarah 2004 yang dianggap sebagai terobosan pada saat itu, usulan tersebut mencakup peningkatan usia pernikahan yang sah dan perluasan hak asuh bagi perempuan, kata Menteri Kehakiman Abdelatif Ouahbi.

Undang-undang baru tersebut, yang masih memerlukan persetujuan parlemen dan kerajaan, muncul setelah dua tahun konsultasi dengan masyarakat sipil serta kalangan hukum dan agama.

Para pembela hak-hak perempuan di negara Afrika Utara tersebut menuntut kesetaraan penuh dalam warisan dan hak asuh anak, dan larangan total terhadap pernikahan anak - yang nampaknya tidak terpenuhi dalam usulan baru tersebut. Menurut Ouahbi, yang memaparkan reformasi tersebut dalam sebuah konferensi pers di Rabat, usia legal untuk menikah akan tetap 18 tahun, tetapi usia minimum untuk mendapat pengecualian - yang saat ini 15 tahun - akan naik menjadi 17 tahun.

Perwalian orang tua, yang sebelumnya diberikan secara otomatis kepada ayah, kini akan dibagi oleh kedua orang tua bahkan jika mereka berpisah, dan ibu yang bercerai tidak akan lagi terancam kehilangan hak asuh atas anak-anak mereka jika mereka memilih untuk menikah lagi, kata Ouahbi.

Terkait warisan, di mana perempuan Maroko saat ini menerima setengah dari bagian yang diberikan berdasarkan hukum kepada saudara laki-laki mereka, reformasi tersebut menawarkan alternatif dengan mengizinkan sumbangan tanpa batas kepada ahli waris perempuan, termasuk anak di bawah umur.

Poligami, meskipun dibatasi berdasarkan hukum keluarga saat ini, akan tetap diizinkan tetapi tunduk pada aturan yang lebih ketat yang mengharuskan persetujuan istri sebelum suaminya dapat menikahi orang lain.

Menteri tersebut tidak menetapkan batas waktu, dengan amendemen undang-undang tersebut masih menunggu proses legislatif. Raja Mohammed VI diperkirakan memberi keputusan akhir dalam setiap perselisihan mengenai naskah UU baru tersebut.

Reformasi tersebut diperintahkan oleh raja pada 2022, dan sebuah komite yang bertugas menyusun amendemen dibentuk pada September tahun lalu. Komite tersebut menyerahkan rekomendasinya pada Maret.

Dikenal sebagai “Mudawana”, hukum keluarga Maroko diadopsi pada 2004 dan dianggap progresif pada saat itu meskipun pembela hak-hak perempuan menganggapnya tidak memadai. [ns/uh]