Setiap kali berobat ke rumah sakit, Dwi Rahayu Februarti, kesulitan berkomunikasi dengan tenaga medis. Dwi Rahayu, yang bisu tuli sejak lahir, biasa berkomunikasi dengan membaca gerakan bibir lawan bicara, sedangkan para perawat dan dokter selalu menggunakan masker wajah.
Ketika pandemi virus coroa melanda, Dwi Rahayu makin sulit berkomunikasi. Pasalnya, Tidak hanya tenaga medis yang mengenakan masker. Semua orang, termasuk tetangga Dwi Rahayu di Sleman, Yogyakarta, sehari-hari kini mengenakan masker.
Dari pengalamannya itu, tercetus ide membuat masker wajah transparan.
BACA JUGA: Terkait Corona, Kelompok Rentan Harus Lebih Diperhatikan“Sebelum wabah Covid 19 ini, komunikasi dengan orang-orang itu sudah sulit. Kemudian ketika menggunakan masker itu tambah sulit karena ekspresi dan gerakan bibirnya tidak terbaca. Jadi kami kami mengambil kesempatan untuk membuat masker transparan agar komunikasinya tidak sulit,” kata Dwi Rahayu kepada VOA dengan bantuan penerjemah bahasa isyarat.
Masker transparan awalnya bentuknya sama dengan masker yang umum dipakai. Hanya, pada bagian depan, dibuat lubang lebar dan diganti bahannya dengan plastik mika. Karena transparan, bibir orang yang memakai masker jenis ini bisa terlihat jelas ketika berbicara.
Perempuan berusia 41 tahun itu butuh beberapa kali percobaan untuk mendapat model yang nyaman. Keterampilan menjahit yang diperoleh Dwi Rahayu dari mengikuti kursus menjahit terbukti membantunya dalam pembuatan masker itu.
Model pertama yang dibuat kurang nyaman digunakan. Plastik mika yang dipasang di depan bibir justru menyulitkan karena lama-lama lembab dan menempel di kulit. Plastik itu bahkan menyulitkan mereka untuk menggerakkan bibir.
BACA JUGA: Kelompok Disabilitas Rawan Tidak Dapat Bantuan CoronaDibantu suaminya, Elfiandi Nain, Dwi Rahayu kemudian membuat masker wajah transparan model kedua. Masker ini memiliki bidang tebal yang menciptakan jarak antara bibir dan plastik. Masker inilah yang saat ini dibuat Dwi Rahayu di rumahnya.
“Teman-teman bisu tuli bisa datang ke rumah saya untuk belajar menjahit masker ini dan kemudian membuatnya sendiri di rumahnya,” tambah Dwi Rahayu yang sudah 15 tahun menguasai keterampilan menjahit.
Dwi Rahayu yang juga Ketua Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin) Sleman, DI Yogyakarta, mengaku beruntung mendapat dukungan keluarga sejak kecil, dan mampu bersekolah di SLB setingkat SMP.
Mengatasi Kendala Komunikasi
Suami Dwi Rahayu, Elfiandi Nain yang juga bisu tuli turut berperan dalam mendesain masker transparan terbaru.
Pria berusia 48 tahun asal Bukittinggi itu sehari-harinya membuka toko kelontong dan melayani pengiriman gas tabung serta air minum galon. Karena pekerjaan inilah, Elfiandi setiap hari berinteraksi dengan warga sekitar rumahnya.
Sama seperti istrinya, Elfiandi juga berkomunikasi dengan membaca gerak bibir lawan bicaranya. Sejak semua pelanggannya menggunakan masker untuk mencegah penularan virus corona, Elfiandi kesulitan berkomunikasi.
“Sekarang masalahnya karena semua memakai masker, jadi saya tidak mengerti sama sekali. Biasanya saya minta mereka untuk membuka masker, tetapi tidak mau. Kalau saja mereka memakai masker transparan, enak sekali. Jadi mudah komunikasi,” kata Elfiandi, yang merantau ke Yogyakarta pada tahun 90-an untuk kuliah di Jurusan Teknik Sipil, Universitas Islam Indonesia (UII).
Your browser doesn’t support HTML5
Dalam pembuatan masker transparan itu, Dwi Rahayu dan Elfiandi dibantu oleh Muhammad Adil Wicaksono. Anak muda 23 tahun asal Tasikmalaya, Jawa Barat ini bisu tuli sejak lahir. Dia merantau ke Yogyakarta untuk bekerja di sebuah pabrik mebel.
Sejak lama, Adil merasakan kendala komunikasi. Di pabrik mebel, banyak rekan kerjanya juga memakai masker.
“Sejak menggunaan masker saya mulai merasakan kesulitan komunikasi. Jadi kalau mau komunikasi harus buka tutup atau melepas dan memasang kembali masker. Apalagi di tempat kerjaan, banyak juga yang memakai masker,” kata Adil.
Karena wabah virus corona, Adil hanya bisa bekerja 3 hari dalam seminggu sebagai dampak turunnya bisnis di sektor tersebut. Hikmahnya, dia bisa memanfaatkan waktu yang kosong untuk belajar membuat masker transparan di rumah Dwi Rahayu. Jika sudah bisa, Adil ingin membuat sendiri masker jenis ini agar lebih mudah berkomunikasi dengan orang lain.
Tidak Hanya untuk Bisu Tuli
Dwi Rahayu, Elfiandi dan Adil berbicara kepada VOA, dengan bantuan Ragil Ristiyanti, dari Pusat Layanan Difabel Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Ragil menerangkan komunikasi dengan mereka yang bisu tuli tetap bisa dilakukan walaupun lawan bicara tidak menguasai Bahasa isyarat. Namun, mereka harus melihat jelas ekspresi wajah, artikulasi dan gestur tubuh lawan bicaranya.
“Karenanya harus jelas gerak bibirnya mengucapkan apa, jangan sambil makan dan jangan ditutup mulutnya,” kata Ragil berbagi tips komunikasi dengan bisu tuli.
Karena mengandalkan gerak bibir dan ekspesi wajah itu, komunikasi menjadi persoalan besar bagi bisu tuli di masa pandemi virus corona. Masker transparan menjadi solusi, tetapi kata Ragil, bukan hanya bisu tuli saja yang harus memakainya. Mereka yang kerap berkomunikasi dengan rekan yang tuli juga bisa memanfaatkannya.
“Apalagi kalau ada teman tuli yang sakit dan periksa ke doter. Dokternya mengenakan masker,petugas medis mengenakan masker, temen tuli juga semakin kesulitan,mereka omong apa. Kalau tenaga medis bisa memakai masker semacam ini, mungkin juga lebih memudahkan,” ujar Ragil.
Your browser doesn’t support HTML5
Pemakaian Lebih Luas
Suharto, direktur Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAP), sebuah Lembaga swadaya masyarakat di Yogyakarta mendesak agar masker transparan digunakan di rumah sakit, puskesmas dan klinik kesehatan.
“Jadi begitu ada pasien tuli, tenaga kesehatan memakai masker jenis ini supaya hambatan komunikasi bisa diatasi. Pemerintah yang harus menyediakan,” kata Suharto.
Tidak hanya itu, imbuh Suharto, masyakarat, terutama yang kerap berkomunikasi dengan orang bisu tuli, juga seharusnya menggunakan masker transparan ini, sebagai tambahan penggunaan masker biasa.
Tindakan ini, kata Suharto, untuk mengedukasi masyarakat agar menyadari, bahkan kebutuhan komunikasi kelompok bisu tuli harus difasilitasi di tengah pandemi ini. Apalagi, kelompok difabel adalah salah satu kelompok masyarakat yang paling terdampak secara ekonomi dari pandemik virus corona.
BACA JUGA: Difabel Kelompok Yang Paling Rentan Terdampak Virus CoronaMasker transparan hadir untuk menyelesaikan salah satu masalah bagi difabel terutama bisu tuli dalam berkomunikasi di tengah pandemi. Sosialiasi desain masker transparan juga harus diperluas agar masyarakat bisa membuat sendiri.
“Ini memang belum menjadi tren, sehingga usul saya ide ini harus terus disebarluaskan sehingga produksi masker transparan semakin besar. Teman-teman bisu tuli silahkan terus melakukan sosialisasi, tetapi pemerintah juga harus berperan agar ini menjadi model yang dikembangkan secara luas,” kata Suharto. [ns/ft]