Salah satu suku yang telah tinggal di kawasan inti IKN selama ratusan tahun, adalah suku Balik. Secara administratif mereka kini tinggal di kecamatan Sepaku. Sibukdin, kepala adat suku Balik di kecamatan itu mengatakan, sampai saat ini belum ada pengakuan hukum yang sah, terkait keberadaan dan hak-hak mereka di IKN.
“Kami berharap, kami ini bisa mendapatkan jalan keluarnya, agar mendapatkan pengakuan dari pemerintah secara khusus buat kami yang ada di situ. Enggak mungkin kami yang ada di situ, didatangkan orang dari luar, kami yang diusir dari situ,” ujarnya.
Sibukdin menyampaikan itu dalam diskusi terkait eksistensi masyarakat adat di IKN, yang diselenggarakan di Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur, Kamis (6/7). Diskusi diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Perempuan dan Anak (PuSHPA) Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
“Kami tidak mungkin kalau menolak. Itu dianggap nanti bahasanya kurang enak. Tapi kami belum bisa menerima atau mendukung sepenuhnya keberadaan IKN di tempat kami. Terus terang saja, karena keberadaan kami belum diakui,” tambahnya.
Pembangunan kawasan IKN sendiri terus berlangsung sampai saat ini. Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyebut, progres pembangunan tahap 1 sudah mencapai sekitar 30 persen.
Muhammad Arman, Direktur Advokasi PB AMAN menyebut, di tengah proyek infrastruktur IKN itu, banyak persoalan menyangkut masyarakat adat yang belum selesai.
“Titik Nol itu menjadi penanda awal, dari satu situasi yang dihadapi oleh masyarakat adat sejak dulu. Setelah ekspansi industri ekstraktif, ada tambang salah satunya, kemudian Hutan Tanaman Industri (HTI). Titik Nol menjadi penanda awal suatu proses penyingkiran masyarakat adat,” kata Arman.
Titik Nol yang disebut Arman adalah lokasi pusat IKN, yang selama ini menjadi tempat acara seremonial terkait IKN.
Arman mengingatkan, dalam konteks IKN, naskah akademik yang menjadi dasar penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) IKN, jelas menyebut keberadaan masyarakat adat. Ada tujuh suku asli yang disebutkan dalam naskah akademik itu.
“Tetapi begitu diterjemahkan ke dalam Rancangan Undang-Undang, enggak ada itu, dia hilang. Jadi naskah akademik sebagai quality control dari satu RUU itu menjadi kehilangan nilai,” ujar Arman.
BACA JUGA: Ibu Kota Nusantara: Merusak Hutan atau Memperbaiki Lingkungan?Tidak hanya itu, dalam pelaksanaannya di lapangan, proses pembangunan IKN juga tanpa partisipasi masyarakat adat. Padahal, kata Arman, mereka harus diajak bicara dalam konteks yang disebut sebagai partisipasi penuh dan efektif. Proses ini diatur dalam berbagai instrumen hukum.
“Yang kedua, masyarakat itu tidak pernah diberikan kesempatan sejak awal untuk menyatakan, saya setuju, atau saya tidak setuju. Anda bisa bangun disini, ini boleh dibangun disini, yang ini tidak boleh dibangun di sana,” papar Arman.
Pemerintah seolah mengasumsikan bahwa tanah dimana IKN akan dibangun adalah lahan kosong tak bertuan, lanjut Arman. Padahal, berdasar peta indikatif yang disusun AMAN tahun lalu, ada 51 komunitas masyarakat adat yang akan terdampak IKN. Sebanyak 17 komunitas ada ada di Penajam Paser Utara dan 34 komunitas di Kutai Kartanegara.
UU IKN Perlu Direvisi
Berbagai persoalan yang menyangkut masyarakat adat, harus diselesaikan secara mendasar. Karena itulah, komisioner Komnas HAM, Saurlin P. Siagian tegas meminta adanya revisi UU IKN, sebagai landasan hukum pembangunan.
“Memang kita rekomendasikan supaya Undang-Undang IKN direvisi. Jadi, itu saya kira masih sangat relevan, Komnas HAM merekomendasikan supaya Undang-Undang IKN direvisi,” kata Saurlin.
Saurlin setuju, bahwa pemerintah tidak boleh mengandaikan kawasan IKN sebagai tanah kosong ketika pembangunan dilakukan.
“Di situ ada fitur-fitur adat, di situ wilayah adat masa lalu, ada berbagai jenis kekayaan Nusantara, ada berbagai makanan di sana,” ujar Saurlin.
Karena itu, justru yang harus dipikirkan adalah bagaimana masyarakat akan melakukan penyambutan terhadap mereka yang datang karena pembangunan IKN. Namun, secara umum, pemerintah memang belum menempatkan masyarakat adat pada posisi seharusnya.
Pada 2014-2016 Komnas HAM melakukan penelitian nasional terkait masyarakat adat. Hasilnya adalah sebuah buku dengan total hampir 4 ribu halaman, berisi rekomendasi dan pengakuan bagi masyarakat adat, termasuk di Kalimantan. Sayangnya, sejak diselesaikannya laporan itu, tidak banyak rekomendasi yang dijalankan pemerintah.
“Intinya, masyarakat adat itu masih mengalami problem pembiaran. Belum diakui. Lalu ketika tidak diakui sebagai subyek, sebagai komunitas, sebagai masyarakat, itu berimplikasi pada tidak diakui kepemilikannya, wilayahnya atau hutannya,” tegas Saurlin.
Komnas HAM mencatat, ada lebih dari 2.500 komunitas adat di seluruh Indonesia yang membutuhkan pengakuan dari negara.
Your browser doesn’t support HTML5
Pakar hukum dari Universitas Mulawarman, Rahmawati Al Hidayah melihat ada sudut pandang yang berbeda dalam persoalan ini. Dari sisi masyarakat adat, ada keresahan karena mereka merasa terintimidasi, belum ada komitmen pengakuan, dan belum ada akses informasi. Namun pemerintah di sisi lain bersikeras, bahwa seluruh proses pembangunan IKN, tertuang dalam masterplan yang sudah berisi data komprehensif termasuk tentang penguasaan lahannya.
“Temuan kita apa? Masyarakat lokal itu ada, masyarakat adat itu ada. Namun situasi hukum formal saat ini, menempatkan masyarakat adat dalam posisi yang lemah, khususnya dalam konteks pertanahan,” kata Rahmawati.
Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) hingga Juni lalu, progres konstruksi di IKN tahap 1 mencapai 29,45 persen. Seluruh proyek IKN tahap 1 ditargetkan selesai pada 2024, apalagi Presiden Joko Widodo meminta, upacara peringatan kemerdekaan 2024 digelar di IKN.
Seluruh proyek di IKN dari 2022-2024 terbagi dalam 76 paket pengerjaan, dengan 37 sedang dalam pengerjaan. Total 76 paket diperkirakan membutuhkan biaya Rp62,27 triliun. [ns/ab]