Wajah Presiden Indonesia Joko Widodo terpampang di seluruh poster Kongres Masyarakat Adat Nusantara ke-V menjelang pembukaan acara di Sumatera Utara 18 Maret ini. Tetapi Presiden – yang dikenal sebagai Jokowi – tiba-tiba membatalkan kehadirannya di acara yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali guna menetapkan agenda kebijakan dan memilih pemimpin baru Aliansi Masyarakat Adat Nusantara – AMAN – yang menggelar kongres tersebut.
Ketidakhadiran Jokowi dan beberapa keluhan yang disampaikan peserta kongres tentang hak-hak masyarakat adat menjadi titik puncak kongres itu. Beberapa peserta mengecam undangan Presiden Jokowi bagi semua pemimpin masyarakat adat untuk hadir di istana pada 21 Maret nanti.
“Untuk apa?” ujar Ruuka Sambolingi, salah seorang sekjen AMAN. “Kita bukan anak-anak, kita tidak akan terkesan dengan istana presiden.”
Pembatalan kehadiran Jokowi merupakan isu terbaru dalam perjuangan masyarakat adat Indonesia untuk mendapat pengakuan dan perlindungan hukum. RUU untuk melindungi hak-hak mereka selama bertahun-tahun tak kunjung diloloskan DPR. Sejumlah aktivis hak masyarakat adat berharap kehadiran Presiden Jokowi di kongres itu akan menjadi momentum guna mendorong diloloskannya RUU tersebut.
Kini ketika kongres itu bergeser ke isu politik internal yaitu memilih pemimpin baru, para aktivis khawatir perjuangan untuk meraih hak-hak masyarakat adat akan kembali terhambat.
Indonesia Akui Lebih dari 1.000 Etnis
Indonesia mengakui lebih dari 1.000 kelompok etnis yang tersebar di 17.000 pulau, dimana sekitar 50–70 juta orang dinilai sebagai anggota komunitas masyarakat adat.
Masyarakat adat adalah sebutan bagi orang yang menggunakan hukum adat. Tetapi sebenarnya tidak ada terjemahan khusus dalam bahasa Indonesia untuk kata “indigenous” atau “suku asli” yang merujuk pada pertentangan yang ada dalam puluhan tahun terakhir ini.
Salah satu isu yang diperdebatkan adalah “seluruh warga Indonesia adalah suku asli”, karena mereka dinilai berasal dari satu kawasan yang saat ini mereka tinggali. Hingga tahun 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika itu menyangkal bahwa ada suku asli Indonesia. Tetapi ketika Jokowi berkampanye untuk menjadi presiden tahun 2014, ia membuka diskusi tentang rencana mendukung suku asli Indonesia.
“Kita berharap acara ini akan membuka mata pemerintah tentang keragaman dan kekuatan masyarakat adat Indonesia,” ujar Mona Sihombing di AMAN. “Hal-hal lain adalah kami ingin para pejabat melihat betapa besarnya suara masyarakat adat.”
Jum’at pagi (17/3) juru bicara presiden mengatakan gugus tugas yang menggarap isu masyarkaat adat – yang sudah lama dijanjikan – tidak lagi menjadi prioritas, dengan mengatakan opsi langkah “nyata” seperti membagikan 12,7 juta hektar hutan pada masyarakat adat merupakan kerumitan yang tidak perlu.
“Baru pertama kali ini kami mendengar sikap gugus tugas itu,” ujar Ruuka dan menambahkan “hingga hari ini tim presiden dalam banyak kesempatan telah mengatakan bahwa gugus tugas itu merupakan bagian penting dari kebijakannya tentang masyarakat adat.”
Juru bicara presiden Noer Fauzi Rachman kemudian mengklarifikasi bahwa gugus tugas itu tidak dibatalkan, tetapi pembentukannya terhambat oleh birokrasi. “Jika tergantung pada saya, maka gugus tugas itu sudah terbentuk tahun lalu,” ujar Rachman pada VOA. “Meskipun demikian saya akan berupaya mempengaruhi berbagai kementerian yang terlibat, tenggatnya tergantung presiden.”
Masyarakat Adat Sampaikan Kekecewaan pada Pemerintah
Jum’at sore para pemimpin masyarakat adat menyampaikan kekecewaan mereka terhadap pembatalan kehadiran presiden. Alex Sangenafa dari Yapen – Papua Barat menyampaikan pernyataan berapi-api dengan suara tinggi di depan panggung utama konferensi itu, menyampaikan kekecewaannya. Ia mendekati juru bicara presiden dengan delapan anak panah yang terbuat dari kayu, melambangkan harapan diloloskannya RUU tentang masyarakat adat dalam delapan bulan.
“Kami warga Papua keluar dari hutan untuk memilih Jokowi,” ujar Sangenafa. “Kami yakin ia berasal dari rakyat kebanyakan dan merasakan kepedihan warga,” tambahnya.
Pernyataan Sangenafa disambut tepuk tangan meriah para hadirin.
“Saya tidak marah. Saya kecewa,” ujar Sangenafa pada VOA beberapa saat kemudian.
“Pernyataan bahwa kami seharusnya datang ke Istana Presiden pekan depan tidak tepat,” ujar Apai Janggut – pemimpin masyarakat adat dari Putussibau – Kalimantan. “Sepengetahuan saya ini merupakan tenggat pemerintah untuk mengubah masyarakat kami. Mereka telah menunjukkan prioritasnya dan kami akan memilih sesuai hal itu.”
Presiden Jokowi Berhalangan, Utus MenKLH ke Kongres MAN
Presiden Jokowi mengirim Menteri Urusan Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya untuk menggantikannya, dan ia mengumumkan rencana untuk membebaskan 7.000 hektar hutan di Toba Pulp Lestari di Sumater Utara pada masyarakat adat.
Menyerahkan manajemen hutan tertentu pada masyarakat adat telah menjadi tonggak kebijakan pemerintah tentang masyarakat adat. Ini termaktub dalam putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2013 bahwa “hutan adat bukan merupakan bagian dari hutan milik negara”, yang menjadi preseden pemindahan kepemilikan. Bulan Desember 2016 Jokowi menandatangani pembebasan lebih dari 13.000 hektar hutan pada sembilan komunitas masyarakat adat di seluruh Indonesia.
Para aktifis mengatakan sedikitnya 8,2 juta hektar hutan di Indonesia seharusnya merupakan milik masyarakat adat.
“Pengumuman pengembalian 7.000 hektar pada masyarakat adat merupakan hal yang baik,” ujar Abdon Nababan – presiden AMAN. “Tetapi antara 30 Desember 2016 hingga saat ini atau hampir empat bulan, ada sekitar 20.000 hektar hutan… apakah ini terlalu lambat?”
Nababan menyebut korupsi, manipulasi dan kecerobohan adalah alasan-alasan yang memperlambat tindakan pemerintah terhadap hak-hak masyarakat adat.
“Ini jelas bukan kemajuan,” ujar Sombolinggi. Ia menilai maju mundurnya sikap DPR dan pemerintah merupakan “bagian dari permainan untuk menghindari menjawab tuntutan masyarakat adat. Seperti main pingpong.”
Pada awal berdirinya, AMAN kerap mengambil sikap tegas dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, topik sensitif pada awal berdirinya republik ini.
Sombolinggi mengatakan perselisihan baru-baru ini mungkin akan kembali ke titik semula. “Kita di persimpangan,” ujarnya. “Kita harus memutuskan apakah akan terlibat lebih jauh, lanjut dengan “dialog politik”, atau menjadi lebih konfrontatif.” [em]