Kampanye pengurangan daging sapi bertujuan untuk menjadikan masyarakat sebagai konsumen yang bertanggung jawab.
YOGYAKARTA —
Begitu besarnya kebutuhan masyarakat akan daging sapi menjelang hari raya Idul Fitri, membuat pemerintah mengambil beberapa kebijakan baru, diantaranya memerintahkan Badan Urusan Logistik (Bulog) mengimpor daging sapi menggunakan angkutan pesawat terbang dan mempermudah ijin masuk sapi potong agar bisa dipasarkan sebelum hari raya.
Meski dilakukan untuk menambah ketersediaan daging sapi di pasaran dan menekan harganya yang terus melambung, langkah ini dikritik oleh Said Abdullah dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan.
Menurutnya, jika pemerintah terus berkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan, maka impor akan terus dilakukan karena sulit bagi Indonesia untuk menjadi produsen daging sapi skala besar dalam jangka pendek.
Pada sisi lain, kata Said, pemerintah seharusnya juga mendorong masyarakat agar mengurangi konsumsi daging sapi. Menu-menu berbahan daging sapi, seperti rendang yang sangat populer, harus dikurangi dengan kampanye yang mengajak masyarakat menikmati menu lain.
Said mengatakan kampanye ini bertujuan untuk menjadikan masyarakat sebagai konsumen yang bertanggung jawab.
"Konsumsi yang bertanggung jawab itu ukurannya konsumsi yang mendukung pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kedua, konsumsi ini memungkinkan tersedianya dukungan lingkungan dalam jangka panjang,” ujarnya Selasa (6/8).
“Konsumen bisa mengubah peran dengan mengubah pola konsumsi dari pangan yang tidak diproduksi di dalam negeri menjadi pangan yang diproduksi di dalam negeri. Betul peningkatan produksi itu penting, tetapi menurut saya aspek penyadaran, aspek kampanye, aspek perubahan perilaku dan adanya dukungan dari konsumen itu jauh lebih penting juga.”
Salah satu kampanye yang bisa dilakukan pemerintah adalah mendorong masyarakat menyajikan menu berbahan ikan ketika Lebaran, dan juga di hari-hari biasa.
Latief Sahubawa, pakar perikanan dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang aktif mengkampanyekan konsumsi ikan mengatakan, dalam banyak sisi ikan memiliki kelebihan dibanding daging. Ikan lebih sehat, lebih murah dan tentu saja bagi masyarakat Indonesia lebih mudah didapat karena laut yang sangat kaya, ujarnya.
Persoalannya, kata Latief, fakta sejarah menunjukkan bahwa masyarakat Pulau Jawa yang jumlahnya terbesar di Indonesia, tidak memiliki tradisi mengkonsumsi ikan. Berbeda sekali dengan masyarakat di Sumatera, Kalimantan atau Sulawesi yang menjadikan ikan sebagai salah satu menu favorit. Karena itulah, penting bagi pemerintah melakukan kampanye untuk merubah pola pikir masyarakat itu, ujarnya.
"Dulu itu, orang Jawa tidak makan ikan. Selalu tempe, tahu dan daging. Ikan hampir tidak ada. Itu tradisi, sehingga memang sekarang ini, kita harus melakukan riset agar bisa mendesain ulang agar bisa merubah mind set dari masyarakat, terutama yang di Jawa ini, agar bagaimana mereka mau mengkonsumsi ikan. Kalau di tingkat dunia, tren konsumsi daging putih dalam hal ini ikan, sudah jauh meningkat dibanding tren kebutuhan daging merah,” ujarnya.
Baik Said Abdullah maupun Latief Sahubawa menekankan perlunya masyarakat Indonesia memiliki peran lebih besar dalam pengurangan impor bahan makanan tertentu dengan mengubah pola makan.
Di samping itu, pemerintah juga harus mendorong perubahan konsumsi untuk jenis makanan lain, misalnya yang berbahan gandum, menjadi kue-kue lokal yang berbahan tepung beras atau tepung dadi umbi-umbian lokal, ujar mereka.
Meski dilakukan untuk menambah ketersediaan daging sapi di pasaran dan menekan harganya yang terus melambung, langkah ini dikritik oleh Said Abdullah dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan.
Menurutnya, jika pemerintah terus berkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan, maka impor akan terus dilakukan karena sulit bagi Indonesia untuk menjadi produsen daging sapi skala besar dalam jangka pendek.
Pada sisi lain, kata Said, pemerintah seharusnya juga mendorong masyarakat agar mengurangi konsumsi daging sapi. Menu-menu berbahan daging sapi, seperti rendang yang sangat populer, harus dikurangi dengan kampanye yang mengajak masyarakat menikmati menu lain.
Said mengatakan kampanye ini bertujuan untuk menjadikan masyarakat sebagai konsumen yang bertanggung jawab.
"Konsumsi yang bertanggung jawab itu ukurannya konsumsi yang mendukung pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kedua, konsumsi ini memungkinkan tersedianya dukungan lingkungan dalam jangka panjang,” ujarnya Selasa (6/8).
“Konsumen bisa mengubah peran dengan mengubah pola konsumsi dari pangan yang tidak diproduksi di dalam negeri menjadi pangan yang diproduksi di dalam negeri. Betul peningkatan produksi itu penting, tetapi menurut saya aspek penyadaran, aspek kampanye, aspek perubahan perilaku dan adanya dukungan dari konsumen itu jauh lebih penting juga.”
Salah satu kampanye yang bisa dilakukan pemerintah adalah mendorong masyarakat menyajikan menu berbahan ikan ketika Lebaran, dan juga di hari-hari biasa.
Latief Sahubawa, pakar perikanan dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang aktif mengkampanyekan konsumsi ikan mengatakan, dalam banyak sisi ikan memiliki kelebihan dibanding daging. Ikan lebih sehat, lebih murah dan tentu saja bagi masyarakat Indonesia lebih mudah didapat karena laut yang sangat kaya, ujarnya.
Persoalannya, kata Latief, fakta sejarah menunjukkan bahwa masyarakat Pulau Jawa yang jumlahnya terbesar di Indonesia, tidak memiliki tradisi mengkonsumsi ikan. Berbeda sekali dengan masyarakat di Sumatera, Kalimantan atau Sulawesi yang menjadikan ikan sebagai salah satu menu favorit. Karena itulah, penting bagi pemerintah melakukan kampanye untuk merubah pola pikir masyarakat itu, ujarnya.
"Dulu itu, orang Jawa tidak makan ikan. Selalu tempe, tahu dan daging. Ikan hampir tidak ada. Itu tradisi, sehingga memang sekarang ini, kita harus melakukan riset agar bisa mendesain ulang agar bisa merubah mind set dari masyarakat, terutama yang di Jawa ini, agar bagaimana mereka mau mengkonsumsi ikan. Kalau di tingkat dunia, tren konsumsi daging putih dalam hal ini ikan, sudah jauh meningkat dibanding tren kebutuhan daging merah,” ujarnya.
Baik Said Abdullah maupun Latief Sahubawa menekankan perlunya masyarakat Indonesia memiliki peran lebih besar dalam pengurangan impor bahan makanan tertentu dengan mengubah pola makan.
Di samping itu, pemerintah juga harus mendorong perubahan konsumsi untuk jenis makanan lain, misalnya yang berbahan gandum, menjadi kue-kue lokal yang berbahan tepung beras atau tepung dadi umbi-umbian lokal, ujar mereka.