Pemantauan media dari Task Force Jawa Barat mencatat sejumlah kabar bohong yang diarahkan kepada RUU P-KS. Salah satunya soal legalisasi kelompok LGBT.
Menurut Koordinator Task Force Jawa Barat, Ni Loh Gusti Madewanti, hoaks tersebut masih mengecoh masyarakat dari substansi UU.
”Hoaks dan disinformasi tersebut membuat kesalahpahaman masyarakat terhadap substansi yang sebenarnya, menimbulkan kecurigaan, memperlambat laju gerak untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” ujarnya dalam diskusi di Bandung, Kamis (18/7/2019) pagi.
Selain isu minoritas seksual, beleid ini juga dituduh melegalkan zina dan aborsi, melarang orang tua mendidik penutupan aurat, serta melarang wali mujbir atau wali yang menikahkan anak/cucu tanpa izin perempuan tersebut.
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), yang fokus pada kesehatan reproduksi, memastikan RUU ini tidak memuat hal-hal yang dituduhkan.
“PKBI tidak mau ikut berdebat dalam isu-isu yang tidak penting. Isu-isu yang misalnya dipelintir bahwa ini adalah pro-LGBT tentang pro-aborsi, kita tidak mau masuk ke situ karena kontennya memang bukan seperti itu,” ujar Direktur Eksekutif PKBI, Eko Maryadi dalam kesempatan yang sama.
BACA JUGA: Women’s March Bandung Lawan Perkawinan Anak dan Pelecehan SeksualKelompok Agama Diminta Ikut Dukung RUU
Eko mengatakan, kelompok agama juga perlu mendukung RUU ini. Sebab, kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja.
“Kalau dia seorang ulama, punya anak perempuan dan jadi korban kekerasan seksual, apa yang akan dilakukan? Apakah ulama itu tidak butuh UU yang menghukum atau mendudukkan keadilan bahwa korban kekerasan seksual itu harus dibela?” imbuhnya.
Namun untuk menjangkau kelompok religius perlu pendekatan khusus, ujar Titeu Herawati dari PKBI Jawa Barat, misalnya dengan menghindari istilah-istilah teknis yang hanya dimengerti kalangan aktivis.
“Kalau misalnya masyarakat saja tidak mengerti, bagaimana mereka bisa memahami isu? Kemudian, bagaimana bentuk dukungan mereka terhadap isu ini?” tandasnya.
Titeu mengatakan, penting untuk merangkul kelompok agama moderat supaya ikut menolak kekerasan seksual.
Your browser doesn’t support HTML5
“Ketika mereka berbicara otomatis akan lebih didengar. Yang istilahnya (kelompok) agama moderat, dan itu lebih bisa dimengerti oleh anak-anak muda, dengan bahasa yang mudah, yang tidak dogmatis,” tutupnya.
Di Senayan, RUU ini sudah bergulir sejak Februari 2017. Namun pembahasan di Komisi VIII yang membidangi perempuan, sosial, dan agama, bergeser dari isu hukum ke isu moral. Padahal RUU ini dianggap sebagai jalan terobosan dari kebuntuan kasus-kasus kekerasan seksual yang selama ini terjadi.
Pekan ini, fraksi PPP menolak pasal yang menghukum suami jika memaksa hubungan seks kepada istrinya. PPP mengatakan itu sebagai kewajiban istri. Padahal, Komnas Perempuan telah menegaskan unsur pemaksaan tetap merupakan kekerasan seksual. [rt/lt]