Kesepakatan Helsinki atau nota kesepahaman antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah berjalan selama 17 tahun sejak 2005. Namun, hingga kini para penyintas maupun keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu saat konflik Aceh belum sepenuhnya mendapatkan pemulihan hak-haknya. Ketua Divisi Kampanye dan Advokasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna mengatakan elemen masyarakat sipil menyerukan pemerintah untuk segera melakukan reparasi kepada korban pelanggaran HAM masa lalu di Aceh.
"Belum ada aturan baku terkait pemberian dan rekomendasi reparasi korban pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM adalah kejahatan luar biasa menghancurkan manusia dari segala sisi. Maka mustahil kalau cuma satu sisi saja yang diselesaikan misalnya hanya kesehatan. Saat itu beragam yang hancur, seperti ekonomi, sosial, dan pendidikan hilang," kata Husna kepada VOA, Sabtu (13/8).
Ia menegaskan, pada prinsipnya langkah-langkah pemerintah mengenai reparasi korban atas peristiwa kekerasan di masa lalu merupakan hal penting yang perlu segera direalisasikan.
Husna menuturkan, kondisi saat ini para penyintas maupun keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu belum mendapatkan haknya. Salah satunya adalah hak atas kebenaran. Bahkan, sebagian dari para penyintas pelanggaran HAM di masa lalu belum diambil keterangannya oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. Berdasarkan data dari KKR Aceh, terdapat 5.264 pernyataan korban pelanggaran HAM yang telah diambil sebagai bagian dari upaya pengungkapan kebenaran.
"Padahal itu sangat penting, pengungkapan kebenaran adalah pintu masuk terhadap hak-hak lainnya seperti reparasi, rehabilitasi, hak atas pendikan dan kesehatan termasuk pemulihan psikologi sosial. Kebanyakan dari mereka tidak mendapatkan itu," ujar Husna.
Ia meminta pemerintah untuk segera menindaklanjuti rekomendasi yang telah diberikan oleh KKR Aceh terkait korban pelanggaran HAM yang telah diambil pernyataannya.
"Dalam hal ini pemerintah Aceh dapat membuat peraturan baku yang memuat perihal rekomendasi dan pemberian reparasi terhadap korban pelanggaran HAM," ucap Husna.
Keluarga Korban
Salah seorang anak korban penghilangan secara paksa di Kabupaten Bener Meriah, Aceh, Ema Susianti, menceritakan peristiwa yang mirip seperti duri dalam daging. Dia kehilangan ayahnya sejak awal tahun 2000. Ayahnya yang seorang kepala desa dituding sebagai anggota GAM.
Kejadian itu berawal pada 20 Februari 2000 sekitar pukul 10.00 WIB. Saat itu ayah Ema berpamitan kepada ibunya untuk pergi mengambil uang kopi ke Kampung Simpang Teritit, Bener Meriah. Namun, menjelang sore ayahnya tidak kunjung pulang.
"Kami sekeluarga sudah mulai panik. Kami tidak tahu harus berbuat apa. Saya dan adik bergegas pergi ke Simpang Teritit untuk menjemput ayah. Tapi sampai di situ ayah tidak ada. Akhirnya kami pulang untuk menyampaikan kabar ini kepada ibu," kata Ema.
Kemudian, esoknya Ema dan adiknya mendatangi salah satu Pos TNI yang ada di wilayah Bener Meriah untuk bertanya keberadaan ayahnya. Bukannya mendapatkan kabar tentang keberadaan ayahnya. Mereka malah mendapat kabar dari TNI yang menyebutkan bahwa ayahnya merupakan anggota GAM.
"Saat itu mereka sedang menggerebek rumah kami. Kami pun segera bergegas pulang sambil. Sampai di rumah saya mendapati anggota TNI sudah memenuhi rumah. Di halaman rumah juga sudah terparkir mobil TNI. Mereka dengan kasar bertanya kepada ibu tentang keberadaan ayah saya di mana," ungkapnya.
Masih kata Ema, anggota TNI terus memorakporandakan rumah mereka. Namun, TNI tidak menemukan apa pun yang bisa menunjukkan atau membuktikan ayah Ema sebagai anggota GAM.
"Setelah mereka pulang kami tidak putus harapan dan saya berangkat ke Banda Aceh. Setiba di Banda Aceh saya bertemu dengan abang," ucapnya.
Berbagai usaha untuk mencari tahu keberadaan ayahnya terus dilakukan Ema. Berita kehilangan ayahnya pun disampaikan kepada media massa. Tapi usaha itu tak kunjung berbuah manis. Ema yang saat itu masih berada di bangku sekolah menengah atas (SMA) harus memutus pendidikannya lantaran tak ada lagi sosok tulang punggung keluarga. Bukan hanya itu, sejak kehilangan ayahnya. Ema dan sekeluarga kerap berpindah-pindah tempat lantaran kerap mendapat ancaman.
"Kami sekeluarga juga kerap mengungsi ke beberapa tempat karena sering diancam oleh pihak-pihak yang masih menganggap ayah saya seorang anggota GAM," ujarnya.
Sementara itu, salah seorang keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu dari Kabupaten Nagan Raya, Aceh, yakni Syarifah, masih terus mencari keadilan. Suaminya turut menjadi korban penghilangan secara paksa pada 2001.
"Saya pasrah tapi tidak sedikit pun ingin menyerah. Ini semua untuk anak saya. Anak yang tidak pernah bertemu dengan ayahnya. Saya saat itu sedang mengandung usia dua bulan pada tahun 2001 dan suami hilang sampai saat ini. Semangat untuk terus menagih janji-janji negara atas pemenuhan hak korban pelanggaran HAM," katanya.
Menurutnya di Nagan Raya masih banyak keluarga dan korban pelanggaran HAM masa lalu yang haknya belum terpenuhi oleh pemerintah.
"Di Nagan Raya banyak korban mulai dari cacat fisik, janda, anak yatim, keluarga korban dari orang hilang dan meninggal pada saat konflik. Berbagai upaya kami coba untuk mendapatkan hak sebagai warga negara," pungkasnya.
Kini, setelah 17 tahun nota kesepahaman antara pemerintah Indonesia dan GAM berlalu. Para keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu di Aceh meminta agar pemerintah memberikan reparasi yang berarti bagi mereka. [aa/ah]
Your browser doesn’t support HTML5