Pada Maret lalu, Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) agar menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua.
Pertengahan Mei lalu, terbentuklah Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM di Provinsi Papua dan Papua Barat. Namun ternyata tim ini ditolak oleh sebagian warga Papua sendiri.
Lebih dari 300 mahasiswa Papua menggelar demonstrasi di Yogyakarta, Kamis siang (16/6). Mereka menuntut hak bagi bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri. Salah satu isu yang mereka kemukakan adalah penolakan atas pembentukan Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM di Provinsi Papua dan Papua Barat, oleh Menko Polhukam, Luhut Binsar Panjaitan.
Demonstrasi ini memang dilakukan bersamaan dengan kunjungan Luhut ke Papua, hari Kamis (16/6). Luhut datang untuk mendorong penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua dan Papua Barat.
Menurut Roy Karoba, penanggung jawab aksi demonstrasi di Yogyakarta, Luhut dan tim bentukannya tidak akan mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM itu. Meskipun ada delapan nama aktivis dan tokoh masyarakat asli Papua tergabung dalam tim terpadu, ruang gerak mereka tetap akan terbatas. Roy bahkan menuntut pembentukan tim dalam skala lebih luas, yang melibatkan organisasi internasional.
“Pada intinya rakyat Papua tidak bersepakat, jika kemudian negara membentuk tim pencari fakta sendiri, karena jelas negara adalah aktor pelanggaran HAM di Papua. Indonesia mestinya menerima usulan pembentukan tim pencari fakta yang telah diusulkan oleh beberapa negara seperti Pacific Island Forum dan Melanesian Spearhead Group,” kata Roy Karoba.
Your browser doesn’t support HTML5
Demonstran juga mengecam tindakan sewenang-wenang aparat keamanan. Awal Mei lalu, hampir 2.000 orang diamankan polisi karena melakukan aksi demonstrasi di sejumlah kota di Papua. Mahasiswa Papua di Yogya menuntut dibukanya ruang demokrasi secara lebih luas di tanah kelahiran mereka.
Luhut sendiri akan berada di Papua hingga Sabtu nanti. Terdapat tiga kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Papua yang akan diselesaikan, yaitu peristiwa Wasior, Wamena, dan Paniai. "Semua yang masuk tim adalah independen. Saya tidak ikut di dalam, tetapi Komnas HAM lah dan orang-orang yang sangat independen yang ada dalam tim. Selain orang-orang yang independen, tim juga diawasi duta besar dari PNG, Fiji dan Vanuatu. Tidak ada yang tidak transparan," kata Luhut di Papua seperti dikutip media.
Meski Luhut menjanjikan independensi, keraguan atas kinerja tim tetap muncul. Salah satunya, dari Fadal al Hamid dari Dewan Adat Papua. Secara pribadi, kata Fadal, dia tidak meragukan kapabilitas aktivis Papua yang tergabung dalam tim terpadu itu, seperti Matius Munib atau Marinus Yaung. Namun, bekerja di bawah koordinasi kementerian tentu akan membatasi ruang gerak. Fadal menilai, sebaiknya tim tidak dikoordinasikan oleh pemerintah, tetapi oleh komisi independen.
“Kasus-kasus pelanggaran HAM itu selalu terkait dengan pelaku yang adalah aparatur negara. Dalam hal ini TNI, Polri ataupun aparat yang lain. Dan karena itu, kita tidak bisa berharap banyak kalau kemudian, tim pencari fakta itu adalah tim yang dibentuk oleh presiden, dan di bawah Menko Polhukam. Itu sangat diragukan independensinya," kata Fadal al Hamid.
Fadal menambahkan, kalau masyarakat sudah ragu dengan independensi tim ini, maka laporan sebagai hasil kerja mereka nanti, juga akan dianggap tidak valid. Tim ini semestinya berada di bawah koordinasi Komnas HAM, dengan peran serta LSM yang memiliki kredibilitas terkait kasus-kasus di Papua, seperti Kontras, LBH dan Imparsial. Fadal juga mendesak pemerintah memberi peran lebih bagi LSM lokal Papua dan pihak gereja.
Salah satu anggota tim terpadu bentukan Menko Polhukam, Matius Murib mengaku, masyarakat Papua berhak ragu terhadap kinerja tim ini. Namun dia mengingatkan, pada sisi yang lain, masyarakat Papua juga harus melihat terobosan yang dilakukan Luhut, sebagai langkah yang patut disyukuri.
Kepada VOA, Matius mengatakan bahwa dia tidak berani memberikan jaminan bahwa hasil kerja tim akan memuaskan bagi masyarakat Papua. Tetapi sebagai aktivis pembela HAM, Matius berjanji akan bekerja semaksimal mungkin untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, yang menjadi beban sejarah bagi tanah Papua itu.
“Saya sebagai aktivis pembela HAM, sangat berkepentingan dalam pengungkapan kasus-kasus yang selama ini kita kampanyekan. Dan itu sudah memperoleh respon yang cukup serius dari pemerintah, terutama dari Pak Luhut. Dan menurut saya niat baik itu harus didukung, harus dihormati dan harus kita gunakan untuk kepentingan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua ini,” kata Matius Murib.
Matius menggarisbawahi bahwa posisi Menko Polhukam hanyalah melakukan koordinasi dalam tim ini. Komnas HAM tetap memperoleh peran yang berarti, demikian pula dengan para aktivis dari Papua. Dia yakin, bahwa pemerintah kali ini memiliki niat baik dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua.
Hari Rabu lalu, lebih dari 1.500 warga melakukan unjuk rasa di berbagai kota di Papua. Menurut data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, lebih dari seribu orang ditangkap untuk diinterogasi di markas kepolisian, meski kemudian dibebaskan kembali. Nurhadi Sucahyo melaporkan untuk VOA, Washington. [ns/lt]