Ketika Moina Shaiq sadar bahwa teman-temannya sendiri takut menanyakan seputar agama yang dianutnya karena takut menyinggung perasaannya atau takut terlihat tidak berpendidikan, ia memasang iklan di sebuah koran lokal California: "Tanya-Jawab seputar menjadi seorang Muslim."
Ada beberapa ide pertanyaan mengenai isu tersebut: Apakah perempuan tertindas di dalam Islam? Bagaimana pandangan Islam tentang terorisme? Bagaimana Islam memandang agama-agama lainnya?
Ia membuka sebuah kedai di sebuah kafe di San Francisco Bay Area di Fremont dan berharap akan mendapat banyak pengunjung. Namun ia juga membawa laptop untuk berjaga-jaga kalau tidak ada pengunjung. Di luar dugaan, sekitar 100 tamu datang hari itu tahun lalu dan lahirlah program "Meet a Muslim'' atau "Berkenalan dengan Seorang Muslim.''
"Luar biasa,'' kata Shaiq, ibu empat anak dan seorang nenek. ``Fremont sangat beragam. Anda akan melihat perempuan mengenakan hijab di jalan-jalan sepanjang waktu. Saya berpikir tak seorangpun tertarik atau bahkan ingin tahu tentang kaum Muslim.''
Sejak saat itu Shaiq telah berbicara tentang pengalamannya sebagai seorang Muslim dan menjawab berbagai pertanyaan di berbagai perpustakaan, restoran pizza, dan kafe-kafe di San Francisco Bay Area. Baru-baru ini ia juga mengadakan acara Meet a Muslim di gereja-gereja, klub-klub layanan, kediaman pribadi dan mengunjungi Arizona dan Atlanta untuk memperkenalkan programnya.
Ia memberikan pemaparan satu atau dua kali seminggu saat ia memiliki waktu dan menggunakan uangnya sendiri untuk membiayai program yang bertujuan menghapuskan stereotip-stereotip yang ada.
Program-program yang sama bermunculan setelah peristiwa 9/11 ketika banyak warga Muslim merasa perlu untuk mengajak warga Amerika lainnya untuk menghapuskan persepsi-persepsi buruk mengenai keyakinan mereka. Mereka telah menyaksikan persepsi-persepsi ini muncul kembali dengan meningkatnya tindak kriminal anti Muslim baru-baru ini.
Awal tahun ini misalnya, mantan marinir AS yang juga seorang Muslim Mansoor Sham bepergian keliling negara ini dengan membawa sebuah papan bertuliskan ``Saya seorang Muslim dan Marinir AS, Silahkan Bertanya Apa Saja kepada Saya.''
Di Cambridge, Massachusetts, Mona Haydar dan suaminya mendirikan stan di depan sebuah perpustakaan pada tahun 2015 dengan sajian kopi, donat dan sebuah papan bertuliskan ``Tanyalah kepada seorang Muslim.'' Acara-acara lainnya juga diselenggarakan di berbagai kampus perguruan tinggi di Amerika Serikat.
Kata Shaiq, ia memulai programnya untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai keyakinan dan budayanya dan pada saat yang sama juga meluruskan kesalahpahaman serta stereotip yang berkembang di masyarakat.
Ia menjelaskan pentingnya penggunaan hijab atau penutup kepala dan niqab atau penutup wajah, perbedaan antara Sunni dan Shiah (dua sekte utama dalam Islam), hak-hak perempuan di dalam Islam dan bagaimana rasanya menjadi seorang Muslim Amerika pada saat ini.
Pada sebuah pertemuan Rotary club di Fremont, seorang pria bertanya menurut Shaiq bagaimana masyarakat bisa mememerangi ekstremisme Muslim.
"Anda mulai dari sini,'' kata Shaiq. "Anda memahami seperti apa keyakinan ini.''
Berbagai insiden anti-Muslim di seluruh Amerika terjadi akhir-akhir ini termasuk di antaranya pembakaran, perusakan, perundungan dan perisakan di sekolah (bullying). Pada bulan Mei, pihak berwenang di Portland, Oregon mengatakan seorang laki-laki membunuh dua laki-laki dan melukai orang ketiga setelah mereka mencoba menghentikan ejekan anti Muslim yang dilontarkannya.
Shaiq sendiri juga menghadapi berbagai ancaman saat menggelar acaranya. Seorang laki-laki di Atlanta mengancam akan "menyembelih lehernya'' bila ia mengatakan sesuatu yang tidak ia suka. Ia mendengarkan diskusi tersebut, tidak melontarkan pertanyaan apapun dan lalu meninggalkan acara.
"Sangat mengerikan," kata Shaiq.
Para pemimpin Muslim menganggap insiden tersebut adalah bagian dari tren yang mengkhawatirkan yang muncul dalam pemilihan presiden tahun lalu dimana aktivis ultra kanan yang menggambarkan Islam dan semua kaum Muslim sebagai ancaman.
Mereka melihat pandangan kaum ekstrem kanan ini digaungkan oleh Presiden Donald Trump dengan kebijakan pelarangan masuk ke Amerika untuk enam negara dengan penduduk mayoritas Muslim dan dalam klaim-klaim tentang bahaya dari imigran dan pengungsi Muslim. Trump mengatakan kebijakannya sangat penting untuk melindungi keamanan nasional.
"Inisiatif-inisiatif seperti Meet a Muslim sangat penting di saat-saat menguatnya ketakutan dan xenofobia,'' kata Zaina Arain, yang bekerja untuk memonitor dan memerangi Islamofobia bersama dengan Dewan Hubungan Amerika-Islam, sebuah kelompok advokasi bermarkas di Washington DC.
Walaupun begitu, ada sebagian Muslim Amerika yang berusaha melihat keuntungan dari upaya-upaya ini ketika mereka menyaksikan anggota komunitasnya berbicara mengenai hal yang sama 16 tahun lalu.
"Hanya buang waktu saja. Kemungkinan untuk mengubah pandangan orang yang fanatik itu sangat rendah,'' kata Asha Noor, seorang aktivis keadilan ras yang berbasis di Detroit. Bagi Shaiq, programnya adalah tentang berbagi pesan mengenai cinta, welas asih dan perdamaian.
Jumlah orang yang hadir dalam acaranya bertambah setelah sebuat pemberitaan yang mencakup kaum Muslim dan diskusi sering kali menghangat, bahkan tidak jarang menjadi tegang dan penuh amarah.
"Saya ingin secara proaktif memberikan pembelajaran kepada sesama warga Amerika bahwa kaum Muslim adalah manusia seperti mereka,'' kata Shaiq. "Mereka juga punya kebutuhan seperti orang lain.'' [fw/ww]