Sementara Presiden Vladimir Putih tidak mempedulikan norma internasional, dia akan sulit untuk mengabaikan sistem finansial modern dan raksasa yang dikendalikan oleh pemerintah dan bankir di luar negaranya.
Pertarungan kini juga berlangsung antara kemajuan militer Rusia pada satu pihak, yang tampaknya tersendat-sendat, dan kemajuan sanksi finansial pada pihak lainnya. Apakah sanksi-sanksi ini akan mampu melenyapkan sumber daya Rusia untuk melanjutkan perang di Ukraina?
VOA menghubungi Desmond Lachman, peneliti ekonomi senior di American Enterprise Institute, AEI, dan mantan Deputy Director di Dana Moneter Internasional atau IMF. Menurut Lachman, dua jenis sanksi yang benar-benar memberatkan Rusia adalah pengucilan bank-bank utama Rusia dari sistem pembayaran internasional SWIFT dan pemblokiran aset-aset bank sentral Rusia.
Your browser doesn’t support HTML5
“Ini berarti apa yang dilakukan Putin adalah membangun cadangan internasional yang sangat besar, dia membangun cadangan senilai $630 miliar, dan dia mengira cadangan itu akan melindungi ekonomi Rusia dari setiap masalah, misalnya kalau perusahaan Rusia ditekan, nilai tukar ditekan, mereka bisa memanfaatkan dana itu untuk mendukung ekonomi,” kata Desmond Lachman.
Tetapi yang kini terjadi justru sebaliknya, lanjut Lachman. "Yang kita saksikan mata uang Rusia anjlok, 30 sampai 40 persen, di mana rubel hanya bernilai setara 1 sen terhadap dolar. Itu akan mengakibatkan inflasi yang sangat besar. Mereka terpaksa meningkatkan suku bunga dari 10 persen menjadi 20 persen, dan pasar saham tutup karena anjloknya harga saham.
Akibat terpuruknya ekonomi secara parah, itu juga akan mempengaruhi kelancaran operasi mesin perang Rusia.
“Operasi militer membutuhkan banyak uang, kalau Anda akan melakukan pendudukan, Anda harus melancarkan perang ini, setiap perang di mana Anda bertempur untuk jangka waktu lama, pasukan Anda harus diberi makan, akan ada tekanan di sana, dan Anda akan punya ekonomi yang sangat lemah. Jadi jangka panjangnya ini akan sangat menghancurkan dari segi pengorbanan ekonomi yang harus dibayar oleh Rusia,” imbuhnya.
BACA JUGA: Dampak Sanksi Ekonomi Dunia terhadap Rusia, Nilai Rubel AnjlokDihubungi secara terpisah Suzie Sudarman, pakar hubungan internasional dan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia atau FISIP UI berpendapat, sanksi itu memiliki kelemahannya juga.
“Sanction (sanksi) itu memiliki dimensi yang lemah ya kalau menghadapi negara menggunakan persenjataan lengkap untuk merebut wilayah. Itu tidak akan teratasi kalau tidak dengan kekuatan yang forceful (kekuatan yang besar) juga. Kalau Amerika tidak akan menengahi sulit dibayangkan peperangan ini akan berakhir,” jelas Suzie Sudarman.
Menurutnya, dibutuhkan pendekatan yang inovatif, dan adidaya seperti Rusia hanya bisa diyakinkan untuk berkompromi kalau nilai strategis yang dimilikinya berhasil dikurangi.
BACA JUGA: Invasi Rusia Bisa Jadi Malapetaka Bagi Perekonomian Dunia“Jadi kita menunggu saja kekuatan-kekuatan di seputar negara adidaya itu (Rusia) yang mempunyai bargaining strategic (kekuatan tawar menawar yang strategis) untuk melakukan tindakan-tindakan yang bersifat solutif (menghasilkan solusi) ya,” imbuhnya.
Sudarman mencontohkan Turki yang menutup selat Bosporus dan Dardanella, itu adalah upaya strategis untuk menengahi konflik ini, karena langkah ini akan menutup akses kapal perang Rusia ke Laut Hitam. Diharapkan langkah Turki ini akan membuahkan terobosan yang bisa membantu mengakhiri konflik ini.
Lachman mengakui bahwa akhir dari konflik ini masih belum terlihat, dan mungkin perpecahan di lingkaran dalam Putin yang pada akhirnya akan memberi secercah harapan bagi diakhirinya perang ini. [jm/ka]