Melayani Orang Dengan HIV-Aids (ODHA) di Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki tantangan kompleks. Kondisi geografis, minimnya infrastruktur dan alat transportasi hingga ketersediaan obat serta kemudahan aksesnya adalah sebagian diantaranya. Pandemi memperberat tantangan itu, seperti diceritakan dr Theodorus L. Maubere, dokter PDP di RSUD Atambua, Kabupaten Belu, NTT. Suatu ketika, mereka pernah mengalami kelangkaan ARV yang menjadi obat rutin bagi ODHA.
“Tentang kelangkaan ARV, akhirnya kita menggunakan strategi memberikan obat dalam jumlah 10 tablet dulu, terus kita minta ODHA untuk kembali lagi ambil, sambil kita menunggu kiriman dari Kupang, karena buffer stock ARV-nya kan di Dinas Kesehatan Provinsi,” kata Maubere.
Rumah sakit ini melayani ODHA sejak 2006. Jumlah yang aktif menerima ARV secara rutin adalah 353 orang. Kata Maubere, mereka bukan saja berasal dari Atambua, tetapi juga Malaka, Timor Tengah Utara dan Timor Tengah Selatan. Tentu bukan hal mudah bagi ODHA dari berbagai wilayah itu untuk mengakses obat di tengah sulitnya transportasi.
Oktovianus Dion Leki, Kepala Puskesmas Wedomu, Belu, NTT juga menyebut, pandemi virus corona tahun ini mengubah banyak sisi kehidupan sosial masyarakat. Mereka harus menyesuaikan strategi layanan kepada masyarakat.
“Intinya kami komunikasi. Stategi kami adalah ketika turun, tidak hanya HIV yang mereka bisa dapat, mereka bisa mendapat pelayanan selain HIV, bisa penyakit tidak menular, ada pemeriksaan kolesterol dan lain-lain,” kata Dion.
Maubere dan Dion berbagi pengalaman mereka dalam diskusi daring yang diselenggarakan LSM bidang kesehatan CD Bethesda, Yogyakarta, Kamis (10/9). Secara khusus, diskusi ini memotret persoalan tambahan yang diterima sektor kesehatan untuk layanan ODHA di masa pandemi.
Isu ini menjadi penting, karena hampir seluruh daerah mengubah anggaran mereka untuk menghadapi pandemi. Banyak pos belanja yang dialihkan dananya, sehingga dikhawatirkan mempengaruhi layanan kesehatan kelompok rentan seperti ODHA.
Pemberdayaan Dana Desa
Masalah anggaran juga menjadi persoalan di NTT. Namun menurut Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi NTT, dr Husein Pancratius R, semua bisa ditanggulangi dengan kreativitas.
Dia menguraikan, jika kabupaten atau provinsi telah memotong dana kesehatan, layanan tetap bisa dimaksimalkan dengan penggunaan dana desa. Seperti juga desa-desa di seluruh Indonesia, desa di NTT menerima dana dari pemerintah pusat sekitar Rp 1 miliar setiap tahunnya. Petugas kesehatan dapat memberi masukan ke desa, bahwa mereka pun dapat berperan dalam sektor ini.
“Maka kita perlu mengadvokasi, bahwa 20 persen dari dana satu miliar itu bisa dialokasikan untuk pembangunan kesehatan. Macam-macam di situ, salah satunya HIV/AIDS. Bahkan ada beberapa kabupaten sudah kami latih, tenaga ahli pendamping kepala desa,” kata Husein.
Tenaga ahli pendamping di desa tersebut berperan sejak pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbang). Mereka akan mengarahkan aparat desa agar memberikan perhatian pada sektor kesehatan dengan alokasi anggaran khusus. Misalnya, desa dapat menyelenggarakan pelatihan atau sosialisasi mengenai HIV/AIDS dengan mengundang pakar dari kota terdekat.
Perbaikan layanan kesehatan lain yang bisa dilakukan, adalah pembangunan rumah singgah. Keterbatasan transportasi dan tantangan geografis NTT sering menjadi beban bagi masyarakat yang ingin mengakses layanan kesehatan. Husein memberi contoh, banyak warga dari pedalaman yang ingin ke Puskesmas, tetapi tiba di lokasi ketika layanan sudah tutup. Di sisi lain, sangat berat bagi mereka untuk pulang ke rumah, karena akan mengulangi apa yang terjadi sebelumnya.
Rumah singgah yang ada di dekat Puskesmas, membantu warga termasuk ODHA untuk mengakses layanan kesehatan.
“Kalau kamu tidak bisa pulang, kamu tidur di rumah singgah. Disana ada kompor listrik, ada air minum, dan lain-lain, sehingga mereka tidak perlu harus kembali ke desa,” kata Husein.
Your browser doesn’t support HTML5
Layanan 24 Jam Bagi ODHA
Kepala Puskesmas Gedongtengen, Yogyakarta, dr Tri Kusumo Bawono turut berbagi pengalaman mengelola fasilitas kesehatan di masa pandemi. Khusus bagi ODHA, kata Tri Kusumo, sebenarnya Puskesmas “buka 24 jam”. Dengan memanfaatkan grup percakapan di media sosial, layanan 24 jam secara prinsip dapat dilaksanakan karena ODHA dan dokter terus dapat berkomunikasi.
Jika ingin datang ke Puskesmas, ODHA disarankan membuat janji terlebih dahulu. Layanan akan dapat diberikan lebih efektif. Tri Kusumo yang merupakan tenaga kesehatan teladan nasional 2019 ini, sejak tahun dua lalu telah menerapkan layanan ramah ODHA. Kelompok rentan ini bahkan tidak perlu mengantri untuk memperoleh layanan. Pandemi memaksa Puskesmas buka dengan waktu terbatas. Namun secara prinsip, ODHA yang datang di luar jadwal tetap akan dilayani.
“Kalau dia sudah dari jauh, datang sudah sampai ke Puskesmas, tentu saja tidak bisa kami tolak. Karena kami memikirkan, dia sudah keluar rumah. Dia sudah mengeluarkan biaya dan dia sudah mengeluarkan energi tentu saja, ada rasa keberanian makanya tetap kami layani,” kata Tri Kusumo.
Tri Kusumo adalah dokter yang sangat populer di kelompok rentan di Yogyakarta, khususnya bagi pekerja seks. Lokasi Puskesmas Gedongtengen yang dia pimpin, diapit oleh dua lokalisasi tidak resmi di tengah kota.
Di masa pandemi, tentu saja strategi layanan butuh penyesuaian. Dalam satu kasus, kata Tri Kusumo, dia pernah berada dalam posisi harus melakukan swab, sekaligus melayani VCT bagi 12 pekerja seks. Dia akhirnya memilih untuk menyelesaikan VCT terlebih dahulu, sebelum melakukan uji swab. VCT adalah voluntary counselling and testing, atau konseling dan tes HIV secara sukarela.
Pandemi juga membuat komunikasi menjadi penting bagi ODHA dan fasilitas kesehatan. Tri Kusumo mendorong tenaga kesehatan di lingkungannya untuk aktif melakukan monitor. Kadang ada ODHA yang tidak mengambil obat sesuai jadwal. Dokter dan tenaga kesehatan harus peduli, dan mencari penyebab hal itu terjadi agar tidak terulang kembali. [ns/ab]