Erijadi Sulaeman, warga Bali khawatir karena stok obat HIV atau antiretroviral (ARV) miliknya hanya cukup delapan hari lagi. Itupun, kata dia, obat yang ia konsumsi sudah kedaluwarsa sejak Februari 2020 lalu. Menurut Erijadi, kekhawatiran yang sama juga disampaikan para Orang Dengan HIV dan Aids (ODHA) di Pulau Dewata tersebut. Ia memperkirakan jumlah ODHA di sana sekitar 8 ribu orang.
"Keresahan dan ketakutan di arus bawah ini sangat terasa. Apalagi teman-teman yang tidak punya akses untuk bicara kemana-mana. Tahunya mereka terima obat. Mereka itu kebingungan," jelas Erijadi saat dihubungi VOA, Jumat (20/3).
Erijadi menambahkan ia dan ODHA lainnya di Bali khawatir dengan efek samping dari mengkonsumsi obat ARV yang kedaluwarsa atau jenis yang berbeda. Ia berharap pemerintah pusat segera menemukan solusi untuk memenuhi kebutuhan obat ARV di Bali.
"Jangan karena ada pandemik COVID-19 lalu 0DHA-ODHA yang sedang berobat tiba-tiba harus sekarat karena obatnya terputus," tambahnya.
Keterbatasan stok obat ARV juga disampaikan Bali Medika Clinic melalui akun facebook pada Kamis (19/3). Melalui akun facebooknya, klinik itu menulis untuk sementara hanya bisa memberikan untuk 10 hari setiap pasien.
"Kami masih buka seperti biasa, karena keterbatasan stock ARV semua jenis ARV untuk sementara tiap pasien kami berikan 10 hari dan untuk biasa konsultasi gratiskan bagi HIV positif pasien. Mudah-mudahan stock obat segera normal kembali," tulis akun Bali Medika Clinic.
Direktur Eksekutif LSM Indonesia AIDS Coalition, Aditya Wardhana mengatakan, potensi ketiadaan obat ARV juga mengancam 140 ribu pasien ODHA yang tersebar di berbagai wilayah. Apalagi, kata dia, obat ARV yang semestinya diimpor dari India, belum dapat didatangkan karena penerbangannya ditunda dua pekan ke depan karena wabah virus corona.
"Situasi menjadi tidak menentu kembali. Karena mayoritas obat yang dikonsumsi oleh pengidap HIV atau ODHA di Indonesia adalah obat yang masih diimpor dari India," jelas Aditya Wardhana kepada VOA, Jumat (20/3).
Aditya menjelaskan perlu penyesuaian dokumen impor jika nantinya diputuskan pesawat dari maskapai penerbangan yang berbeda. Ini untuk memastikan obat impor tersebut tidak tertahan di bea cukai bandara di Jakarta. Karena itu, ia berharap pemerintah melalui kementerian kesehatan dapat mempermudah proses izin impor obat yang sudah dipesan ini.
"Pertama pemerintah harus identifikasi kecukupan stok. Mana obat yang harus di dalam negeri, mana yang harus diimpor. Kedua memanggil stakeholder, karena dalam situasi emergency, maka relaksasi kebijakan mutlak dibutuhkan," jelasnya.
Adit menambahkan pemerintah juga dapat mengevaluasi dan memetakan jenis obat ARV yang masih beragam. Tujuannya untuk memberikan gambaran bagi industri dalam negeri supaya lebih fokus memproduksi obat yang banyak dikonsumsi ODHA di Indonesia.
VOA sudah berusaha menghubungi sejumlah pejabat Kementerian Kesehatan terkait kelangkaan obat ARV dan gangguan impor dari India karena wabah COVID-19. Namun, belum ada tanggapan dari pejabat Kemenkes hingga berita ini diturunkan.
Sebelumnya, Kemenkes telah memutuskan pembelian obat ARV dari India guna menutupi kekosongan obat ARV yang banyak terjadi di layanan di Indonesia. Namun perusahaan penerbangan yang akan mengangkut obat ARV ini membatalkan penerbangannya untuk masa dua minggu ke depan. Di samping itu, tidak ada jaminan bahwa setelah dua minggu, bahwa layanan pengiriman bisa berjalan. [sm/ab]