Menanam Bakau, Membangun Benteng Tsunami di Teluk Palu

  • Yoanes Litha

Kegiatan menanam bibit pohon bakau yang dilakukan di pantai Dupa, Kelurahan Layana, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (28 September 2023) (Foto: VOA/Yoanes Litha)

Puluhan orang warga kota Palu, Kamis (28/9) menanam bibit tanaman bakau di pesisir teluk Palu. Kegiatan itu dilakukan bertepatan dengan lima tahun bencana tsunami yang dibangkitkan oleh gempa kuat pada 28 September 2018 silam.

Sekitar 30 orang pada Kamis pagi (28/9) menanam bibit pohon bakau di tepi pantai dupa di Kelurahan Layana, kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Muhammad Najib, usia 27 tahun, relawan dari Mangrovers Palu kepada VOA mengatakan kegiatan itu dilakukan untuk memperingati lima tahun pascabencana alam gempa bumi, yang juga menyebabkan tsunami di pesisir teluk Palu pada 28 September 2018 silam. Menurut Najib, dengan menanam bakau maka pesisir teluk Palu akan memiliki pertahanan menghadapi ancaman tsunami di masa mendatang.

“Kalau kita bercermin dari kejadian 2018 yang paling kecil, yang paling sederhana yang bisa kita lihat contohnya, itu di Kabonga bagaimana ada sedikit beberapa pohon mangrove di depan, di pantai itu kemudian rumah yang di belakangnya itu tidak rusak sedikit pun tapi yang di samping-sampingnya itu habis oleh tsunami,” kata Najib. Sedikitnya seribu bibit ditanam hari Kamis ini.

Pohon-pohon bakau tampak tumbuh dalam kondisi baik di di pantai Dupa, Kelurahan Layana, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (28 September 2023) (Foto: VOA/Yoanes Litha)

Gempa bumi magnitudo 7,4 pada 28 September 2018 menyebabkan tsunami dengan ketinggian gelombang mencapai 0,5 hingga 3 meter di Teluk Palu. Berdasarkan data pemerintah, tsunami setinggi 11,3 meter terjadi di desa Tondo, Palu Timur, Kota Palu; sedangkan tinggi gelombang terendah tercatat 2,2 meter terjadi di Desa Mapaga, Kabupaten Donggala.

Hutan mangrove di Donggala terbukti melindungi masyarakat kelurahan Kabonga di Kabupaten Donggala dari ombak tinggi tsunami ketika bencana terjadi lima tahun lalu. Hal ini membangkitkan kesadaran warga akan pentingnya hutan mangrove untuk meredam terjangan tsunami di masa depan.

“Iya, sangat penting sih, apalagi setelah kejadian 28 September itu kan ya, pas waktu ada kejadian gempa, itu terjadi tsunami di sini, jadi mangrove itu sangat membantu sekali untuk meminimalisir dampak dari gelombang yang naik,” kata Ira Kusuma Dani (25) yang hari itu untuk pertama kalinya ikut melakukan kegiatan menanam bibit pohon bakau. Bagi Ira, selain memitigasi tsunami, dengan menanam mangrove dirinya juga ingin ikut meminimalisir dampak perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan.

Your browser doesn’t support HTML5

Menanam Bakau, Membangun Benteng Tsunami di Teluk Palu

Hal senada juga diungkapkan Stanley Gilbert, pegiat lingkungan asal Kabupaten Sigi yang berharap hutan mangrove akan semakin banyak bermunculan di pesisir Teluk Palu. “Dengan ada yang konservasi mangrove ini, maka teluk Palu akan lebih bagus ke depannya. Nah, harapannya sendiri, kiranya masyarakat kota Palu dan siapapun yang datang ke kota Palu menikmati mangrove dan bisa merawat mangrove itu sendiri,” kata Gilbert.

Perlu Dukungan Pemerintah

Dihubungi secara terpisah, Ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana Kota Palu, Ridwan Lapasere menilai kegiatan menanam bibit pohon bakau itu akan berkontribusi besar bagi upaya pengurangan risiko bencana tsunami di Teluk Palu.

Namun demikian masih dibutuhkan keterlibatan banyak pihak, termasuk pemerintah, untuk mendukung inisiatif masyarakat yang ingin memulihkan ekosistem mangrove di Teluk Palu dengan penyediaan bibit. Pemanfaatan mangrove lebih baik dan murah ketimbang membangun tanggul tsunami yang terbuat dari beton di pesisir Teluk Palu.

Kegiatan menanam bibit pohon bakau yang dilakukan di pantai Dupa, Kelurahan Layana, Kota Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (28 September 2023) (Foto: VOA/Yoanes Litha)

“Pengetahuan dan juga literasi soal bagaimana pentingnya mangrove itu juga penting, karena pada level pengambil kebijakan melihat ini juga bukan sesuatu yang penting menurut mereka, karena kita melihat dari kebijakan yang keluar misalnya. Kenapa membuat tanggul, tapi membuat tanggul yang direkayasa secara teknis, tapi justru tidak mendorong secara ekologis,” papar Iwan.

Peningkatan Pengetahuan Mitigasi Menyelamatkan Diri dari Tsunami

Pengamat Kebencanaan dari Universitas Tadulako, Abdullah MT mengatakan pelajaran penting dari tsunami di Teluk Palu ketika itu adalah bahwa tsunami datang lebih cepat atau kurang dari tiga menit dibandingkan dengan peringatan dini yang dikeluarkan pasca gempa bumi. Sehingga sangat penting untuk membangun kemandirian masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan mitigasi dalam memahami bagaimana menyelamatkan diri dari tsunami.

BACA JUGA: Sering Alami Banjir Rob, Warga Donggala Tanam Seribu Bibit Pohon Bakau

Keberadaan tanggul tsunami yang dibangun pemerintah sepanjang 7,2 kilometer di empat kelurahan di Kota Palu yang dikombinasikan dengan vegetasi mangrove yang penanamannya terus dilanjutkan oleh masyarakat dapat berfungsi untuk mengurangi energi tsunami.

“Semuanya ini bisa berfungsi untuk mengurangi energi tsunami ketika tiba di pantai sehingga keselamatan manusia yang ada di sekitar pantai itu bisa lebih terjamin,” tambah Abdullah MT dalam webinar “Refleksi 5 Tahun Pascabencana 28 September 2018.”

Selain itu, menurut Abdullah, juga dilakukan kegiatan simulasi gempa bumi berpotensi tsunami secara rutin sehingga masyarakat tahu cara menyelamatkan diri ketika terjadi bencana.[yl/em]