Mencari Penyebab Meninggalnya Petugas Pemilu

  • Nurhadi Sucahyo

Seorang pemilih memeriksa daftar legislatif yang dipasang di sebuah TPS di Sleman, DIY dalam Pemilu 2019. (Foto: VOA/ Nurhadi)

Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat 894 Petugas Pemungutan Suara (PPS) meninggal dunia dan 5.175 orang sakit dalam Pemilu 2019. Belum ada penelitian detail mengenai fenomena itu, sehingga banyak masyarakat mempertanyakan.

Salah satu yang masih memendam rasa penasaran adalah Maksum Amrulah, dari Dewan Pembina Gerakan Pemuda Kabah. Maksum melempar pertanyaan langsung ke Ketua KPU, Arief Budiman dalam diskusi terkait Pemilu 2019 di Yogyakarta, Rabu (19/02). Diskusi ini diselenggarakan oleh Departemen Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada.

“Bagaimana tindak lanjut mengenai 700 lebih petugas Pemilu yang sampai hari ini masih menjadi perdebatan umum. Saya yakin, regulasi rekrutmen tenaga Pemilu pasti dimulai dengan persyaratan. Saya berharap KPU Pusat segera memberikan penjelasan kepada publik Indonesia, tentang 700 lebih petugas yang sampai hari ini belum ada penjelasan,” ujar Maksum.

Pertanyaan itu didasari oleh keyakinan Maksum, bahwa perekrutan PPS pasti dilakukan dengan memberlakukan sejumlah syarat. Salah satunya, kondisi kesehatan yang bersangkutan. Jika kemudian banyak PPS yang meninggal karena sakit, tentu saja proses itu harus dipertanyakan.

Penyebab Meninggal Wajar

Menurut rencana, semestinya Ketua KPU Arief Budiman datang ke Yogyakarta, sehingga dia bisa menjawab pertanyaan Maksum secara langsung. Namun, Rabu pagi, dia harus menandatangani perjanjian kerja sama dengan Kementerian Kesehatan. Perjanjian itu penting, karena menurut Arief terkait dengan upaya untuk mencegah tragedi kematian petugas yang terjadi dalam Pemilu 2019. Karena itulah, Arief berbicara melalui konferensi jarak jauh selama diskusi digelar.

Arief memaparkan, KPU terus berusaha mencegah peristiwa itu terjadi kembali. Salah satunya adalah dengan memastikan bahwa mereka yang mendaftar sebagai PPS, memahami konsekuensi tugasnya dan kondisi kesehatannya sendiri.

“Yang bersangkutan ketika mendaftar, dia harus tahu betul beban kerjanya seperti apa. Apakah kondisi fisik dan kondisi kesehatan dia mampu menjalankan tugas itu. Karena ini perintah undang-undang, dalam waktu satu hari semua pekerjaan harus selesai di level TPS,” kata Arief.

Diskusi Pemilu 2019 oleh Departemen Politik dan Pemerintahan UGM di Yogyakarta, Rabu, 19 Februari 2020. (Foto: VOA/Nurhadi)

Tanpa menyebut datanya, Arief mengatakan bahwa meninggalnya PPS bukan hanya terjadi pada 2019. Namun, lanjutnya, pada Pemilu tahun lalu, kejadian itu diekspos secara besar-besaran.

Beberapa pihak, kata Arief, sebenarnya sudah melakukan penelitian terhadap kejadian tersebut. Dia memberi contoh penelitian Dinas Kesehatan DKI Jakarta yang berkesimpulan bahwa tidak ada petugas Pemilu yang meninggal karena kejadian tidak wajar. Hasil penelitian itu juga telah disampaikan kepada KPU.

“Proses atau kejadian meninggal ini disebabkan oleh hal-hal yang wajar. Misalnya dia punya penyakit jantung atau diabetes, lalu pekerjaannya banyak sekali. Maka dia tidak mampu menanggung beban itu,” ujar Arief.

Dalam perjanjian bersama Kementerian Kesehatan, kata Arief, KPU meminta dukungan selama proses rekrutmen penyelenggara Pemilu. Dukungan ini bukan hanya dalam pemberian surat keterangan sehat, tetapi juga kemungkinan penyediaan fasilitas kesehatan selama kegiatan tertentu.

Komisi II DPR, ujar Arief, bahkan pernah mengusulkan dilakukannya cek kesehatan umum bagi calon petugas Pemilu. Namun dalam pertimbangan KPU, hal itu tidak dimungkinkan karena perekrutan dilakukan hingga ke daerah pelosok yang tidak memiliki fasilitas untuk tindakan tersebut. Di samping itu, cek kesehatan umum untuk seluruh calon petugas Pemilu akan menelan biaya yang sangat mahal.

Faktor Kesehatan dan Beban Kerja

Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM sudah melakukan penelitian terkait penyebab kematian PPS dalam Pemilu 2019. Penelitian ini melibatkan Fakultas Kedokteran dan Fakultas Psikologi UGM. Abdul Gaffar Karim, dari departemen tersebut menyatakan, di DIY tercatat ada 12 PPS dan 2 pengawas meninggal. Seluruh korban berjenis kelamin laki-laki, dalam rentang usia 46-67 tahun dan 90 persen di antaranya perokok aktif.

Penelitian forensik verbal ini dilakukan dengan menanyakan aktivitas selama 24 jam terakhir dari mereka yang meninggal itu.

“Kesimpulannya memang, terutama karena kelelahan. Beban kerja yang terlalu berat, tapi juga karena kesehatan yang tidak prima. Jadi, semua yang meninggal itu punya faktor risiko kesehatan. Bahkan ada yang punya, istilahnya multiple morbidities, kata para dokter, sakit yang lebih dari satu. Ada diabetes, ada yang jantung, ada yang sebelumnya mengalami stroke,” kata Gaffar.

Para peneliti juga menyimpulkan, beban kerja yang berat memicu kelelahan. Dampak lanjutan dari kelelahan adalah penyakit-penyakit para petugas muncul ke permukaan. Peneliti berkeyakinan, para petugas sebelumnya memang memiliki masalah kesehatan seperti diabetes atau jantung. Namun, jika tidak menerima tekanan kerja yang berlebihan, faktor risiko dimungkinkan tidak muncul begitu cepat. Selain itu, hoax selama Pemilu juga berperan karena terbukti membuat stres sejumlah petugas.

Your browser doesn’t support HTML5

Mencari Penyebab Meninggalnya Petugas Pemilu

DPP UGM menyampaikan rekomendasi utama terkait perbaikan ke depan dengan perbaikan sistem rekrutmen.

“Jadi yang direkrut menjadi petugas PPS yang betul-betul sehat, masih prima. Kita tahu ini tidak mudah mewujudkannya, tapi rekomenasi harus seideal mungkin. Seleksinya diperketat, meskipun di bawah, yang kita tahu, tidak mudah menemukan orang yang mau bekerja menjadi petugas,” lanjut Gaffar.

Sementara itu, rekomendasi dari para psikolog terkait penelitian itu adalah perbaikan ergonomika kerja petugas. Selama ini, kata Gaffar, yang menjadi perhatian besar adalah kemudahan bagi para pemilih, termasuk pemilih dengan disabilitas dalam menggunakan hak pilihnya. Namun, ergonomika kerja petugas ternyata tidak diperhitungkan dengan baik. Tim akan menggunakan ajang Pilkada serentak 2020 ini, untuk meneliti lebih jauh ergonomika kerja yang lebih sesuai.

Terkait sistem Pemilu, kata Gaffar, masalah yang ditemukan selama Pemilu 2019 akan dipelajari, untuk kemudian diteliti lebih jauh dalam Pilkada serentak 2020. Ke depan akan direkomendasikan juga sistem Pemilu yang lebih sesuai.

BACA JUGA: Penelitian UGM Ungkap Sebab Kematian Petugas Pemilu di Yogya

Penelitian ini juga memberikan hasil sampingan yang cukup mengejutkan. Data di seluruh DIY menunjukkan, Tempat Pemilihan Suara (TPS) yang dikelola petugas perempuan ternyata lebih efisien. PPS yang dominan perempuan, bekerja lebih efektif, selesai lebih cepat dan karenanya beristirahat lebih cukup daripada yang laki-laki.

“Karena itu data temuan yang sampingan, kita tidak tidak sempat mendalaminya. Kita perlu data lebih dalam. Tapi faktanya memang, yang dikelola oleh perempuan lebih baik,” pungkas Gaffar. [ns/uh]