Salah satu kendala menghapus praktik perkawinan anak di Indonesia adalah masih adanya landasan hukum yang memungkinkan legalisasi perkawinan anak, yaitu UU Perkawinan Tahun 1974, khususnya pasal tentang batas usia. Judicial review atau uji materi pertama tahun 2015 telah ditolak Mahkamah Konstitusi dan kini sedang dilakukan upaya kedua. Mengapa sulit sekali merevisi pasal tentang batasan usia dalam undang-undang tersebut?
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise memberikan angin segar ketika dalam rapat konsultasi di DPR Januari lalu mengatakan bahwa ia tengah mendorong revisi UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terutama pasal yang mengatur batas usia perkawinan, guna menghapus praktik perkawinan anak.
“Saya sudah bertemu Menteri Agama yang memback-up saya untuk usulkan apakah perlu revisi atau Perppu. Revisi UU Perkawinan terkait usia, yang tadinya 16 tahun menjadi 18 tahun,” kata Yohana.
Lebih jauh Yohana mengatakan kementeriannya siap membuat kajian sebagai dasar perubahan UU Perkawinan itu dan mendorong seluruh elemen masyarakat mengangkat isu ini.
Judicial Review Batas Usia di UU Perkawinan Ditolak MK tahun 2015
Sebelumnya upaya judicial review atau pengujian UU Perkawinan Tahun 1974 Pasal 7 ayat 1 dan ayat 2 yang dilakukan tiga perempuan korban perkawinan anak, yaitu : Endang Wasrinah, Rasminah dan Maryati, menemui jalan buntu setelah Mahkamah Konstitusi pada Juni 2015 menolak dengan menggunakan dalil “open legal policy” atau kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang.
Dua ayat yang diajukan untuk diuji adalah ayat 1 pada pasal 7 yang menyatakan bahwa “perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 tahun.” Sementara ayat 2 pasal yang sama menyatakan “dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini maka dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.”
Koordinator Pokja Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia Indry Oktaviani kepada VOA mengatakan uji materi ketika itu gagal karena majelis hakim menggunakan alasan moral.
“Jika melihat judicial review pertama.. Salah satu hakim Mahkamah Konstitusi bertanya “apa solusinya terhadap anak-anak yang melakukan seks bebas?” Jadi menurut saya sudah ada cara pandang yang kuat diantara para pembuat kebijakan bahwa jika anak-anak tidak segera dikawinkan maka akan melakukan seks bebas. Ini terasa sekali selama persidangan. Ada perdebatan yang tidak selesai karena definisi moral yang dipakai menggunakan moral orang dewasa, yang dasarnya adalah agama, yang kini menjadi sangat fundamentalis. Salah satu yang sulit dipecahkan oleh kawan-kawan pemohon di Mahkamah Konstitusi tahun 2015 dan menjadi pertimbangan dasar hakim adalah moral, yaitu moral agama, intinya tidak mau ada zina.”
Baca juga: Korban Kawin Anak: “Kami Butuh Ijazah, Bukan Buku Nikah”
Lebih jauh Indry menilai bangkitnya fundamentalisme agama sebagai salah satu alasan sulitnya meloloskan judicial review pasal soal batasan usia dalam UU Perkawinan Tahun 1974.
Quraish Shihab: Banyak Pertimbangan Menyulitkan Revisi Batasan Usia dalam UU Perkawinan
Ulama berpengaruh Quraish Shihab menilai ada banyak pertimbangan lain yang menyulitkan revisi itu.
“Saya kira ada pertimbangan-pertimbangan lain, bukan hanya semata-mata pada soal usia, tetapi ada kekhawatiran bahwa jika poin itu dalam UU Perkawinan diganggu gugat maka akan ada hal-hal lain yang juga diganggu gugat. Jadi bukan persoalan usia. Ini hemat saya,” ujarnya.
Diwawancarai VOA melalui telepon, Quraish Shihab menilai UU Perkawinan Tahun 1974 itu merupakan suatu paket yang jika ada satu hal direvisi maka akan membuka celah revisi bagian lainnya.
“Paket UU Perkawinan itu adalah satu paket yang dikhawatirkan jika dirombak yang satu, akan terombak yang lain, yang lebih esensial, dimana sekarang semakin banyak persoalan yang bertentangan dengan agama, dan seakan-akan dicarikan jalan pembenaran lewat agama. Misalnya menyangkut LGBT. Sebagian besar ulama mempertimbangkan hal ini. Tetapi ketika menyentuh soal perkawinan usia dini – saya tidak ingin berkata bahwa ini dilarang agama – tetapi saya bisa katakan bahwa agama tidak menyetujui soal menikah usia muda. Ada tugas pokok yang harus dipenuhi dan itu tidak bisa dilakukan jika masih anak-anak. Substansi perkawinan adalah hidup bersama dan masing-masing mempunyai tugas pokok. Salah satu tugas pokok perempuan dalam Islam adalah mendidik anak. Nah bagaimana bisa mendidik anaknya jika ia sendiri masih kecil? Karena itu di negara-negara Islam, dari waktu ke waktu ada perubahan menyangkut batas minimal usia perkawinan. Di Indonesia pun ada upaya kesana. Tetapi dewasa ini semua sepakat bahwa ada tugas-tugas baru, mengingat perkembangan masyarakat, tidak lagi dapat direstui perkawinan seorang pria dengan seorang anak yang belum dewasa, baik dewasa dalam hal fisik, usia maupun pengetahuan. Saya kira anak yang baru tamat SMP belum siap menjadi ibu rumah tangga. Oleh karena itu, sekali lagi, Islam selalu ingin melihat substansi dan menyesuaikan substansi itu dengan perkembangan masyarakat. Saya juga melihat pernah dibahas di Mahkamah Konstitusi tentang usia kawin, saya juga mengusulkan apa yang ditetapkan sekarang ini perlu diberi batas yang lebih tinggi lagi. Itu pandangan saya,” ujar Shihab.
Judicial Review Hanya Dilakuan atas Batasan Usia dalam UU Perkawinan
Indry Oktaviani mengatakan sangat memahami hal tersebut karena itu hanya mengajukan uji materi atas ayat tentang batasan usia, bukan hal lain.
“Kenapa kita pilih jalan judicial review karena kita hanya ingin meminta hakim untuk menginterpretasi Pasal 7 Ayat 1 agar usia 16 tahun itu dibaca sebagai 18 tahun. Kita tidak ingin kutak-katik yang lain. Oleh karena itu kami pilih judicial review karena jika harus menunggu revisi atau amandemen UU Perkawinan 1974 dengan begitu banyak pasal berlapis, tidak akan selesai juga. Pengalaman kami pada tahun 2012, baru membaca Pasal 1 soal “perkawinan adalah” … sudah memancing perdebatan besar dan akhirnya ditutup tanpa pembahasan,” tambah Indry.
Quraish Shihab: Ulama yang Merujuk Nabi untuk Dalih Perkawinan Anak, adalah Bodoh & Sombong
Quraish Shihab secara terbuka mengakui banyak ulama yang merujuk pada UU Perkawinan Tahun 1974 sebagai landasan hukum perkawinan usia dini, termasuk menggunakan dalil bahwa Nabi Muhammad SAW pun dahulu menikahi Aisyah ketika masih berusia muda.
“Banyak ulama mengatakan demikian karena Nabi Muhammad SAW kawin dengan Aisyah yang konon berumur katakanlah 12 tahun. Tetapi dalam fatwa ulama-ulama yang memahami hal ini, maka dikatakan bahwa orang yang menjadikan hal ini sebagai dalih adalah orang yang bodoh dan sombong. Bodoh karena tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada masa itu, dan sombong karena menyamakan dirinya dengan Nabi. Jangan jadikan itu dalih,” tandas Shihab.
Pemerintah Didorong Lakukan Perubahan Kultur, Struktur & Sistem untuk Akhiri Perkawinan Anak
Sementara itu aktivis perempuan yang juga peneliti gender dan Islam – Lies Marcoes-Natsir – menyoroti adanya dualisme aturan hukum yang menurutnya “mengerikan” seiring pemberlakuan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian direvisi dan dipertegas dengan UU No.35 Tahun 2014 tentang hal yang sama, dan diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2016. Aturan hukum itu menurutnya memiliki aturan berbeda dengan UU Perkawinan Tahun 1974.
“Dalam konteks Indonesia yang makin konservatif, yang mengerikan adalah adanya dualisme hukum ini, yang menunjukkan ketidaktegasan negara untuk keluar dari hukum agama,” kata Lies.
Lies Marcoes-Natsir yang juga salah seorang pendiri “Rumah Kita Bersama” atau dikenal sebagai “Rumah Kitab” mengatakan jika semua pihak serius mengakhiri perkawinan anak, maka harus siap melakukan perubahan kultur, struktur dan sistem.
''Dalam triangulasi advokasi – perubahan kultur, struktur dan sistem hukum – harus saling bekerjasama. Kalau hanya salah satu saja – misalnya perubahan hukum saja – kalau ditolak, begini jadinya, yang lain tidak siap. Kalau pun diterima, kita akan berhadapan dengan masalah kultural dan struktural yang lain lagi. Negara harus serius menangani masalah ini. Situasi perkawinan anak di Indonesia sudah darurat," tambahnya.
Mahkamah Konstitusi Tak Kunjung Putuskan Kelanjutan Judicial Review Kedua
Judicial review kedua sudah diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada 20 April 2017. Sebulan kemudian, tepatnya pada 24 Mei digelar sidang, dilanjutkan dengan revisi berkas permohonan pada 9 Juni oleh tiga pemohon uji materi itu sesuai masukan hakim Mahkamah Konstitusi. Tetapi hingga laporan ini disampaikan belum ada jawaban dari pihak Mahkamah Konstitusi, meskipun pada 18 Desember ketiga pemohon didampingi kuasa hukumnya telah kembali telah menyampaikan berkas permohonan.
“Dalam judicial review pertama yang menjadi pemohon adalah organisasi dan korban perkawinan anak yang punya anak. Tetapi kali ini kami ingin melihat hakim melihat langsung ke pemohon, dan secara psikologis bisa terketuk hatinya untuk melihat kenyataan,” harap Indry. [em/ds]
Your browser doesn’t support HTML5