Menilik Koalisi Politik Dalam Pilpres AS 2016, 2020, dan 2024

Para pemilih antre di sebuah tempat pemungutan suara di Charlotte, North Carolina, 3 November 2020. (Foto: Sam Wolfe/Reuters)

Dalam pidato perpisahannya pada 1796, George Washington memperingatkan warga Amerika Serikat agar tidak membentuk partai politik, yang menurutnya dapat merusak persatuan nasional, memicu perpecahan, dan bahkan memicu pemberontakan. Meskipun sudah ada nasihat dari Washington, sebagian besar sejarah negara ini telah dibentuk oleh persaingan antarpartai, dan di era modern, partai Demokrat dan Republik dianggap sebagai satu-satunya pilihan pemilu yang layak di tingkat nasional.

Namun, pendirian masing-masing partai dan orang-orang yang diwakilinya telah berubah secara drastis seiring berjalannya waktu. Partai Demokrat, yang awalnya merupakan partai di wilayah Selatan yang membela kepentingan pemilik budak, selama beberapa dekade berubah menjadi kendaraan bagi gerakan buruh dan hak-hak sipil.

Sementara itu, Partai Republik bertransformasi dari partai abolisionis yang melakukan modernisasi menjadi partai yang disukai oleh para pemilih konservatif dan pedesaan di wilayah Selatan. Saat ini, koalisi demografis yang membentuk masing-masing partai tampaknya kembali mengalami pergeseran, yang berdampak besar terhadap masa depan negara.

Kombinasi foto yang menunjukkan Donald Trump (kiri) dan Joe Biden dalam sesi debat capres pertama di Celeveland, Ohio, pada 29 September 2020. (Foto: AP)

Koalisi politik pada pemilu presiden 2016

Meskipun Partai Demokrat telah lama dipandang sebagai partai serikat buruh dan kelas pekerja, partai itu mulai kehilangan pemilih kerah biru dari kalangan warga kulit putih pada periode 1990-an setelah masa kepresidenan Ronald Reagan. Barack Obama berhasil mengompensasi kerugian itu pada 2008 dan 2012 dengan mempertemukan warga Afrika-Amerika, Latin, dan kelompok ras dan agama minoritas lainnya, serta pemilih progresif, perempuan, dan generasi muda.

Kampanye Obama juga menunjukkan bahwa lulusan perguruan tinggi, yang sebelumnya berkorelasi dengan pemilih Partai Republik yang berpendapatan tinggi, beralih ke Partai Demokrat dan tren itu berlanjut hingga saat ini.

Hillary Clinton berusaha mempertahankan koalisi Obama saat berhadapan dengan Donald Trump pada 2016 dengan menerapkan kebijakan progresif dan menekankan kesetaraan ras dan gender. Namun kemenangan Obama juga bergantung pada pemilih kelas pekerja kulit putih di negara bagian utara seperti Michigan, Wisconsin dan Pennsylvania, di mana ia memposisikan dirinya sebagai kandidat dari luar kepada pemilih di wilayah tersebut.

Donald Trump dan Hillary Clinton saling berjabat tangan seusai menjalani debat capres di Hofstra University di Hempstead, New York, pada 26 September 2016. (Foto: Reuters/Mike Segar)

Trump berhasil meraup sejumlah besar pemilih di kalangan tersebut dengan janjinya untuk memulihkan industri Amerika dan menolak pembelaan terhadap perdagangan bebas yang diusung oleh arus utama Partai Republik. Meskipun sering dianggap sebagai retorika kampanye yang memecah belah secara rasial, Trump mengungguli kandidat Partai Republik sebelumnya di kalangan pemilih non-kulit putih yang tidak memiliki gelar sarjana.

Clinton memperoleh dukungan dari kalangan pemilih kaya dan menikah di pinggiran kota yang berhaluan Partai Republik. Namun kebanyakan dukungan yang diperoleh terkonsentrasi di negara-negara bagian yang tidak menjadi medan pertempuran.

Pada saat yang sama, mantan ibu negara tersebut tidak dapat menandingi Obama dalam hal jumlah pemilih dan antusiasme yang sama tinggi di kalangan pemilih kulit hitam dan muda. Meskipun Clinton menekankan aspek bersejarah dari pencalonannya, para pemilih perempuan kulit putih lebih memilih Trump dengan selisih yang kecil. Pada akhirnya, koalisi Obama terbukti tidak dapat diandalkan tanpa dukungan para pemilih dari kelas pekerja yang menjadi basis tradisional suara Partai Demokrat.

BACA JUGA: Dari Dua Kandidat Presiden AS, Siapa Lebih Agamis?

Koalisi Politik pada Pilpres 2020

Setelah gagal mencalonkan diri sebagai presiden sejak 1980-an, Joe Biden muncul sebagai kandidat unggulan dalam pemilihan pendahuluan yang padat.

Meskipun dipandang sebagai pilihan yang konservatif, Biden dengan cepat mendapatkan dukungan dari kandidat yang lebih progresif setelah ia dicalonkan dan mengadopsi beberapa posisi mereka dalam platformnya. Rekam jejak bipartisan dan latar belakang dari kelas pekerja, Biden menarik bagi pemilih berusia lanjut dan moderat di pinggiran kota, serta pemilih independen dan kelas pekerja. Dan memanfaatkan warisan Barack Obama sebagai mantan wakil presidennya memungkinkan Biden untuk menghidupkan kembali koalisi Obama dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh Hillary Clinton.

Meskipun Biden mungkin bukan pilihan pertama bagi banyak pemilih progresif, muda, dan minoritas, sifat kepresidenan Donald Trump yang terpolarisasi dan kontroversial serta ketakutan akan terpilihnya kembali sudah cukup untuk mendapatkan dukungan dari kelompok-kelompok tersebut.

Wabah COVID-19 juga terbukti menjadi salah satu faktornya, dan Biden jelas merupakan favorit di antara para pemilih yang menganggap pandemi ini sebagai kekhawatiran utama – terutama di negara-negara bagian yang menjadi medan pertempuran, di mana kasus-kasus meningkat sebelum pemilu.

Presiden AS Joe Biden berbicara dalam aksi mogok kerja yang dilakukan serikat pekerja otomotif di Pusat Redistribusi Willow Run , di Van Buren, Michigan, pada 26 September 2023. (Foto: AP/Evan Vucci)

Daya tarik Biden sebagai kandidat berhasil membendung sebagian momentum Trump di kalangan pemilih kulit putih kelas pekerja, di mana margin Partai Republik menipis dari 36% pada 2016 menjadi 32% pada 2020.

Namun, Trump memperbaiki posisinya dengan beberapa demografi pemilih lainnya, beberapa di antaranya tidak terduga. Kandidat Partai Republik ini memperkuat dukungannya di kalangan pemilih evangelis kulit putih, yang awalnya terpecah mengenai karakter dan perilaku pribadinya, sebelum kemudian bersatu mendukungnya pada pemilihan presiden (pilpres) 2016.

Dukungan terhadap Trump di kalangan perempuan juga meningkat sekitar lima poin persentase, sehingga mempersempit kesenjangan gender.

Yang paling mengejutkan, Trump berhasil menarik perhatian para pemilih dari komunitas Latin di negara-negara bagian Selatan, meskipun ia memiliki retorika antiimigrasi. Daya tariknya terutama terlihat di kalangan laki-laki Latin, yang lebih memilih Biden dengan selisih yang jauh lebih kecil dibandingkan perempuan Latin. Hasilnya, meski kalah, Trump menarik koalisi yang lebih beragam dibandingkan kandidat Partai Republik mana pun dalam beberapa dekade terakhir.

Presiden Donald Trump mengacungkan jempol ke arah massa yang hadir dalam acara kampanye Komunitas Latin untuk Trump di Phoenix, Arizona, pada 14 September 2020. (Foto: AP/Ross D. Franklin)

Koalisi politik pada Pilpres 2024

Pemilihan presiden pada 2024 akan mempertemukan calon dari Partai Demokrat, Joe Biden, melawan calon dari Partai Republik, Donald Trump, meskipun ada tantangan hukum yang dihadapi pencalonan Trump.

Biden diperkirakan akan mencoba menghidupkan kembali koalisi tersebut dari pemerintahan sebelumnya pada 2020, dengan pesan-pesan yang berfokus pada hak-hak reproduksi, mencegah Trump kembali menjabat, dan melindungi demokrasi Amerika dari ancaman apa yang ia sebut sebagai “ekstremisme MAGA.”

Pesan-pesan seperti itu paling kuat ditangkap oleh para pemilih yang berpendidikan perguruan tinggi, yang kini telah muncul sebagai daerah pemilihan kunci Partai Demokrat. Faktanya, pendidikan kini telah melampaui tingkat pendapatan sebagai salah satu indikator terkuat afiliasi partisan.e.

Namun meskipun para lulusan perguruan tinggi kini mencapai 41 persen dari seluruh pemilih – jauh lebih banyak dibandingkan dekade sebelumnya – mereka juga sebagian besar berkulit putih.

Blok besar lainnya yang harus diandalkan oleh Partai Demokrat adalah pemilih non-kulit putih yang tidak memiliki gelar sarjana – sebuah kelompok dengan kepentingan ekonomi dan pandangan sosial yang sangat berbeda. Di antara para pemilih inilah Partai Republik memperoleh dukungan dengan menekankan konservatisme budaya, anti-elitisme, dan nasionalisme ekonomi.

BACA JUGA: Biden dan Trump Berebut Suara di Pennsylvania

Selama bertahun-tahun, para analis memperkirakan bahwa tren demografi yang mengarah pada populasi mayoritas non-kulit putih akan menghancurkan Partai Republik dalam jangka panjang. Namun, dinamika koalisi Trump dan kebangkitan para pemimpin Partai Republik seperti Nikki Haley serta dukungan terhadap kandidat independen menunjukkan bahwa Partai Demokrat mungkin tidak lagi bisa memandang remeh para pemilih minoritas.

Kedua partai akan menghadapi tantangan unik dengan bagian-bagian penting dari koalisi mereka. Dukungan pemerintahan Biden terhadap Israel dalam perang melawan Hamas di Gaza, yang telah menewaskan lebih dari 35.000 warga Palestina, menurut otoritas kesehatan Gaza, telah mengasingkan komunitas Arab dan Muslim serta pemilih muda kulit hitam dan Hispanik.

Sementara itu, Trump menghadapi banyak kasus kriminal. Meskipun ia menolak tuduhan-tuduhan tersebut dan menyebutnya sebagai partisan, banyak anggota Partai Republik mengatakan mereka tidak akan memilihnya jika ia terbukti bersalah. [ft/rs]