Remaja putra di Amerika semakin terjerat "skema pemerasan" uang online. Sejauh ini, skema itu telah menelan setidaknya 3.000 korban dan menyebabkan lebih dari selusin bunuh diri, pejabat Departemen Kehakiman memperingatkan, Senin (19/12).
Pejabat FBI dan Departemen Kehakiman mengatakan kepada wartawan dalam pengarahan bahwa mereka secara aktif sedang menyelidiki ribuan petunjuk. Mereka mendapati laporan terkait skema sextortion naik 10 kali lipat dalam paruh pertama 2022 dibandingkan dengan periode waktu yang sama tahun lalu.
Skema sextortion terjadi ketika seseorang dipaksa memberikan foto-foto seksual, kemudian diperas untuk mendapatkan uang.
Banyak kasus, kata para pejabat itu, berasal dari situs media sosial seperti Facebook dan Instagram. Begitu terjadi kontak, predator itu beralih menggunakan aplikasi lain seperti Snapchat atau Google Hangouts.
BACA JUGA: Polisi Filipina Tangkap Jaringan Pemerasan Seksual Online"Ini ancaman yang unik," kata seorang pejabat Departemen Kehakiman, yang tidak mau namanya disebut. "Motivasinya adalah uang. Organisasi, skala operasinya - sangat berbeda dari apa pun yang pernah kami ketahui."
Gadis-gadis muda sering menjadi sasaran skema sextortion online. Tetapi dalam insiden belakangan ini, jumlah remaja laki-laki yang menjadi korban meningkat, khususnya di kalangan usia antara 14 dan 17 tahun, kata para pejabat. Sebagian dari korban bahkan anak laki-laki semuda usia 10 tahun.
Aparat penegak hukum percaya banyak penjahat yang mengincar anak-anak muda itu berbasis di Nigeria dan Pantai Gading. Kasus-kasus ini sedang diselidiki secara aktif. Menurut para pejabat, mereka tidak tahu apakah ada tuduhan pidana publik.
Pejabat-pejabat FBI mengatakan mereka ingin memperingatkan orang tua akan meningkatnya ancaman sextortion menjelang musim libur, mengingat anak-anak akan berada di rumah dan akan memiliki akses yang lebih besar ke media sosial. Mereka mengatakan biro tersebut juga telah menerima sekitar 4.500 petunjuk terkait sextortion.
Pejabat-pejabat Departemen Kehakiman mengatakan Meta, yang mengoperasikan Facebook, Instagram, dan WhatsApp, sejauh ini telah memberi petunjuk siber melalui Pusat Nasional untuk Anak Hilang & Tereksploitasi. Perusahaan itu juga ikut membantu melatih aparat penegak hukum di Afrika Barat. [ka/jm]