Juergen Stock, seorang warga Jerman yang menjabat sebagai Kepala Interpol tahun 2014 lalu, mengatakan ia yakin semua polisi memiliki tugas yang sama, yaitu melawan penjahat. Masalahnya, ia memimpin Interpol, suatu badan yang menyatukan 195 negara yang sangat berbeda ke dalam jaringan data base kejahatan dan buronan.
“Interpol masih bekerja efektif. Saya kira kabar baik dalam keamanan internasional adalah kami masih terus berkembang. Kami berharap negara anggota ke 196 dapat diterima dalam pertemuan majelis umum kami di Wina, November mendatang,” ujarnya.
Interpol tidak memiliki pasukan polisi sendiri, tidak mempunyai persediaan senjata api, dan tentunya tidak memiliki armada helikopter atau piranti lain yang dapat menyerbu dan menangkap penjahat dari atap-atap rumah. Hampir seluruh kekuatan Interpol terletak pada informasi yang dibagikan oleh negara-negara anggota, sebagaimana yang berulangkali disampaikan Stock.
BACA JUGA: Ungkap Jaringan Sindikat Internasional TPPO Penjualan Ginjal, Bekasi Jadi Markas, Kamboja Jadi TujuanPara kritikus, termasuk yang memuji masa jabatan Stock sebagai salah satu bentuk keterbukaan baru bagi Interpol, mengatakan hal itu justru masalahnya. Mereka menuduh banyak negara – terutama Rusia dan China – menyalahgunakan sistem “red notice” yang menandai mereka yang dianggap sebagai buronan. Para pembangkang, kelompok minoritas dan kadang-kadang pencari suaka justru ditahan secara salah.
“Saya pernah menjadi sekretaris jendral yang banyak menanamkan investasi pada integritas data kita, misalnya pada sistem “red notice” dan difusi, semua instrumen sensitif yang pada satu sisi memungkinkan ribuan penjahat di seluruh dunia dapat ditangkap setiap tahun; namun di sisi lain instrumen-instrumen itu tidak digunakan atau bahkan disalahgunakan untuk tujuan politik dan militer,” tambah Stock.
Setidaknya dalam satu kasus selama masa jabatan Stock, seorang warga Uighur-China salah ditahan dan diseret kembali ke China, sebelum akhirnya dibatalkan.
Stock mengatakan berkat sistem peninjauan yang diterapkan pada tahun 2016, kasus-kasus itu semakin jarang terjadi. Saat ini pemberitahuan dan penyebarluasan informasi yang “tidak pantas” hanya menyumbang 5% dari total keseluruhan informasi yang masuk.
Sejarawan dan pakar kerjasama polisi internasional di Universitas Cologne, Prancis, Jens Jäger, mengatakan, “Kami benar-benar berupaya keras untuk mereformasi Interpol dan memastikan tidak ada permintaan apapun dengan latar belakang yang tidak jelas. Negara-negara diktator, atau rezim otoriter adalah yang paling sering menyalahgunakan “red notice” kami.”
BACA JUGA: Irak Minta AS, Inggris Ekstradisi Tersangka Skandal KorupsiStock mengatakan Interpol didirikan untuk menangani kejahatan transnasional modern yang semakin banyak, mencakup pelecehan seksual terhadap anak-anak di dunia maya, serangan siber, perdagangan di bidang lingkungan hidup, perdagangan manusia dan terorisme. Kejahatan-kejahatan ini, menurut para pakar Interpol, pada dasarnya akan selalu meningkat dengan kecepatan yang jauh lebih cepat dibanding kenaikan anggaran Interpol.
Bagi Interpol, dan pemimpinnya – yang menggambarkan dirinya sebagai “pelayan publik internasional – keberhasilan hanya diukur dari kuantitas informasi yang dapat dikirimkan. [em/jm]