Menkes Ungkap Penyebab Kematian Pasien COVID-19 Isoman

Ambulans mengangkut jenazah korban COVID-19 melewati penanda "Kawasan Merah" menuju lokasi pemakaman di Bekasi, 11 Juli 2021. (AP Photo/Achmad Ibrahim)

Pemerintah mengungkapkan bahwa penyebab kematian pasien COVID-19 saat isoman bukan hanya karena penuhnya kapasitas rumah sakit, namun stigma negatif yang masih ada di masyarakat terkait COVID-19.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin merasa prihatin dengan banyaknya pasien COVID-19 yang meninggal saat melakukan isolasi mandiri di rumahnya masing-masing. Ia akui, selain penuhnya rumah sakit, penyebab lainnya adalah masih banyak masyarakat yang masih menganggap terpapar virus corona sebagai aib, sehingga tidak mau berobat ke fasilitas kesehatan.

“Rupanya kalau orang yang sakit di banyak daerah, itu masih dilihat sebagai orang ternoda, terhukum, orang yang tidak baik. Jadi kasihan orang-orang ini tidak mau di tes, tidak mau lapor, karena dia ada beban sosialnya. Sakit COVID-19 bukan aib, justru kalau ada yang sakit harus kita bantu, jangan kemudian di aib-kan, nanti justru mereka tidak mau lapor dan akhirnya terlambat masuk RS, dan itu adalah penyebab kematian yang paling tinggi,” ungkap Budi dalam telekonferensi pers di Jakarta, Senin (26/7).

Menkes Budi Gunadi Sadikin dalam Telekonferensi pers usai Ratas di Jakarta, Senin (26/7) mengatakan masih banyak masyarakat yang menganggap COVID-19 Sebagai Aib (Foto:VOA).

Maka dari itu ia meminta kepada seluruh lapisan masyarakat untuk membantu sesama apabila ada yang terpapar virus corona agar segera ditangani dengan cepat dan tepat sehingga angka kematian dan tingkat keparahan akibat COVID-19 bisa ditekan semaksimal mungkin.

Selain beban sosial dan penuhnya rumah sakit, salah satu penyebab angka kematian yang tinggi akibat COVID-19 adalah keterlambatan penanganan. Banyak pasien yang dibawa ke rumah sakit dalam keadaan saturasi oksigen dalam darah sangat rendah. Budi berpesan kepada masyarakat, apabila terpapar virus corona harus selalu memeriksa saturasi oksigen dalam darah dengan alat yang bernama oximeter. Jika saturasi dalam darah sudah di bawah 94 persen, pasien COVID-19 tersebut harus segera di bawa di rumah sakit atau tempat isolasi terpusat.

“Yang penting jangan tunggu sampai turun 70-80 persen, karena merasa sehat. Kadang-kadang orang hanya bilang saya hanya batuk kecil saya tidak mau ke RS. Yang banyak wafat karena terlambat masuk ke RS. Penyakit ini kalau di-treat lebih dini sembuh InsyaAllah. Di seluruh dunia dari 100 orang yang sakit yang masuk RS hanya 20 persen, yang wafat mungkin sekitar 1,7 persen. Lebih rendah dari TBC atau HIV. Tapi harus dirawat dengan tepat dan cepat,” jelasnya.

Seorang paramedis mendorong tangki oksigen di ruang gawat darurat sebuah rumah sakit yang penuh sesak di tengah kasus COVID-19, di Surabaya, Jawa Timur, Jumat, 9 Juli 2021. (AP)


Di sisi lain, Budi menjelaskan bahwa kapasitas tempat tidur rumah sakit secara nasional mencapai 430 ribu. Dari jumlah tersebut yang sudah terisi oleh pasien COVID-19 adalah sebanyak 82 ribu. Penurunan keterisian tempat tidur atau bed occupancy ratio (BOR) ini baru terjadi di Jakarta dan Jawa Barat. Daerah-daerah lain, seperti Jogjakarta dan Bali, masih belum menurun.

Kesalahan Strategi Penanganan Pandemi COVID-19

Ahli Epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan angka kematian yang cukup tinggi di masyarakat akibat COVID-19 merupakan dampak jangka panjang dari strategi 3T (testing, tracing, treatment) yang tidak tepat. Menurutnya, dari awal pandemi sampai detik ini testing yang dilakukan di masyarakat masih cukup rendah, apalagi data yang dilaporkan oleh pemerintah masih banyak yang tidak tercatat. Artinya angka kematian bisa lebih tinggi dari yang dilaporkan pemerintah saat ini.

Iia berharap pemerintah bisa lebih memperkuat strategi 3T di masyarakat, dan tidak henti-hentinya mengedukasi masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan serta mengajak mereja untuk menjalani vaksinasi COVID-19.

“Semua penyakit menular seperti itu. Ketika gagal di hulu, abai dalam mendeteksi, sekarang kita sudah menerima dampaknya, kematian silih berganti, karena ini bukan suatu proses sehari dua hari, proses mingguan, setidaknya tiga mingguan. Ini artinya yang harus dilakukan tentu dari pemerintah, merubah strategi testing-nya, tidak berbayar misalnya, lebih aktif, tidak musti PCR, rapid test antigen saja. Selain itu, tentu meningkatkan literasi pada penduduk supaya memang mau di tes. Dan komunikasi yang harus ditingkatkan selain tadi strategi testing dan tracingnya harus lebih massif dan agresif,” ungkap Dicky kepada VOA.

Kebutuhan Obat Terapi COVID-19 Meningkat Tajam

Budi juga mengungkapkan seiring dengan ledakan kasus COVID-19, kebutuhan obat pun meningkat sebanyak 12 kali lipat sejak 1 Juni 2021. Guna memenuhi ketersediaan obat, pemerintah pun bekerja sama dengan gabungan pengusaha farmasi untuk memperbesar kapasitas produksi dan membantu distribusinya ke seluruh apotik di Indonesia dan juga melakukan impor.

“Tapi memang dibutuhkan waktu antara 4-6 minggu, agar kapasitas produksi obat dalam negeri kita bisa memenuhi kebutuhan peningkatan obat-obatan sebanyak 12 kali lipat ini. Mudah-mudahan di awal Agustus nanti beberapa obat yang sering dicari masyarakat misalnya Azithromycin, Oseltamivir, dan Favipiravir itu sudah bisa masuk ke pasar secara signifikan,” jelasnya.

Seorang teknisi laboratorium memperlihatkan kotak obat "Remdesivir" di Eva Pharma Facility, Kairo, Mesir 25 Juni 2020. (REUTERS/Amr Abdallah Dalsh)


Selain itu, obat lain yang akan diimpor oleh pemerintah adalah Remdesivir, Actemra, dan Gammara. Ia pun meminta kepada masyarakat untuk tidak menimbun obat-obatan untuk terapi COVID-19 tersebut. Pasalnya, penimbunan obat akan berakibat kurangnya stok di pasaran.

"Kami minta tolong, biarkan obat ini dibeli oleh orang-orang yang membutuhkan, bukan dibeli sebagai stok. Kasihan teman-teman yang membutuhkan," tuturnya.

Prioritas Vaksinasi COVID-19

Budi mengakui laju vaksinasi di tanah air, sedikit melambat. Hal ini dikarenakan keterbatasan jumlah stok vaksin yang tersedia. Sampai Juni, katanya pemerintah mempunyai stok vaksin sebanyak 70 juta. Dari jumlah tersebut sebanyak 63 juta sudah disuntikan kepada masyarakat, yang mana 44,9 juta warga menerima suntikan pertama, dan 18,3 juta sudah menerima dosis lengkap.

Sekitar 3.500 pekerja dan warga di Kawasan Berikat Nusantara di Cakung, Jakarta, divaksinasi tanggal 1 Juli lalu ketika pemerintah menggiatkan vaksinasi warga. (Courtesy: BNPB)

“Kenapa tidak bisa lebih cepat? Karena memang jumlah vaksinnya cuma segitu. Kita di Juli akan datang hampir 30 juta dosis, dan Insya Allah Agustus 45 juta dosis, Tapi angka ini setiap hari berubah, Sampai akhir Juli akan datang sekitar 8 juta vaksin Sinovac, dan 4 juta vaksin AstraZeneca. Di Agustus kita akan kedatangan sekitar 45 juta vaksin terdiri dari Sinovac, AstraZeneca, Moderna dan Pfizer,” kata Budi.

Ke depan, katanya, pemerintah akan memprioritaskan vaksinasi berbasis risiko seperti mendistribusikan vaksin corona ke daerah yang mempunyai angka kasus aktif COVID-19 yang cukup tinggi yakni Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, serta Bali.

“Kita juga akan memprioritaskan orang yang risiko tinggi wafat, yakni lansia dan yang mempunyai komorbid, itu yang harus kita utamakan. Bukan berarti kita tidak mau suntikan ke yang lain, tapi kalau kita lihat yang wafat di RS, itu adalah orang-orang seperti ini. Kita lindungi mereka dahulu,” tuturnya. [gi/ab]