Dalam kunjungannya ke Kuwait, Menteri Luar Negeri Amerika Anthony Blinken bertemu para pejabat senior negara kecil yang kaya minyak tersebut. Kepada wartawan, Blinken mengatakan, mereka membahas relokasi sementara penerjemah dan pekerja Afghanistan, bersama keluarga mereka, ke negara di Teluk Arab tersebut.
Dalam jumpa pers bersama mitranya, Menteri Luar Negeri Kuwait Ahmed Nasser Al Mohammed Al Sabah, Menteri Blinken mengatakan, “Amerika berkomitmen membantu mereka yang telah membantu kami selama kami berada di Afghanistan, lebih dari 20 tahun terakhir. Dan sungguh, orang-orang Afghanistan yang sangat berani ini bekerja bersama kami, dengan tentara kami, dengan diplomat kami, umumnya sebagai penerjemah, dan juru bahasa. Karenanya, jasa mereka, memungkinkan mereka mendapat visa untuk tinggal di Amerika. Kami secara aktif terlibat dalam proses itu dan terutama dalam rencana relokasi bagi orang-orang Afghanistan yang berani itu bersama keluarga mereka. Itulah topik yang muncul hari ini dan dibahas dalam pembicaraan dengan sejumlah sekutu dan mitra lainnya."
BACA JUGA: Menlu AS Kunjung Kuwait untuk Perkokoh HubunganSementara pasukan Amerika menuntaskan operasi mereka untuk keluar dari Afghanistan, pemerintahan Biden mendapat tekanan kuat untuk segera mengevakuasi warga Afghanistan yang selama 20 tahun ini membantu pasukan Amerika dalam perang di sana dan sekarang menghadapi risiko pembalasan oleh Taliban. Tetapi belum ada kesepakatan yang disampaikan.
Dalam kesempatan itu, Blinken juga memperingatkan Iran bahwa negosiasi yang mandek di Wina, Austria, tentang kesepakatan nuklir negara itu dengan enam negara kuat dunia, "tidak bisa berlangsung terus." Ia menyampaikan itu di tengah meningkatnya ketegangan atas pembicaraan nuklir tersebut.
"Menurut saya, kami telah dengan jelas menunjukkan itikad baik dan keinginan kami untuk kembali mematuhi kesepakatan nuklir itu, dengan JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action) atau Rencana Aksi Komprehensif Gabungan. Jadi, faktanya, Iranlah yang harus membuat keputusan itu, keputusan mendasar tentang apakah Iran juga ingin kembali mematuhi kesepakatan tersebut. Pengelakan seperti apapun tidak ada yang mampu mengubah fakta dasar itu. Bola tetap berada di tangan Iran. Kita akan lihat apakah mereka siap membuat keputusan yang dibutuhkan untuk kembali mematuhi kesepakatan itu. Kami berkomitmen untuk diplomasi, tetapi proses ini tidak dapat berlangsung tanpa batas," tambah Blinken.
Presiden Donald Trump menarik Amerika keluar dari pakta nuklir tersebut. Pembicaraan tidak langsung antara Iran dan Amerika untuk menghidupkan lagi pakta itu, ditangguhkan pada 20 Juni, dua hari setelah ulama garis keras Ebrahim Raisi terpilih sebagai presiden Republik Islam Iran. Raisi akan mulai menjabat pada 5 Agustus.
Pihak-pihak yang terlibat negosiasi itu belum mengatakan kapan mereka akan melanjutkan negosiasi.
Sementara itu Menteri Luar Negeri Kuwait Ahmed Nasser Al Mohammed Al Sabah tampaknya menolak gagasan bergabung dalam "Abraham Accord atau Kesepakatan Ibrahim" yang membuat Uni Emirat Arab dan Bahrain mengakui Israel. Ia mengingatkan bahwa selama 73 tahun ini rakyat Palestina menderita dalam perjuangan mewujudkan negara sendiri.
"Kami berterima kasih kepada pemerintah Amerika yang telah berkomitmen pada proses perdamaian ini, dengan menghidupkan kembali proses politik ini. Pada akhir Mei lalu, kita berada pada saat-saat yang mengerikan dengan semua eskalasi kekerasan di Gaza," kata Menlu Sheikh Ahmed Al Sabah.
Your browser doesn’t support HTML5
Sheikh Ahmed mengatakan, "Satu-satunya solusi yang pas untuk Israel dan Palestina adalah solusi dua negara." Jika kita tidak lagi berfokus pada mengupayakan solusi itu, kata Sheikh Ahmed, maka wilayah itu akan dihadapkan pada tantangan, atau malah terjerumus ke kekacauan. [ka/jm]