Menlu: Diskriminasi terhadap Perempuan Saat Pandemi Covid-19 Harus Dicegah

  • Fathiyah Wardah

Para aktivis hak-hak perempuan mengikuti pawai Hari Perempuan Internasional di Jakarta, 8 Maret 2020. (Foto: ilustrasi)

Menlu RI Retno Marsudi dalam konferensi pers virtual dengan 8 Menlu perempuan baru-baru ini menyatakan perlu mencegah diskriminasi terhadap perempuan saat pandemi Covid-19, baik dari sisi ekonomi, akses terhadap layanan kesehatan, akses terhadap stimulus-stimulus oleh pemerintah dan sebagainya.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi baru-baru ini melakukan pertemuan secara virtual melalui telekonferensi video dengan dua kelompok, salah satunya adalah dengan delapan menteri luar negeri perempuan. Tema yang dibahas adalah Perempuan dan Covid-19.

Delapan menteri luar negeri perempuan yang ikut dalam telekonferensi itu adalah : Marise Payne (Australia), Alexandra Hill Tinoco (El Salvador), Kamina Johnson-Smith (Jamaika), Raychelle Omamo (Kenya), Claudia Blum (Kolombia), Kang Kyung-wha (Korea Selatan), Maria Arancha Gonzalez Laya (Spanyol) dan Ann Linde (Swedia).

Dalam pertemuan itu dipaparkan bahwa diskriminasi terhadap kaum perempuan yang terjadi selama masa normal, kini juga terjadi dalam masa pandemi Covid-19. Bahkan ditengarai kondisinya kini lebih buruk lagi.

Menlu RI Retno Marsudi (courtesy: Kemlu RI)

Oleh karena itu, Retno menegaskan perlu mencegah diskriminasi terhadap perempuan saat pandemi Covid-19 terjadi, baik dari sisi ekonomi, akses terhadap layanan kesehatan, akses terhadap stimulus-stimulus yang diberikan oleh pemerintah dan sebagainya.

Retno juga menyerukan untuk memberdayakan kaum perempuan agar dapat berperan dalam upaya bersama memberantas Covid-19, sekaligus menghidupkan kegiatan perekonomian. Berdasarkan data dari UNFPA (Organisasi kependudukan PBB) dan UN Women, peran perempuan dalam melawan Covid-19 sangat signifikan.

BACA JUGA: Survei SMRC: 77% Warga Menilai Corona Ancam Penghasilan

70 Persen Tenaga Medis Dunia adalah Perempuan

Diketahui bahwa 70 persen tenaga medis global adalah perempuan, 64 persen dari total pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia adalah perempuan, dan 60 persen UMKM di Indonesia yang memproduksi cairan pembersih tangan, baju hazmat, dan masker dimiliki oleh perempuan.

Oleh karena itu para menteri luar negeri perempuan itu berniat mengusulkan sebuah resolusi di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang peran strategis perempuan dalam melawan pandemi ini.

Para perempuan petugas medis mengenakan jas hujan sekali pakai saat pandemi Covid-19 di Aceh. Sekitar 70% petugas medis adalah perempuan (Foto.: Antara)

Kapal Perempuan Catat Kuatnya Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Masa Perebakan Covid-19

Direktur Organisasi Kapal Perempuan Misiyah membenarnya semakin kuatnya diskriminasi terhadap perempuan dalam masa perebakan Covid-19 ini. Menurutnya, potensi beban ganda dan kekerasan juga sangat mungkin terjadi pada perempuan.

Ia mencontohkan perempuan yang biasanya dibebankan pada pekerjaan rumah, maka dalam situasi social distancing ini perempuan mempunyai beban yang lebih berat karena harus menambah pekerjaan seperti mengajari belajar anak di rumah. Selain itu persoalan seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Bisa dibayangkan ketika KDRT terjadi, kemudian layanan rumah aman semua tutup, dilakukannya secara online, ujar Misi. Ini artinya perempuan tidak bisa mengakses layanan penanganan kekerasan karena dia ada di dalam lingkup pelakunya.

BACA JUGA: Terkait Corona, Kelompok Rentan Harus Lebih Diperhatikan

Menurutnya layanan kesehatan bagi perempuan di masa Covid-19 ini juga terganggu. Laporan yang diterima Kapal Perempuan, lanjutnya menjelaskan kasus di salah satu kelurahan di Padang. Dengan tutupnya Puskesmas, menyebabkan ibu hamil yang mau memeriksakan kandungannya mengalami kesulitan.

Misiyah mengatakan lembaganya tidak mendata semua daerah tapi ia ingin memberikan ilustrasi kasus yang memang kejadian. Dimungkinkan kejadian-kejadian seperti ini tambahnya bisa saja terjadi di tempat lain. Selain di Padang, kasus serupa juga terjadi di salah satu desa di Gresik.

Perempuan Sedianya Terlibat dalam Pengambilan Kebijakan

Lebih lanjut Misiyah mengungkapkan keterlibatan atau keikutsertaan perempuan dalam pengambilan keputusan di masa wabah corona ini juga sangat minim.

“Tidak serta merta perempuan itu bisa masuk ke dalam gugus tugas. Kalau yang di Gresik, berdasarkan data tim kami, justeru lebih banyak melibatkan tokoh-tokoh masyarakat yang itu adalah laki-laki. Bisa dihitung dengan jari berapa perempuan yang sudah berjaya dan berani memulai sadar bahwa dia harus masuk ke dalam gugus tugas itu dalam rangka pengambilan keputusan," keluhnya.

Your browser doesn’t support HTML5

Menlu: Diskriminasi terhadap Perempuan Saat Pandemi Covid-19 Harus Dicegah


"Ketidakhadiran perempuan dalam pengambilan keputusan di masa kebencanaan ini menyebabkan gugus tugas tidak bisa sensitif atau peka terhadap masalah-masalah berkaitan terhadap perempuan yang mungkin terjadi pada masa pandemi, tertutupnya akses perempuan pada layanan kesehatan, layanan-layanan sosial dan masalah lainnya," tambah Misi.

Oleh karena itu pemberdayaan perempuan merupakan suatu keniscayaan, dan semuanya terintegrasi ke dalam pemberdaayaan kesetaraan gender di dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan. [fw/em]