Menlu Indonesia Desak Dialog Mengenai Laut China Selatan

  • Kate Lamb

Menteri Luar Neger Marty Natalegawa menekankan pentingnya pemberlakuan pedoman perilaku di Laut China Selatan. (Foto: Dok)

Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa mendesak dilakukannya lebih banyak dialog untuk menyelesaikan konflik Laut China Selatan.
Setelah setahun ketegangan yang melibatkan sengketa teritorial maritim di Asia, Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa menekankan pentingnya melakukan lebih banyak lagi dialog - terutama karena transisi politik baru-baru ini di Washington dan Beijing, serta kemungkinan pemerintahan baru di Seoul dan Tokyo.

Setelah ASEAN gagal mencapai konsensus secara luas mengenai kerangka kerja penyelesaian sengketa di Laut China Selatan, negara-negara di kawasan ini telah mengadopsi kebijakan mereka sendiri untuk mengatasi ketidakpastian tersebut.

Provinsi Hainan di Tiongkok baru-baru ini mengumumkan akan mengizinkan penghentian kapal-kapal asing di wilayah yang diperebutkan. Tiongkok juga menciptakan kontroversi ketika mengeluarkan paspor dengan peta yang mencakup wilayah yang disengketakan sebagai kawasan Tiongkok.

Langkah-langkah yang diambil Tiongkok itu mengundang reaksi keras dari Vietnam dan Filipina dan sekarang India juga terlibat.

Angkatan Laut India telah menyatakan pihaknya siap untuk membela kepentingan minyaknya di Laut Cina Selatan dari serangan Tiongkok.

Seorang mediator penting dalam adu kekuatan maritim ini, Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa, mengatakan bahwa saat ini sangat krusial memberlakukan serangkaian pedoman perilaku.

"Kami melihat banyak transisi politik di ibukota-ibukota di kawasan kami. Amerika telah melalui masa transisi politik, begitupun di Tiongkok. Dan dalam waktu dekat, Jepang akan menyelenggarakan pemilu, seperti juga Korea Selatan. Ketidakpastian itu tidak hanya menjadi kekhawatiran antar negara, tetapi juga menjadi kekhawatiran warganya. Jadi kita perlu memiliki sejenis kepastian, patokan tertentu, sebuah kode perilaku agar kita dapat mengatasi masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama di wilayah ini,” ujar Marty.

Marty telah secara konsisten menggerakkan para pemimpin kawasan untuk menyetujui pemberlakuan kode perilaku.

Namun, ketika usul itu ditolak dalam KTT ASEAN November lalu, kalangan analis mengatakan Indonesia tampaknya terlalu yakin akan pengaruh diplomatiknya.

Sementara menyadari bahwa pembicaraan tentang norma-norma dan pedoman telah menyebabkan beberapa tindakan unilateral di darat dan di laut, Menlu Marty mengatakan ia yakin mengenai masa depan kawasan tersebut.

Ia berpendapat bahwa stabilitas regional dalam beberapa dekade ini telah menghasilkan keuntungan ekonomi yang jelas. Satu hal yang harus dipertahankan semua pihak.

Tapi Aleksius Jemadu, dekan urusan global di Universitas Pelita Harapan, Jakarta, mengatakan bahwa meyakinkan Tiongkok bukanlah tugas yang mudah.

"Masalahnya adalah, apakah Tiongkok dapat dibujuk untuk mengambil bagian atau dapat berkomitmen , sementara mereka menekankan kepentingan strategis, itulah masalahnya. Pertama adalah mengenai kepentingan strategis; kelanjutan dari ketahanan energi bagi Tiongkok. Kedua adalah mengenai integritas territorial. Ketiga adalah mengenai kebanggaan sebagai negara adidaya baru, Tiongkok tidak akan mau diganggu lagi oleh negara-negara besar lainnya,” ujar Jemadu.

Anggota ASEAN lain -- Vietnam, Brunei, Malaysia, Taiwan, dan Filipina, semuanya mengklaim beberapa bagian dari laut yang kaya energi itu. Tapi Tiongkok bertahan bahwa negaranya memiliki kedaulatan atas hampir seluruh laut itu.

Selain sebagai kawasan yang punya jalur-jalur pelayaran tersibuk di dunia, Laut China Selatan juga diyakini kaya minyak dan gas.