Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyatakan politik luar negeri Indonesia tidak pernah mengajarkan permusuhan dan menempatkan kepentingan nasional di atas segalanya. Meski kompetisi dan persaingan antara China dan Amerika makin meruncing kata Retno, semua pihak berharap tidak akan menjadi konflik terbuka.
Dalam diskusi mengenai Arah Kebijakan Luar Negeri yang digelar secara virtual oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, Selasa (14/9), Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menjelaskan dalam dua dasawarsa terakhir terjadi pergeseran pusat kekuatan dunia ke Asia.
Indikatornya adalah Asia Timur telah menjadi pusat ekonomi dunia. Produk domestik bruto (PDB) negara-negara Asia Timur secara keseluruhan sudah melewati kawasan Amerika Utara.
BACA JUGA: Buntu dalam Hubungan, Biden dan Xi Bahas Hindari KonflikRetno menambahkan China diprediksi akan menggeser Amerika Serikat sebagai kekuatan ekonomi terbesar dunia pada 2035 atau mungkin dapat lebih cepat lagi.
Ia pun mengutip analisa yang dikeluarkan oleh lembaga Price Waterhouse Cooper, yang menyatakan bahwa tujuh negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat yang akan mendominasi sepuluh besar perekonomian dunia pada 2050 nanti mencakup empat negara Asia yakni China, India, Indonesia dan Jepang. Ditambahkannya, 50 persen PDB dunia akan berasal dari kawasan Asia, sedangkan porsi PDB negara-negara Barat akan jauh berkurang.
Dari perspektif Barat, lanjut Retno, kebangkitan Asia ini sering dilihat sebagai kebangkitan China. Cara pandang ini akan berdampak yang sangat besar di kawasan dan dunia.
Politik Luar Negeri Bebas Aktif Dinilai Masih Relevan
Retno menekankan pergeseran kekuatan dunia berpotensi meningkatkan ancaman konflik. Apalagi jika kekuatan baru yang muncul dianggap mengancam kekuatan yang ada. Meskipun persaingan di antara China dan Amerika makin meruncing, semua pihak berharap tidak akan menjadi konflik terbuka.
"Jadi harapan kita konflik terbuka tidak terjadi. Karena konflik terbuka selalu mahal harganya dan hanya akan membawa kerusakan bagi semua pihak yang terlibat. Dan mungkin yang tidak terlibat pun ikut menanggung akibatnya," kata Retno.
BACA JUGA: Dorong Pembelajaran Politik Luar Negeri, Kemlu dan Kemendikbud Luncurkan BukuDunia berharap rem untuk mencegah terjadinya konflik terbuka antara China dan Amerika masih berfungsi dan akan terus difungsikan. Karena itulah menurut Retno, diperlukan sebuah ekosistem dunia yang dapat mencegah terjadinya konflik terbuka antara China dan Amerika.
Retno mengatakan Indonesia dan semua negara ASEAN harus berupaya supaya kawasan Asia Tenggara dan Indo Pasifik tidak dijadikan lokasi rivalitas antara Amerika dan China. ASEAN harus menjadi organisasi yang relevan bagi masyarakat ASEAN dan dunia. Kesatuan dan sentralitas ASEAN harus terus diupayakan dan dipertahankan.
Dalam kesempatan itu Retno kembali menggarisbawahi relevansi politik luar negeri bebas aktif, dan membantah anggapan bahwa hal itu merupakan ketakutan pemerintah merespons isu rivalitas Amerika-China.
Indonesia Harus Lebih Aktif
Mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, yang juga hadir dalam acara itu, justru menunjukkan konsistensi dalam kebijakan politik luar negeri bebas aktif saat ini, meski ada kelemahannya. Menurut Hassan, Indonesia sudah teruji bebas menentukan sikap berdasarkan kepentingan nasional. Indonesia adalah negara yang mampu mengatakan tidak dan oleh sebagian negara posisi ini dihargai.
"Tapi kita juga mungkin harus lebih aktif sekarang. Aktif tidak hanya dalam proses dan prosedur tetapi lebih aktif dalam menyumbang pikir, konsep, dan ide. Itu sangat penting dalam diplomasi," ujar Hassan.
Pakar politik Dewi Fortuna Anwar menilai dalam tataran normatif, Indonesia memiliki modal yang cukup dalam melaksanakan politik luar negeri bebas aktif dan sekaligus menggunakannya untuk menjalin relasi dengan negara-negara lain. Ia mengakui bahwa di jaman Soekarno, terjadi pelanggaran prinsip politik luar negeri bebas aktif karena Indonesia lebih dekat ke kiri. Sedangkan di era Soeharto Indonesia lebih cenderung ke kanan. Sekarang ini, Indonesia harus pintar memainkan politik luar negeri yang bisa menjembatani antara Amerika dan China.
BACA JUGA: Pertama Kali, Indonesia Jabat Presidensi G20 Mulai 1 Desember"Antara ide dengan kemampuan riil. ini yang mungkin kita bermasalah. Kita kaya dengan ide, mampu menjalankan ide-ide tersebut, tetapi pada tingkat fungsional, kita masih kurang. Karena kapasitas kita masih kurang memadai," tutur Dewi.
Indonesia memiliki kantor perwakilan diplomatik di banyak negara, namun menurut Dewi yang harus dipastikan adalah apakah keberadaan perwakilan-perwakilan diplomatik itu mampu melaksanakan diplomasi yang lebih riil untuk kepentingan nasional. Ini yang selalu menjadi dilema dalam politik luar negeri Indonesia tukasnya.
BACA JUGA: Kunjungi AS, Menlu Retno Dapat Komitmen Bantuan Senilai Rp1,1 TriliunKritik di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, lanjut Dewi, adalah Indonesia hanya menekankan kepada diplomasi ekonomi, sehingga ini menjadikan politik luar negeri yang transaksional. Juga bahwa Indonesia sering terlalu cepat menandatangani komitmen tapi kurang ada tindak lanjut. Atau munculnya perselisihan di dalam negeri, misalnya soal perjanjian perdagangan bebas antara China dan ASEAN yang memicu penolakan di dalam negeri.
Dewi menyarankan jika Indonesia ingin lebih mendapat manfaat dari kerjasama dengan negara lain, maka harus memperkuat modal di dalam negeri sehingga mendapat dukungan dan bermanfaat bagi konstituen domestik. [fw/em]