Kongres Ulama Perempuan Indonesia : Menolak Eksistensi Ulama Perempuan adalah Tidak Adil

Seminar Nasional “Peran Ulama Perempuan dalam Meneguhkan Nilai Keislaman, Kebangsaan, dan Kemanusiaan” dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Rabu (26/4) di Pesantren Pondok Jambu Babakan Ciwaringi Cirebon Jawa Barat

Ulama perempuan bertugas untuk mengembangkan konsep dakwah yang memuliakan perempuan dan laki-laki tanpa diskriminasi, dan pembebasan perempuan dari berbagai bentuk ketidakadilan, serta bentuk dakwah yang bertujuan mempengaruhi kebijakan agar negara dapat memenuhi hak-hak perempuan.

Ketua Pengurus Pusat Aisyiah Siti Aisyah dalam Seminar Nasional “Peran Ulama Perempuan dalam Meneguhkan Nilai Keislaman, Kebangsaan, dan Kemanusiaan” dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Rabu (26/4) di Pesantren Pondok Jambu Babakan Ciwaringi Cirebon Jawa Barat, berpendapat, etika kita turun ke komunitas, maka dakwahnya atau ayat-ayat di sampaikan harus tentang pemberdayaan dan pembebasan,” demikian Aisyah menuturkan pentingnya ulama perempuan untuk menghapus persoalan seperti nikah di bawah umur, nikah siri, keharusan pencatatatan atas perceraian dan isu-isu lainnya agar jelas posisi pemihakan terhadap perempuan.

Di tengah menguatnya intoleransi di mana masyarakat mudah menerima ajaran radikalisme yang dibungkus agama, menurut Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof. Dr. Machasin, ulama perempuan lebih punya kesempatan di keluarga dan masyarakat untuk meluruskan situasi tersebut.

“Ulama perempuan perlu memberikan pemahaman terhadap perempuan bahwa tidak semua yang dibungkus agama itu baik dan benar. Jangan melihat segala sesuatu dari bungkusnya atau tampilan luarnya saja,” kata Machasin.

KH. Husein Muhammad mengingatkan pentingnya peran ulama perempuan yang selama ini mengamalkan agama untuk membebaskan manusia dari penindasan, penzaliman dan kebodohan menuju cahaya, ila nur. Itulah konsep al-ulama waratsatul anbiya, ulama mewarisi perjuangan para nabi.

“Aku tidak mengutus engkau Muhammad selain membawa kasih kepada manusia. Kehadiran Islam harus menciptakan hubungan saling mengasihi antarmanusia,” tutur Ketua Yayasan Fahmina Cirebon ini.

Sebagaimana Nabi Muhammad meluruskan budi pekerti agar menjadi luhur, maka konsep Akhlakul Karimah itu sama dengan penegakan HAM. “Kita tegakkan akhlak dalam rangka menghidupkan HAM, nilai-nilai kemanusiaan melalui intelektualitas, moralitas dan spiritualitas,” sambung kyai yang pernah menjadi Komisioner di Komnas Perempuan ini.

Kyai Husein Muhammad menambahkan, keadilan adalah esensi kehidupan semesta ini. Ia mengajak semua pihak agar melihat dengan jujur bahwa perempuan memiliki potensi besar untuk mengubah dunia.

“Jika kita masih terus mengabaikan fakta perempuan itu setara dengan laki-laki, dan bila kita menolak eksistensi ulama perempuan, maka sesungguhnya kita sedang melakukan ketidakadilan,” Kyai Husein Muhammad menutup presentasinya.​ [aw/as]