Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin akhirnya duduk di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, sebagai saksi kasus korupsi pada Rabu (26/6). Jaksa KPK mencecarnya terkait rekaman telepon pengisian jabatan dan uang Rp 180 juta dan $30 ribu atau sekitar Rp 424 juta di lacinya.
Lukman berupaya membela diri agar tidak dikaitkan dalam pusaran kasus korupsi Romahurmuziy, mantan Ketua Umum PPP. Namun, banyak fakta persidangan justru memperkuat dugaan ke arah itu.
Peneliti dari Pusat Studi Anti (Pukat) Korupsi, Universitas Gadjah Mada, Yuris Rezha Kurniawan mengaku, ada asas praduga tak bersalah atas peran seseorang dalam kasus hukum. Namun, perjalanan persidangan kasus korupsi, mengindikasikan ada dugaan tiga menteri ada di pusaran kasus korupsi. Ketiganya adalah Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, dan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita.
“Meski ada asas praduga tak bersalah, kami juga punya catatan, semua menteri yang disebut ini dugaannya sudah cukup kuat. Ada yang sudah disampaikan dalam kesaksian di persidangan, ada yang disebut oleh penyidik dan jaksa KPK. Artinya, dugaan ini memang sangat kuat meskipun belum terjerat,” ujar Yuris.
BACA JUGA: Jokowi Serahkan Kasus Dugaan Korupsi di Kemenag ke KPKSelain Lukman, nama Imam Nahrowi juga muncul dalam sidang perkara dugaan suap dana hibah Komite Olahraga Nasional (KONI). Di depan pengadilan, sejumlah pihak mengakui ada aliran dana miliaran rupiah kepada sang menteri.
Pengacara Imam pun menolak dugaan itu dalam berbagai kesempatan. Sedangkan Enggartiasto Lukita diduga terlibat dalam kasus suap dan gratifikasi politikus Partai Golkar Bowo Sidik Pangarso. Penyidik bahkan sudah menggeledah dan mengamankan sejumlah dokumen di rumah Enggartiasto terkait perdagangan gularafinasi.
Mengundurkan Diri, Mungkinkah?
Mengundurkan diri dari jabatan ketika namanya disebut-sebut dalam sebuah kasus korupsi, belum menjadi kebiasaan dalam birokrasi Indonesia. Tetapi menurut Yuris, perkembangan kasus-kasus yang diduga melibatkan menteri-menteri itu, seharusnya disikapi lebih bijak. Pada sisi yang lain, Presiden Jokowi juga bisa bersikap lebih tegas, dengan meminta bawahannya itu undur diri.
“Ini untuk memperlancar proses hukum. Lalu, bisa menjadi kesempatan bagi presiden untuk menunjukkan bahwa dia tidak main-main dalam pemberantasan korupsi. Juga bisa menjadi bahan evaluasi. Karena sudah ditetapkan MK, dan Jokowi terpiilih lagi, kasus ini bisa menjadi bahan evaluasi untuk memilih menteri nanti di periode kedua,” kata Yuris.
Yuris berharap masa jabatan Kabinet Indonesia Bersatu berakhir dengan manis. Jika kasus menyangkut 3 nama menteri ini terus bergulir, bukan tidak mungkin yang terjadi Oktober nanti justru sebaliknya. Karena itulah, mundur merupakan pilihan bijak bagi ketiganya, agar pusaran kasus korupsi ini tidak mengganggu pencapaian Kabinet Jokowi-Kalla.
Your browser doesn’t support HTML5
Pesimisme juga datang dari aktivis Jogja Corruption Watch (JCW), Baharuddin Kamba. Dihubungi terpisah oleh VOA, Baharuddin Kamba mengatakan, birokrat Indonesia belum memiliki tradisi semacam itu.
“Ya sangat sulit. Tidak hanya sekelas menteri untuk mundur ketika disebut dalam pusaran dugaan kasus korupsi, di tingkat kepala desa saja, ketika diduga melakukan tindak pidana korupsi pun enggan untuk mengundurkan diri. Kekuasaan itu akan dipertahankan meski ada tuntutan dari masyarakat untuk mengundurkan diri,” kata Baharuddin Kamba.
Menurut Baharuddin Kamba, berdasarkan fakta di persidangan, khusus untuk dugaan keterlibatan Menteri Lukman, semestinya KPK bertindak lebih cepat.
“Ketika ada keyakinan yang kuat dari KPK untuk menjerat Menteri Lukman, seharusnya dilakukan saja. Jangan sampai jadi tarik-ulur. Saya harap sebelum kabinet ini berakhir pada Oktober, proses hukum bisa dijalankan,” tambah Kamba.
Evaluasi Menteri dari Partai
Dalam sejarahnya, Kabinet Indonesia Bersatu pecah telor ketika Idrus Marham ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Seperti Idrus, tiga nama yang disebut-sebut dalam pusaran kasus korupsi saat ini juga berasal dari partai politik.
Menurut Kamba, fakta itu bisa seharusnya memperoleh perhatian khusus. Jokowi harus lebih tegas kepada partai politik yang mengajukan nama menteri untuk masa jabatan keduanya nanti. Meski begitu, Kamba mengakui, bukan hal yang mudah bagi Jokowi mengingat peran besar partai-partai untuk kemenangannya di periode kedua.
Jokowi harus benar-benar menyelidiki rekam jejak calon-calon menteri yang diusulkan partai. Selain itu, komitmen mereka dalam pemberantasan korupsi juga harus menjadi perhatian.
Yuris Rezha Kurniawan dari Pukat Korupsi UGM juga menilai, ada yang bisa diambil sebagai pelajaran terkait menteri dari partai dan korupsi. Yuris mendesak adanya transparansi pengelolaan keuangan partai, karena bisa jadi menteri melakukan korupsi untuk memenuhi kebutuhan pendanaan partai. [ns/lt]