Menunggu Langkah Panut, Kembalikan UGM Menjadi Panutan

  • Nurhadi Sucahyo

Aliansi Mahasiswa UGM punya cara khusus mengucapkan selamat ulang tahun untuk kampus mereka. (Foto:VOA/ Nurhadi)

Kasus kekerasan seksual yang berulang, menjadi pelajaran pahit bagi UGM. Universitas ini merespon dengan berencana mengeluarkan aturan khusus untuk menekannya. Sayang, rencana itu berjalan lambat, dan sebagian mahasiswa semakin tidak sabar.

Meski tetap berusaha bicara dengan senyum, kekecewaan mendalam tidak bisa disembunyikan oleh Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Panut Mulyono. Ketika bertemu sejumlah mahasiswa, dia mempertanyakan sikap tidak sopan dan berbudaya yang terbaca di laman media sosial.

“Anda itu UGM, lho. UGM itu sifatnya sopan santun. Tidak menghina. Tahu mana yang baik dan buruk. Saya, yang kecewa dengan Anda adalah menghina nama saya. Itu betul-betul bertolak belakang dengan nilai-nilai ke-UGM-an. Sebagai guru, kewajiban saya adalah mengingatkan Anda, bahwa Anda anak UGM,” ujar Panut.

Yang dimaksud Panut dengan menghina namanya, adalah tagar di media sosial yang menjadi topik tren di Indonesia pada Selasa (17/12), yaitu #UGMBohongLagi dan #bukanPANUTanku. Disebut bukan panutan, bagi Panut yang seorang dosen sekaligus rektor, menjadi persoalan serius.

Your browser doesn’t support HTML5

Menunggu Langkah Panut, Kembalikan UGM Menjadi Panutan

Oki, salah satu perwakilan mahasiswa yang turut bertemu Panut menyebut, kawan-kawan mereka sudah lelah menunggu.

“Bapak juga harus mendidik kami dengan kejujuran. Teman-teman yang sekarang ada di luar, kami semua ini sudah lelah menunggu berbulan-bulan. Mungkin Bapak bisa memberi estimasi, kapan aturan ini bisa disahkan,” ujar Oki.

Tagar soal kebohonan itu memang punya dasar. Ketika mahasiswa menggelar aksi demo pada 13 November lalu, pihak rektorat berjanji aturan soal pencegahan dan penindakan kekerasan seksual akan disahkan maksimal dalam satu bulan, atau 13 Desember. Janji itu tidak dapat dipenuhi.

Untuk membuka komunikasi, Panut kemudian keluar dari ruangan dan menemui mahasiswa yang telah menggelar selama dua jam di kampus pada Kamis, 19 Desember 2019.

Aturan yang Tak Kunjung Disahkan

Tepat ketika UGM memperingati usia 70 tahun, sekitar seratus mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa UGM menggelar aksi demo di tangga masuk gedung Grha Sabha Pramana. Di dalam gedung, ratusan undangan termasuk mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, sedang mengikuti peringatan hari lahir UGM, 19 Desember.

“Sahkan aturan..., sahkan aturan..., sahkan aturan sekarang juga...,” teriak para mahasiswa.

Aksi mahasiswa UGM, menjadikan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus sebagai isu utama. (Foto:VOA/ Nurhadi)

Aturan yang mereka minta untuk segera disahkan adalah Peraturan Rektor tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. UGM sendiri memiliki sejumlah kasus terkait kekerasan seksual, baik dilakukan dosen kepada mahasiswa maupun antar mahasiswa. Pengalaman menunjukkan, selama ini penyelesaian terhadap kasus semacam ini tidak tuntas dan tidak berpihak pada korban. Mahasiswa, dalam aksinya meminta, UGM segera memiliki aturan internal yang berpihak pada korban.

Turno, humas Aliansi Mahasiswa UGM mengatakan, kampanye yang mereka tekankan adalah bahwa satu korban sudah terlalu banyak. Karena itu, dalam melihat nilai penting aturan ini, tidak perlu lagi menunggu munculnya kasus atau korban baru.

“Cukuplah yang kemarin sudah menjadi pembelajaran, bahwasannya pada kasus itu penanganannya tidak maksimal. Penanganannya justru merugikan korban. Maka dari itu butuh sistem untuk menangani kekerasan seksual,” ujar Turno.

Bukan hanya soal pencegahan, aliansi juga menekankan langkah rehabilitatif. Semua ini, kata Turno untuk memberi jaminan bagi setiap sivitas akademika UGM, merasa aman di lingkungan kampus.

Gelombang tuntutan ini menyeruak sejak kasus kekerasan seksual terhadap mahasiswi yang diberi nama samaran Agni. Sebuah laporan di media mahasiswa Balairung pada November 2018, membuka mata semua pihak. Agni diketahui menjadi korban dari sesama mahasiswa UGM, ketika mengikuti program KKN di Maluku pada Juni 2017. Kasus ini berakhir mengecewakan. Tidak ada proses hukum, dan tidak ada sanksi akademik yang cukup bagi pelaku. Beberapa waktu sebelumnya, seorang dosen juga dikabarkan melakukan kekerasan seksual terhadap mahasiswi.

BACA JUGA: Agni: Nyala Api Bagi Perempuan Korban Kekerasan Seksual

UGM mengaku sudah bertindak. Bambang Agus Kironoto, Wakil Rektor Bidang SDM dan Aset memastikan itu.

“Saya sudah beberapa kali memberhentikan. Bahkan tidak hanya tenaga kependidikan, dosenpun, PNS, doktor, mohon maaf terpaksa kami berhentikan melakukan kekerasan seksual,” ujar Bambang di depan mahasiswa yang berdemo.

Hindari Tumpang Tindih

Sejak kasus Agni terungkap pada November 2018, berada di bawah tekanan publik untuk bertindak. Beriring dengan proses di kepolisian yang kemudian berhenti, UGM membentuk tim internal menyusun Rancangan Peraturan Rektor tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Setelah bekerja selama enam bulan, tim kemudian menyerahkan laporan sebagai draft rumusan kebijakan.

“Rancangan Peraturan Rektor ini disusun selama kurang lebih enam bulan, melalui proses diskusi internal, workshop dengan berbagai pakar, dan pembahasan kritis dengan perwakilan mahasiswa serta masukan dari Jaringan Perempuan Yogyakarta,”kata Muhajir Muhammad Darwin, ketua tim perumus kebijakan, ketika menyerahkan hasil kerjanya 29 Mei 2019.

Mahasiswa menganggap penyusunan peraturan rektor yang memakan waktu setahun terlalu lama. (Foto:VOA/ Nurhadi)

Pakar terlibat dalam penyusunannya meliputi Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), akademisi dari Universitas Indonesia, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dan Universitas Sebelas Maret, serta Manajemen Etik dan Penguatan Integritas (MEPI) UGM. Secara substantif, ada tujuh ruang lingkup yang diatur, yaitu jenis kekerasan seksual, sistem pelayanan terpadu, pelayanan korban penanganan korban, penanganan pelaku, kelembagaan, dan pendanaan. Tim juga mendorong UGM membentuk Unit Pelayanan Terpadu, Gender Focal Point, dan Komite Etik Penanganan Kekerasan Seksual.

Tetapi rumusan itu teryata harus dikaji rektorat. Bambang Agus Kironoto memberi contoh dua hal yang membutuhkan waktu dalam pengkajiannya. Pertama, rumusan itu tidak bisa tumpang tindih dengan aturan yang sudah ada, misalnya PP 53 2010 yang juga mengatur sanksi bagi ASN. Selain itu, tim merekomendasikan pembentukan tim khusus penanganan kekerasan seksual. Padahal pemerintah menekan birokrat untuk menyederhanakan struktur.

UGM membutuhkan waktu sejak Mei hingga November 2019, untuk membahas hal-hal semacam itu. Rektor UGM baru mengirimkan draft rancangan keputusan ke Senat Akademik pada 25 November lalu, dua minggu setelah demo mahasiswa 13 November. Rencananya, baru Januari tahun depan Senat UGM bersidang membahasnya. Namun karena aksi di halaman kampus dan laman media sosial terus digaungkan, rencananya akan ada rapat pleno khusus pada 26 Desember ini.

Mahasiswa menulis kutipan-kutipan yang sering mereka dengar terkait penindakan aksi kekerasan seksual. (Foto:VOA/ Nurhadi)

Ketua Senat Akademik UGM, Hardyanto Soebono pada Kamis (18/12) menyebut, mereka baru menerima draft keputusan Rektor beberapa hari lalu. Draft itu diserahkan ke dua komisi di Senat untuk dibahas, dan hasil pembahasan baru akan diplenokan pada Januari 2020. Tetapi karena desakan terus datang, pleno khusus akan digelar secepatnya.

“Kita di komisi ini anggotanya masing-masing sekitar 25. Ini 25 orang, 25 pikiran profesor dan doktor itu juga, kadang-kadanng pendapatnya macam-macam. Jadi mestinya kami dikasih waktu yang cukup, gitu. Tapi, ya ini sudahlah mendesak, saya paksa tanggal 26 pleno khusus, untuk mengesahkan itu,” ujar Hardyanto.

Menjadi Universitas Panutan

Dalam pidato memperingati usia 70 tahun, Rektor UGM Panut Mulyono mengurai banyak prestasi yang ditorehkan. Misalnya, pada 2019 ini UGM menyediakan dana beasiswa lebih dari Rp 160 miliar untuk 10.239 mahasiswa.

Dalam soal prestasi, sepanjang 2019 UGM mengumpulkan 382 medali juara 1 dalam berbagai ajang. Mereka memperoleh 80 medali emas tingkat internasional, 284 medali emas tingkat nasional, dan 18 medali emas regional. Peringkat UGM di QS World University Ranking melompat signifikan dari peringkat 391 dunia menjadi 320 dunia tahun ini. Pada tataran Asia, peringkatnya naik dari 74 ke 70 dengan reputasi akademi di peringkat 41 Asia, dan merupakan tertinggi di Indonesia. Posisi UGM pada pemeringkatan Green Metric, meningkat dari 91 pada 2018 menjadi 47 tahun ini. Sebanyak

39 program studi mereka kini terakreditasi internasional oleh berbagai lembaga akreditasi.

Namun, bagi sebagian mahasiswa, prestasi itu nampaknya kurang bermakna tanpa upaya pasti mengatasi kekerasan seksual di lingkungan kampus. Perayaan hari ulang tahun yang diwarnai aksi demo ini menjadi salah satu bukti. Padahal, jika mengesahkan ini, UGM menjadi perguruan tinggi yang pertama di Indonesia yang memiliki aturan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.

Butuh tanda tangan Panut Mulyono, untuk menjadikan universitas ini kembali menjadi panutan terkait isu kekerasan seksual dan perlindungan perempuan. [ns/ab]