Seorang pemimpin Ikhwanul Muslimin Mesir hari Selasa (25/3) diadili, sehari setelah hukuman mati massal bagi 529 orang pendukung IM mengejutkan organisasi-organisasi HAM di seluruh dunia.
KAIRO —
Di Mesir, hari baru, persidangan baru. Hari Selasa (25/3), Mohammed Badie, pembimbing rohani Ikhwanul Muslimin yang ditangkap tahun lalu, adalah salah satu dari hampir 700 pendukung Ikhwanul yang dituduh melakukan pembunuhan dan sabotase.
Persidangan itu, di mana banyak terdakwa termasuk Badie tidak hadir, berlokasi di wilayah yang sama dengan pengadilan Minya, yang hari Senin menjatuhi hukuman mati kepada lebih dari 500 orang.
Putusan atas kematian seorang polisi dan kekerasan lain itu, yang dijatuhkan pada hari kedua persidangan, menuai kecaman lokal, internasional, bahkan dari anggota peradilan Mesir yang anti-Ikhwanul.
Tarek Fouda, ketua sindikasi pengacara di Minya percaya bahwa tidak ada keadilan dalam persidangan itu. Padahal, keadilan merupakan hak yang diatur dalam undang-undang hukum pidana.
Fouda menegaskan, sikap itu diambil tanpa mendukung pihak manapun. Ditambahkan, kita semua tahu dan sepakat tentang kejahatan yang dilakukan Ikhwanul Muslimin. Namun, kita harus mempertahankan supremasi hukum di Mesir dan menjamin keadilan bagi semua.
Di Kairo, di mana dukungan tetap kuat bagi tindakan keras terhadap pendukung Mohamed Morsi, mantan Presiden dan tokoh Ikhwanul, banyak orang senang atas putusan itu.
"Ini bagus karena ini pertama kali kami melihat hakim di sini bertindak begitu cepat, karena ini adalah persidangan sesi kedua," kata Amir seorang warga Kairo.
Tetapi tindakan cepat seperti itu terhadap pendukung Morsi - dibandingkan persidangan yang bertele-tele terhadap pejabat-pejabat pra-revolusi – membuat banyak orang marah.
"Jadi, mengapa mantan Presiden Hosni Mubarak belum dijatuhi hukuman mati? Mengapa mantan menteri dalam negeri el-Adly belum dijatuhi hukuman mati?," kata Hassan Eissa warga Kairo lainnya mempertanyakan.
Dengan persidangan massal dan hukuman berat, yang dijatuhkan kepada pendukung Morsi, dianggap sebagai "balas dendam" dari para pemimpin yang didukung militer Mesir, kekhawatiran akan adanya aksi pembalasan semakin besar.
Persidangan itu, di mana banyak terdakwa termasuk Badie tidak hadir, berlokasi di wilayah yang sama dengan pengadilan Minya, yang hari Senin menjatuhi hukuman mati kepada lebih dari 500 orang.
Putusan atas kematian seorang polisi dan kekerasan lain itu, yang dijatuhkan pada hari kedua persidangan, menuai kecaman lokal, internasional, bahkan dari anggota peradilan Mesir yang anti-Ikhwanul.
Tarek Fouda, ketua sindikasi pengacara di Minya percaya bahwa tidak ada keadilan dalam persidangan itu. Padahal, keadilan merupakan hak yang diatur dalam undang-undang hukum pidana.
Fouda menegaskan, sikap itu diambil tanpa mendukung pihak manapun. Ditambahkan, kita semua tahu dan sepakat tentang kejahatan yang dilakukan Ikhwanul Muslimin. Namun, kita harus mempertahankan supremasi hukum di Mesir dan menjamin keadilan bagi semua.
Di Kairo, di mana dukungan tetap kuat bagi tindakan keras terhadap pendukung Mohamed Morsi, mantan Presiden dan tokoh Ikhwanul, banyak orang senang atas putusan itu.
"Ini bagus karena ini pertama kali kami melihat hakim di sini bertindak begitu cepat, karena ini adalah persidangan sesi kedua," kata Amir seorang warga Kairo.
Tetapi tindakan cepat seperti itu terhadap pendukung Morsi - dibandingkan persidangan yang bertele-tele terhadap pejabat-pejabat pra-revolusi – membuat banyak orang marah.
"Jadi, mengapa mantan Presiden Hosni Mubarak belum dijatuhi hukuman mati? Mengapa mantan menteri dalam negeri el-Adly belum dijatuhi hukuman mati?," kata Hassan Eissa warga Kairo lainnya mempertanyakan.
Dengan persidangan massal dan hukuman berat, yang dijatuhkan kepada pendukung Morsi, dianggap sebagai "balas dendam" dari para pemimpin yang didukung militer Mesir, kekhawatiran akan adanya aksi pembalasan semakin besar.