Meski Mudik Dilarang, Potensi Peningkatan Kasus COVID Tetap Ada

  • Nurhadi Sucahyo

Masyarakat mengantre di depan loket tiket terminal untuk mendapatkan pengembalian uang atas tiket yang dibeli di Bekasi, Jawa Barat pada 23 April 2020, setelah pemerintah mengumumkan larangan mudik di tengah kekhawatiran penyebaran virus corona COVID-19. (

Pemerintah telah resmi melarang mudik pada Lebaran tahun ini. Namun, tanpa upaya lanjutan, ancaman peningkatan kasus COVID-19 masih berpotensi untuk terjadi.

Bagi epidemiolog dari Universitas Gadjah Mada, Dr Riris Andono Ahmad, pelarangan mudik itu tidak cukup. Kota-kota besar di Tanah Air, terutama di Pulau Jawa, ada yang masih dalam status oranye dan merah. Penularan di komunitas tingkat kota-kota itu sendiri relatif tinggi. Jika masyarakat lokal tetap berinteraksi selama perayaan Lebaran, mungkin saja kasus bertambah, bukan dari pemudik tetapi antarsesama warga lokal sendiri.

Riris Andono Ahmad, peneliti Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM. (Foto: Pool Media)

“Maka larangan mudik saja tidak akan mengurangi penularan. Karena ketika Lebaran, tidak mengurangi mobilitas, maka penularan akan meningkat. Anjuran yang diperlukan, pemerintah tidak hanya larangan mudik, tetapi juga pembatasan kerumunan dan mobilitas yang ada di wilayah satu lokalitas,” kata Riris.

Selain melarang mudik, pemerintah juga menutup interaksi antarwilayah dengan pembatasan ketat. Menurut Riris, kebijakan ini tidak akan sepenuhnya efektif, karena pada dasarnya setiap wilayah masih memiliki jumlah kasus yang tinggi. Penularan akan tetap terjadi di dalam setiap wilayah, terutama karena aktivitas interaksi lokal tetap diperkenankan.

Pemerintah menetapkan kebijakan bahwa masyarakat dalam satuan aglomerasi, yang bisa terdiri dari sejumlah kabupaten atau kota, tetap dapat mudik secara lokal. Di sinilah kunci penanganannya, yang akan menentukan apakah Lebaran tahun ini akan menjadi pemicu lonjakan seperti tahun lalu atau tidak.

Masyarakat memadati area perbelanjaan untuk membeli baju baru, kebiasaan jelang Idul Fitri yang menandai berakhirnya bulan suci Ramadhan di Bekasi, Jawa Barat, pada 22 Mei 2020, dengan mengabaikan anjuran pemerintah untuk dilakukan. jarak sosial di tengah

Kontrol Aktivitas Diperlukan

Riris meminta pemerintah tegas, jika melarang mudik maka sebaiknya juga tidak mendorong masyarakat melakukan kegiatan wisata meskipun di tingkat lokal. Selain itu, harus ada edukasi agar selama Lebaran, masyarakat tetap menjaga interaksi.

“Secara tradisional, ketika Lebaran mobilitas dan interaksi sosialnya sangat cair dan meningkat. Ketika itu tidak dilakukan pembatasan, orang akan melakukan aktivitas tradisionalnya seperti biasa. Apalagi kemudian ada endorsmen untuk mengunjungi tempat wisata,” tambah Riris dalam diskusi terkait mudik yang diselenggarakan Keluarga Alumni Gadjah Mada (KAGAMA), Minggu (2/5).

Dia juga menambahkan, melihat situasi saat ini, mudik belum tentu akan menjadi sumber peningkatan kasus signifikan. Karena di dalam populasi lokal sendiri, tambahnya, sudah ada transmisi virus yang terjadi secara terus menerus.

Orang-orang berkumpul di pasar jalanan untuk berbuka puasa selama bulan suci Ramadhan di Banda Aceh pada 14 April 2021. (Foto: AFP/Chaideer Mahyuddin)

“Itu kemudian, dengan atau tanpa mudik, kalau ada peningkatan moblitas di dalam populasinya, maka kasus itu otomatis akan meningkat,” ujar Riris.

Pandangan yang kurang lebih sama juga disampaikan Imron Agus Nurali, Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Kesehatan.

Upaya menekan penularan COVID-19 tidak dapat dilihat dalam batasan wilayah administrasi. Dia memberi contoh, batas wilayah DKI Jakarta dengan kawasan sekitarnya, seperti Depok, Bekasi atau Tangerang, yang dalam kacamata penanganan pandemi menjadi tipis sekali. Begitupun dalam skala yang lebih luas.

Imron Agus Nurali, Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Kesehatan. (Foto: Courtesy/Kemenkes)

“Jadi saya rasa, dari sisi kesehatan tidak ada istilah batasan mudik. Tetapi ini kan istilah dari sisi Kementerian Perhubungan atau Kementerian Dalam Negeri. Kalau dari sisi kami, masalahnya adalah menerapkan protokol kesehatan itu,” ujar Imron.

Imron juga memaparkan sejumlah data, apa yang terjadi selama masa Lebaran tahun lalu yang harus menjadi perhatian saat ini.

Secara khusus, konsentrasi tidak hanya ada dalam kegiatan mudik, tetapi juga interaksi masyarakat di tingkat lokal. Imron menyinggung kepadatan di Pasar Tanah Abang yang viral, sebagai salah satu contoh fenomena yang harus diperhatikan. Yang terpenting dalam hal ini, katanya, adalah penerapan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan.

“Mau mudik atau tidak mudik, di dalam kota pun juga bisa terjadi pelanggaran protokol kesehatan. Itu yang sulit sekali,” tambah Imron.

PMI Jadi Perhatian

Tidak hanya mudik nasional, mudik antarnegara juga menjadi potensi peningkatan kasus COVID-19, seperti yang dilakukan para pekerja migran. Pandemi kemungkinan akan menekan jumlah pemudik lintas negara, tetapi mungkin tidak akan menghilangkannya sama sekali.

Buruh migran Indonesia tiba dari Malaysia di pelabuhan Bandar Sri Junjungan di Dumai, Riau pada 2 April 2020, setelah Indonesia menyatakan keadaan darurat pada 31 Maret akibat virus corona melonjak. (Foto: AFP/Iwan CKN)

Malaysia adalah salah satu sumber pemudik antarnegara yang besar bagi Indonesia. Yang berbeda dari kebanyakan negara lain, angka Pekerja Migran Indonesia (PMI) tanpa dokumen di negara itu sangat besar. Tahun-tahun sebelumnya, mereka selalu mudik menggunakan jalur tikus, dan sering menimbulkan kecelakaan di laut dengan banyak korban. Sebuah perahu kecil berkapasitas 30 orang, bisa dinaiki hingga 100 orang.

Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono, memastikan kondisi tahun ini akan berbeda. Pandemi COVID-19 membuat animo untuk pulang tidak seperti sebelumnya.

Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono, dalam tangkapan layar.

“Pertama, jalur tikus praktis ditutup. Yang ada jalur resmi. Resikonya, bagi PMI tanpa dokumen, harus bayar denda dan akan masuk daftar hitam. Kedua, sarana transportasi untuk pulang sangat sulit. Biasanya satu hari ada 42 penerbangan. Sekarang ini entry point hanya Johor Bahru ke Batam, lalu dari Kuala Lumpur ke Jakarta, Surabaya dan Medan. Itu saja,” kata Hermono.

Denda bagi pekerja tanpa dokumen mencapai RM 3.100. Selain itu, mereka juga akan dimaksukkan ke daftar hitam dan dilarang masuk Malaysia selama 5 tahun.

BACA JUGA: Ini Alasan Jokowi Larang Mudik Lebaran 2021

Ekonomi Malaysia yang memburuk menjadi simalakama bagi pekerja migran. Menurut Hermono, banyak pekerja kehilangan pekerjaan, terutama di sektor jasa dan konstruksi. Pekerja yang tidak memiliki dokumen resmi juga tidak bisa mengakses layanan kesehatan ketika mereka sakit. Selain itu, pergerakan antarnegara bagian juga dilarang, sehingga upaya mencari pekerjaan baru sulit.

Pilihan rasional bagi mereka adalah mudik ke Indonesia. Namun, hanya karena keterpaksaan saja pilihan ini diambil. Menurut Hermono, mereka yang mudik biasanya karena tidak lagi bekerja, sakit atau menjelang melahirkan.

Para petugas kesehatan melakukan pemeriksaan kesehatan 156 pekerja migran Indonesia yang tiba dari Malaysia di Bandara Juanda, Surabaya, 7 April 2020. (Foto: AFP)

“Yang legal pada umumnya tidak pulang. Kalaupun pulang, kecil sekali jumlahnya. Sebab kalau pulang, belum tentu bisa masuk lagi,” kata Hermono.

Sejumlah hal harus disiapkan pemerintah Indonesia untuk menghadapi gelombang mudik Idul Fitri dari Malaysia. Salah satunya terkait status kesehatan pekerja migran. Baru saja terbongkar sindikat PCR palsu, yang mayoritas digunakan pekerja untuk pulang melalui Batam.

Hermono mengaku kondisi ini sudah dibicarakan dengan Jakarta untuk diatasi. Masalahnya, lanjut dia, kedutaan tidak bisa melarang WNI untuk mudik ke Tanah Air. Mereka hanya bisa mengimbau, tidak setegas larangan di dalam negeri. [ns/ah]