Dalam sebuah artikel baru-baru ini di majalah Foreign Policy, Yun Sun, direktur Program China di Stimson Center di Washington mengatakan bahwa peran China dalam menengahi pemulihan hubungan Saudi-Iran tahun lalu meningkatkan harapan bahwa China dapat menemukan cara untuk meredakan ketegangan di Timur Tengah. Sebaliknya, kata Yun Sun, “China belum mencapai kesuksesan tersebut.”
Sun dan analis lainnya menunjukkan ketergantungan besar China pada minyak mentah dari Teluk untuk perekonomiannya, dan dengan 53 persen kebutuhan energinya berasal dari kawasan tersebut, Beijing memandang stabilitas di Timur Tengah sebagai hal yang terpenting. “China telah lama memposisikan dirinya sebagai pelanggan dan klien minyak Timur Tengah,” sebuah peran yang memberinya kekuatan, kata Sun; namun, “tanpa China tidak ikut menanggung beban untuk mengupayakan perdamaian.”
Hesham Alghannam mengepalai Studi Strategis dan Program Keamanan Nasional di Universitas Naif Arab untuk Ilmu Keamanan di Riyadh, Arab Saudi. Berbicara baru-baru ini di seminar online Carnegie Endowment for International Peace, dia memuji pandangan bersama China dengan negara-negara Arab, termasuk mendorong gencatan senjata pada awal konflik Gaza. Namun, Alghannam menambahkan bahwa keterlibatan politik China di Timur Tengah “masih terbatas.”
“Timur Tengah bukanlah kepentingan mendasar China, dan menurut saya, tidak seorang pun perlu membesar-besarkan kekuatan dan peran China di Timur Tengah. Mirip dengan AS, China tidak memiliki strategi keamanan komprehensif yang mampu mengatasi tantangan keamanan utama di kawasan, seperti mengakhiri konflik di Gaza. Kami tidak melihat apa yang bisa diharapkan dari China. Sejauh ini, China tidak mengambil tindakan apa pun yang, misalnya, akan mengakhiri perang secara serius di Gaza,” kata Alghannam.
BACA JUGA: Arab Saudi Resmi Bergabung dengan Blok Rusia dan China: BRICSAhmed Aboudouh, peneliti program Timur Tengah di Chatham House, di London, mengatakan dalam sebuah laporan bahwa China menekan Iran terkait serangan Houthi di Laut Merah “tetapi hanya untuk melindungi kapalnya sendiri.” Dia menambahkan bahwa “Beijing tidak akan menggunakan pengaruhnya yang terbatas untuk mendukung agenda AS,” dalam upaya melindungi pelayaran komersial global di kawaan tersebut.
“Upaya China difokuskan secara eksklusif pada pemberian jaminan untuk melindungi kepentingan langsung China. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Beijing tertarik untuk mempertaruhkan kredibilitasnya guna mendorong deeskalasi penuh di Laut Merah,” tulis Aboudouh.
Dia menunjukkan bahwa ancaman China membuat Houthi untuk memberikan kekebalan terhadap kapal-kapal China dan Rusia. China telah mengadopsi “pendekatan berisiko rendah, menunggu dan melihat karena China tidak mampu mengambil pilihan lain,” kata Aboudouh.
“China tidak ingin dipaksa untuk mengambil perubahan kebijakan yang dramatis dan mengambil tindakan karena sebuah kapal China telah tenggelam atau rusak parah,” tambahnya.
BACA JUGA: China Anggap Kemitraan AUKUS Rugikan Stabilitas RegionalProfesor Degang Sun adalah direktur studi Timur Tengah di Universitas Fudan China di Shanghai. Dia mengatakan kepada panel online Chatham House bahwa China melihat kebangkitan aktor non-negara seperti Houthi sebagai ancaman langsung terhadap kepentingannya di Timur Tengah karena China adalah mitra investasi dan perdagangan terbesarnya.
“Oleh karena itu, China mengatakan AS tidak bisa meninggalkan Timur Tengah. Timur Tengah membutuhkan AS karena AS dapat menjadi kekuatan yang menstabilkan bagi China dan seluruh dunia.”
Dia menambahkan bahwa Beijing “ingin mengirimkan sinyal kepada AS bahwa China bukanlah saingan AS, namun mitra AS dalam tata pengelolaan Timur Tengah,” dan bahwa kebangkitan aktor non-negara di kawasan Timur Tengah “merupakan akibat dari kekosongan pemerintahan.”
Profesor Sun yakin kekosongan itu bisa diisi oleh AS dan China melalui kerja sama di Timur Tengah. [lt/ka]