Insiden di luar kantor KJRI, Jeddah dianggap merupakan akumulasi dari kemarahan pekerja Indonesia yang tidak mendapatkan pelayanan yang memadai.
JAKARTA —
Lembaga swadaya masyarakat untuk buruh migran, Migrant Care, menyalahkan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Jeddah, Arab Saudi, atas terjadinya kerusuhan di depan kantor KJRI, Minggu, yang menyebabkan seorang pekerja Indonesia tewas dan ratusan lainnya pingsan.
Berbicara pada wartawan Senin (10/6), Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengatakan, aksi pembakaran tembok KJRI dan bentrokan dengan petugas keamanan merupakan akumulasi dari kemarahan pekerja Indonesia yang tidak mendapatkan pelayanan yang memadai dari pihak KJRI.
Menurut Anis, di saat ribuan tenaga kerja Indonesia (TKI) mengantre di kantor KJRI untuk mengurus dokumen pemutihan izin tinggal, KJRI malah tutup dan tidak melayani pengurusan dokumen, dengan alasan sedang memroses dokumen yang sudah masuk.
Ribuan pekerja tersebut, kata Anis, khawatir tidak dapat memanfaatkan masa amnesti yang diberikan pemerintah Saudi yang tinggal 23 hari lagi.
Pemerintah Saudi memberikan amnesti (pengampunan) bagi pekerja tidak berdokumen yang berada di negara itu sejak 11 Mei hingga 3 Juli 2013 dengan melakukan pemutihan atau legalisasi dokumen di kantor perwakilan negara masing-masing di Arab Saudi.
Para pekerja Indonesia yang tidak berdokumen di Saudi, diantaranya mereka yang terpaksa melarikan diri dari rumah majikan karena perlakukan yang tidak manusiawi, sementara dokumen mereka ditahan oleh majikan
Dalam menghadapi kebijakan amnesti dari pemerintah Saudi, Anis menilai pemerintah Indonesia lamban dan tidak siap dalam mengantisipasi ribuan buruh migran Indonesia yang memroses pemutihan dokumen di perwakilan Indonesia di Saudi.
“Mestinya kalau pemerintah menyadari amnesti itu situasi yang luar biasa, perlu pelayanan yang ekstra karena ribuan orang yang mengantre mestinya pemerintah mengantisipasi sumber daya manusia, infrastruktur, tim dan sebagainya itu disiapkan dari pusat sejak amnesti belum dimulai, sejak sebelum 11 mei tetapi ini reaktif setelah ada insiden baru tim didatangkan,” ujarnya.
Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat yang membidang soal ketenagakerjaan, Poempida Hidayatulloh, meminta pemerintah Indonesia melobi pemerintah Arab Saudi agar memperpanjang waktu amnesti bagi tenaga kerja Indonesia.
Lobi ini, lanjutnya juga telah dilakukan negara lain, seperti India dan Filipina, untuk menyelamatkan warganya. Meski terlambat Indonesia harus segera melakukan itu, ujarnya.
Pemerintah, tambahnya, juga harus segera membuka loket pelayanan di wilayah lain selain di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Riyadh dan KJRI Jeddah, karena KJRI Jeddah juga didatangi para TKI dari wilayah lain seperti dari Makkah, Madinnah, Taif, Khamis, Musaid, Najran, Baha, Tabuk dan Jizan.
“Pemerintah harus serius dalam memberikan perlindungan terhadap warga negara Indonesia di luar negeri termasuk TKI, karena anggaran terkait hal tersebut mencapai Rp1 triliun,” ujarnya.
“Pemerintah harus tegas dan harus benar-benar pro terhadap para TKI dan benar-benar serius menanganinya dan menyelesaikan masalah ini dengan gerak cepat tanpa ragu lagi.”
Sementara itu, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengungkapkan pihaknya telah minta Kementerian Luar Negeri untuk menambah loket pelayanan dokumen di KBRI maupun KJRI.
Muhaimin mengatakan ia telah mengirim tim ke Saudi untuk mengawasi pelaksanaan proses pemutihan ini. Muhaimin juga membantah kematian
Marwah binti Hasan, 55, asal Bangkalan, Madura, pada insiden itu disebabkan karena dehidrasi.
“Saat meninggal bukan karena itu, meninggal karena sakit saja jadi bukan karena faktor-faktor kejadian dan itu sudah diselidiki. Sampai hari ini laporan yang disampaikan kepada saya terutama dari KBRI dan KJRI pada dasarnya tertangani. Insiden yang kemarin memang karena ada penumpukan yang luar biasa. Hingga hari ini yang sudah tertanggani 50.000 orang dari prediksi 100 ribu,” ujarnya.
Berbicara pada wartawan Senin (10/6), Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengatakan, aksi pembakaran tembok KJRI dan bentrokan dengan petugas keamanan merupakan akumulasi dari kemarahan pekerja Indonesia yang tidak mendapatkan pelayanan yang memadai dari pihak KJRI.
Menurut Anis, di saat ribuan tenaga kerja Indonesia (TKI) mengantre di kantor KJRI untuk mengurus dokumen pemutihan izin tinggal, KJRI malah tutup dan tidak melayani pengurusan dokumen, dengan alasan sedang memroses dokumen yang sudah masuk.
Ribuan pekerja tersebut, kata Anis, khawatir tidak dapat memanfaatkan masa amnesti yang diberikan pemerintah Saudi yang tinggal 23 hari lagi.
Pemerintah Saudi memberikan amnesti (pengampunan) bagi pekerja tidak berdokumen yang berada di negara itu sejak 11 Mei hingga 3 Juli 2013 dengan melakukan pemutihan atau legalisasi dokumen di kantor perwakilan negara masing-masing di Arab Saudi.
Para pekerja Indonesia yang tidak berdokumen di Saudi, diantaranya mereka yang terpaksa melarikan diri dari rumah majikan karena perlakukan yang tidak manusiawi, sementara dokumen mereka ditahan oleh majikan
Dalam menghadapi kebijakan amnesti dari pemerintah Saudi, Anis menilai pemerintah Indonesia lamban dan tidak siap dalam mengantisipasi ribuan buruh migran Indonesia yang memroses pemutihan dokumen di perwakilan Indonesia di Saudi.
“Mestinya kalau pemerintah menyadari amnesti itu situasi yang luar biasa, perlu pelayanan yang ekstra karena ribuan orang yang mengantre mestinya pemerintah mengantisipasi sumber daya manusia, infrastruktur, tim dan sebagainya itu disiapkan dari pusat sejak amnesti belum dimulai, sejak sebelum 11 mei tetapi ini reaktif setelah ada insiden baru tim didatangkan,” ujarnya.
Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat yang membidang soal ketenagakerjaan, Poempida Hidayatulloh, meminta pemerintah Indonesia melobi pemerintah Arab Saudi agar memperpanjang waktu amnesti bagi tenaga kerja Indonesia.
Lobi ini, lanjutnya juga telah dilakukan negara lain, seperti India dan Filipina, untuk menyelamatkan warganya. Meski terlambat Indonesia harus segera melakukan itu, ujarnya.
Pemerintah, tambahnya, juga harus segera membuka loket pelayanan di wilayah lain selain di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Riyadh dan KJRI Jeddah, karena KJRI Jeddah juga didatangi para TKI dari wilayah lain seperti dari Makkah, Madinnah, Taif, Khamis, Musaid, Najran, Baha, Tabuk dan Jizan.
“Pemerintah harus serius dalam memberikan perlindungan terhadap warga negara Indonesia di luar negeri termasuk TKI, karena anggaran terkait hal tersebut mencapai Rp1 triliun,” ujarnya.
“Pemerintah harus tegas dan harus benar-benar pro terhadap para TKI dan benar-benar serius menanganinya dan menyelesaikan masalah ini dengan gerak cepat tanpa ragu lagi.”
Sementara itu, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengungkapkan pihaknya telah minta Kementerian Luar Negeri untuk menambah loket pelayanan dokumen di KBRI maupun KJRI.
Muhaimin mengatakan ia telah mengirim tim ke Saudi untuk mengawasi pelaksanaan proses pemutihan ini. Muhaimin juga membantah kematian
Marwah binti Hasan, 55, asal Bangkalan, Madura, pada insiden itu disebabkan karena dehidrasi.
“Saat meninggal bukan karena itu, meninggal karena sakit saja jadi bukan karena faktor-faktor kejadian dan itu sudah diselidiki. Sampai hari ini laporan yang disampaikan kepada saya terutama dari KBRI dan KJRI pada dasarnya tertangani. Insiden yang kemarin memang karena ada penumpukan yang luar biasa. Hingga hari ini yang sudah tertanggani 50.000 orang dari prediksi 100 ribu,” ujarnya.