Militan Terpidana di Indonesia Diarahkan pada Kehidupan Normal

  • Associated Press

Polisi berpatroli di luar kafe Starbucks tempat serangan bom terjadi di Jakarta, 17 Januari 2016.

Upaya-upaya untuk menderadikalisasi militan di penjara tidak begitu berhasil, sebagian karena kelompok ISIS menginspirasi mereka untuk berpegang pada ekstremisme.

Di jantung kota Solo, tidak jauh dari pesantren Ngruki yang didirikan Abu Bakar Baasyir, para pegawai sebuah restoran sedang menyiapkan menu Indonesia.

Manajer restoran, pria cukup tegap dengan gerak gerik sigap, bergerak di dapur yang sempit, memasak bistik dan makanan lainnya untuk para tamu, termasuk polisi. Untuk membiayai istri dan dua orang anaknya, ia juga mengelola usaha penyewaan mobil dan penatu.

Salah satu dari jutaan pemilik usaha kecil yang menggerakkan ekonomi negara, Mahmudi Haryono, 40, juga merupakan model teladan transformasi dari pembuat bom dan jihadis menjadi anggota masyarakat yang produktif.

Sejarah jihadnya cukup ekstensif. Ia pernah menjadi kombatan dengan Front Pembebasan Islam Moro (MILF) di Filipina selama tiga tahun, di mana ia memperkuat keahlian membuat bom, dan terlibat dalam konflik sektarian antara Muslim dan Kristen di Indonesia. Ia ditangkap kurang dari setahun setelah pemboman Bali 2002 yang menewaskan 202 orang, dan dipidana menyembunyikan bahan-bahan pembuat bom.

"Saya berlatih di Filipina sebagai pejuang jihad untuk membela Muslim dan saya hanya berjihad ketika Muslim ditindas di daerah konflik. Itu bagian dari masa lalu saya," ujar Mahmudi.

"Sekarang, prioritas hidup saya adalah merawat keluarga dan bisnis dan berdakwah untuk membantu mereformasi napi-napi radikal."

Sebuah yayasan swasta telah bekerja secara intensif dengan Mahmudi sejak ia dibebaskan dari penjara tahun 2009, dan menjadikannya sebagai contoh bagaimana militan garis keras dapat direformasi. Kisah sukses semacam itu sangat penting di Indonesia, di mana beberapa ratus pria yang dipenjara karena pelanggaran terorisme telah bebas dengan percobaan dalam beberapa tahun terakhir, termasuk 97 orang tahun lalu saja.

Sejak 2002, pihak berwenang, dibantu oleh AS dan Australia, telah meningkatkan pengumpulan intelijen dan operasi kontraterorismenya. Pemenjaraan hampir 800 militan dan pembunuhan lebih dari 100 orang dalam sejumlah operasi telah melemahkan kelompok-kelompok dalam jaringan Jemaah Islamiyah yang terkait al-Qaida dan bertanggung jawab atas tragedi Bali dan puluhan plot dan serangan lainnya.

Namun upaya-upaya untuk menderadikalisasi militan di penjara tidak begitu berhasil, sebagian karena kelompok Negara Islam (ISIS) menginspirasi mereka untuk berpegang pada ekstremisme.

Dua pelaku pemboman bunuh diri tanggal 14 Januari yang diinspirasi ISIS di Jakarta telah keluar dari penjara tak lama sebelum serangan.

"Harus diakui bahwa program-program deradikalisasi oleh kelompok-kelompok non-negara dan pemerintah tidak cukup," ujar Taufik Andrie, direktur eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian, sebuah lembaga yang membantu militan dengan hukuman percobaan dan mendirikan restoran tempat Mahmudi bekerja dan sekarang memiliki sahamnya.

Stigmatisasi

Taufik memperkirakan 40 persen dari lebih dari 400 militan yang telah bebas Desember tahun lalu kembali ke jaringan-jaringan radikal mereka.

Ia mengatakan beberapa dari orang-orang itu mungkin ingin kehidupan yang normal, namun tidak banyak orang yang mau mempekerjakan mereka, atau bahkan membiarkan tinggal di lingkungan mereka. Di lingkaran radikal, mereka akan disambut sebagai pahlawan.

"Ketika dibebaskan, mereka sendirian. Bagi mereka, masyarakat adalah penjara kedua karena stigmatisasi," ujar Taufik.

Ulama militan Abu Bakar Baasyir.

Di Ngruki, mantan militan Joko Purwanto alias Handzollah, mengatakan ia perlahan-lahan diterima oleh komunitas Muslim taat yang menjauhinya dan menyebutnya teroris ketika ia dibebaskan dari penjara dua tahun lalu.

"Saya menanggapi dengan berbuat baik. Saya tidak menghindari mereka. Sebaliknya, saya mencoba mendekati masyarakat umum. Perlahan-lahan, mereka sadar saya telah berubah," ujar Handzollah, yang berperang bersama Mahmudi dan ditangkap tahun 2010 dalam razia di kamp pelatihan Baasyir di Aceh.

Sekarang ini, Handzollah terkenal sebagai pendakwah dan sering bepergian. Sejumlah anaknya dari dua istri dibiayai bisnis salah satu istrinya yang membuat makanan ringan untuk restoran dan toko.

Ia sekarang mengatakan jihad dengan kekerasan tidak dapat dijustifikasi di Indonesia karena Muslim tidak sedang diserang. Ia menghujat ISIS karena membunuh Muslim yang menolak interpretasi ekstrem akan Islam.

"Apa yang saya perbuat di masa lalu adalah kesalahan. Banyak ajaran Islam yang dilanggar untuk berbuat jihad, dengan membom tempat-tempat damai seperti hotel, pasar atau tempat publik yang menewaskan orang-orang tak bersalah," ujarnya.

Terampil memperbaiki senjata, Handzollah mengatakan para pendukung ISIS telah mencoba merekrutnya sejak ia bebas. Ia mengatakan ia telah membujuk setidaknya 10 pria muda untuk tidak pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.

Seperti Mahmudi dan mantan militan Jemaah Islamiyah lainnya yang diwawancara Associated Press, ia masih meyakini Indonesia harus memberlakukan hukum syariah, bukan pemerintahan yang sekuler. Namun ia mengatakan tujuan itu harus dicapai lewat metode yang penuh damai.

Tapi Handzollah tidak menepis kembalinya ia kepada militansi.

"Tentu saja ideologi jihad tetap ada dalam diri saya, karena itu bagian dari Islam. Saya percaya dengan hukum syariah dan sebuah negara Islam, jadi jika seseorang dapat meyakinkan saya dengan argumen-argumen tertentu, tapi ini sangat tidak mungkin bagi saya sekarang, mungkin saya akan kembali pada kekerasan."

Handzollah merepresentasikan bentuk keberhasilan namun juga sebuah dilema: Apakah dukungan lebih pada militan yang bebas untuk bergabung dengan masyarakat akan mencegah serangan di masa yang akan datang, atau memberikan samaran untuk para militan membangun kembali dan membuat rencana?

Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol. Hamidin mengatakan, ada batasan-batasan atas apa yang dapat dilakukan pemerintah. Pemerintah, misalnya, tidak dapat memberikan pinjaman usaha pada mantan radikal karena dapat menciptakan persepsi adanya insentif finansial untuk terorisme, ujarnya.

Pemerintah berencana memberikan mentor untuk militan yang telah bebas dan membantu mereka mendapatkan KTP, yang diperlukan untuk mencari pekerjaan, membuka rekening bank dan lainnya.

Hamidin mengatakan pemerintah sudah mencapai beberapa keberhasilan. Data pemerintah menunjukkan bahwa kurang dari 10 persen dari militan yang bebas telah ditangkap kembali atau tewas dalam operasi anti-terorisme. Namun ia mengakui bahwa jumlah yang kembali ke radikalisme jauh lebih besar.

Angka itu tidak termasuk mereka yang bergabung dengan ISIS di Suriah, misalnya. Warga Indonesia tidak melanggar hukum jika bergabung dengan konflik di luar negeri, meskipun parlemen sedang mempertimbangkan mengamandemen aturan tersebut.

Taufik Andrie mengatakan mereka telah berhasil menangani sebagian besar dari 30 pria dalam lima tahun terakhir, mencari cara membaurkan mereka dengan masyarakat dan mendesak mereka untuk melepaskan kekerasan, namun tidak mencoba mengubah keyakinan dasar mereka seperti dukungan akan kekhalifahan.

Kelompok Taufik telah belajar dari pengalaman, termasuk kesalahannya.

Dalam satu kasus, seorang militan dalam masa percobaan diberi modal Rp 6,5 juta untuk memulai bisnis kaos. Tak lama, kelompok itu menemukan bahwa upaya itu telah gagal, sebagian karena upaya itu tidak membaurkan pria tersebut dengan orang-orang biasa.

Bagaimana dengan kaosnya? Kaos-kaos itu bergambar Osama bin Laden atau senjata AK-47 dan dibagikan dalam lingkaran radikal pria tersebut. [hd/dw]